Home » » JURNAL MAHASISWA

JURNAL MAHASISWA



PEMBENTUKAN BUDAYA HUMANIS MELALUI METTĀ-KARUĀ

Oleh:
Supriyatun

ABSTRACT

This research uses qualitative research methods with library research techniques. The formal object of this study is mettā-karuā,while the material object is humane culture. This research uses qualitative data for the object of research by using library study. The data are obtained from the primary source of Buddhist scriptures, and the secondary sources are obtained from the buddhist literatures, as well as from other literature such as: book, magazine, newspaper, and data from the internet. The data obtained are then described and analyzed according to the knowledge and view point of the author. The data analysis was done since the beginning of the study by author to draw conclusions.
Based on the study, it can be known that the concept of humane culture according to buddhism is the habits of human attitude to always practice the moral attitude and care to others with they having the characters of love and compassion in the society. Mettā-Karuā is the nature of lovingkindness and compassion that are aimed towards all beings. The building of human behavior that reflects humanity, must be done developed through one’s own self by practicing mettā-karuā in everyday life. The atittude based on mettā-karuā, it is developed and practiced through mind, words, and deeds will be conducive for the harmonious life in the society. While for building up of social ethics in society, mettā-karuā serves as a means to develop the morality by implementing  sīla and practicing mettā-karuā significantly. Spiritually, loving kindness and compassion can eliminate the sufferings and lead to the path of happiness by practicing mettā-karuā meditation. So, the process to create humanism in life, attitudes and behaviors, requires  a good moral attitude with the mettā-karuā as the basis for any human mind to behave in society.

Keywords: The Establishment, Humane Culture, Mettā-Karuā.


PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup saling bersosialisasi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia tidak lepas dari adanya pergaulan di masyarakat dengan harapan dapat hidup damai dan sejahtera. Akan tetapi pergaulan di masyarakat sering menimbulkan banyak permasalahan di lingkungan sosial diantaranya yaitu tindakan kekerasan, pembunuhan, penindasan, penganiayaan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan.
Masalah yang muncul di lingkungan sosial, dapat disebabkan adanya beberapa faktor yang mendukung diantaranya faktor budaya, pendidikan, dan adanya sistem ekonomi kapitalis di masyarakat. Banyaknya masyarakat yang hidup dalam keadaan kekurangan sedangkan kebutuhan hidup mendesak, menyebabkan seseorang melakukan tindakan kejahatan demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Tingkat pengangguran mengakibatkan pula terjadinya krisis moral manusia. Banyaknya pengangguran dipengaruhi dari tingkat pendidikan yang rendah, sehingga sulit untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Orang kaya yang memiliki kedudukan tinggi dan idealis, memperlakukan orang miskin sebagai kelas rendah dengan perilaku yang tidak manusiawi.
Adanya tindakan ketidakadilan dan penindasan menjadi faktor pendukung kesenjangan sosial di masyarakat. Kesenjangan sosial menjadi jurang pemisah antara orang yang kaya dengan orang miskin. Kebanyakan orang kaya yang memiliki kedudukan tinggi menindas orang miskin yang berpendidikan rendah. Manusia terkadang menganggap dirinya berkuasa untuk melakukan segala sesuatu tanpa melihat akibat buruk dari perbuatannya. Hal ini dapat dipengaruhi dari kesalahpahaman pengertian yang dimilikinya ataupun dari sikap yang menganggap dirinya paling benar (egois). Egoisme merupakan sikap yang berpusat pada diri sendiri, mementingkan diri sendiri, dan mencari kepentingan diri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, bahkan cenderung meniadakannya (Mangunhardjana, 1996: 58). Sikap tersebut sering muncul dan menimbulkan permasalahan, seperti terjadinya kejahatan dan kekerasan, bahkan penindasan terhadap sesama manusia.
Penindasan yang sering terjadi adalah pelecehan dan kekerasan bagi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Seperti kasus yang dialami Yoyoh seorang  TKI yang bekerja sejak tahun 2004 sebagai pembantu rumah tangga di Inggris, mengaku telah mendapatkan perlakuan yang mengenaskan. Dia dibayar dengan gaji rendah dan sering mendapat penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi (http://kampungtki.com/baca/12049). Tindakan penindasan tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan manusia.
Kasus yang berkaitan dengan rasa ketidakadilan pun banyak yang muncul. Dalam setahun terakhir peristiwa yang muncul  diantaranya yaitu kasus yang berkaitan dengan hak memperoleh keadilan berjumlah 2.466 kasus,  kesejahteraan sebanyak 2.317 kasus, rasa aman sebanyak 948 kasus, dan hak hidup sebanyak 191 kasus (Kompas, 7 Januari 2012: 7). Banyaknya kasus mengenai hak kemanusiaan mengakibatkan kurang terwujudnya kesejahteraan hidup di masyarakat. Sikap pemerintah dalam menangani kasus seringkali mendapat protes dari masyarakat karena kurangnya rasa keadilan.
Ketidakadilan muncul pada diri seseorang didukung dari hati nurani manusia yang kurang memiliki sifat-sifat luhur. Ketidakadilan terkadang diterima masyarakat sebagai peristiwa yang biasa terjadi, sehingga menimbulkan suatu ketidakadilan yang struktural. Ketidakadilan struktural yang memaksa seseorang untuk tetap miskin dan membuatnya tak berdaya untuk melawan tindakan penindasan, menjadi salah satu masalah dalam mencapai keadilan sosial (http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/9208129145.pdf). Ketidakadilan terhadap rakyat miskin mengakibatkan manusia tidak  memperdulikan rasa kemanusiaan. Rasa kemanusiaan dikehidupan sosial dapat dilihat dari segi agama yang mempengaruhi pada sifat dan moral manusia.
Agama Buddha memiliki peranan dalam kehidupan sosial, karena mengajarkan tentang moral (sīla), ketenangan batin (samādhi), dan kebijaksanaan (paňňa). Salah satu ajaran yang diberikan kepada umat manusia berkenaan dengan kehidupan sosial adalah mengenai Brahma Vihāra yaitu mengenai empat kediaman luhur yaitu mettā (cinta kasih), karuā (belas kasihan), muditā (simpati), dan upekkhā (keseimbangan batin). Empat jenis Brahma Vihāra yang merupakan kebajikan unggul untuk melenyapkan sifat egois, ketidakharmonisan, dan meningkatkan altruisme (Piyadassi, 2003: 247). Altruisme merupakan pandangan dan sikap hidup yang menaruh perhatian pada kebajikan, kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain (Mangunhardjana, 1996: 16). Pemahaman mengenai mettā-karuā dapat diaplikasikan dikehidupan sosial, karena pengaruhnya dapat membentuk sikap saling peduli dengan orang lain, sedangkan muditā (simpati) dan upekkhā (keseimbangan batin) cenderung pasif karena lebih terfokus pada diri sendiri. Pemahaman mengenai ajaran mettā-karuā tidak cukup hanya dipelajari saja, melainkan dipahami secara benar dan mempraktikkannya dalam diri sendiri agar manusia memiliki rasa kemanusiaan pada dirinya. Atas dasar permasalahan yang terjadi akibat kurangnya rasa kemanusiaan di lingkungan sosial, penulis tertarik untuk mengkaji rasa kemanusiaan dikaitkan dengan ajaran mettā-karuā yang memiliki nilai kebajikan dalam membentuk sifat luhur pada diri manusia. Oleh karena itu, penulis akan membahas mengenai “Pembentukan Budaya Humanis Melalui Mettā-Karuā”.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah konsep budaya humanis menurut Buddhisme?, bagaimanakah kedudukan mettā-karuā dalam agama Buddha?, bagaimanakah peran mettā-karuā dalam membentuk budaya humanis di kehidupan sosial?

Tujuan Kajian

Tujuan penelitian ini adalah untuk: Menjelaskan konsep budaya humanis menurut Buddhisme, menjelaskan kedudukan mettā-karuā dalam agama Buddha, mendeskripsikan peran mettā-karuā dalam membentuk budaya humanis di kehidupan sosial.


Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini secara teoritis yaitu memberikan pengetahuan kepada umat Buddha tentang konsep budaya humanis menurut agama Buddha,  kedudukan ajaran mettā-karuā dalam agama Buddha, dan peran mettā-karuā dalam membentuk budaya humanis di masyarakat. Sedangkan kegunaan secara praktis yaitu dengan memahami konsep budaya humanis menurut Buddhisme umat Buddha diharapkan mampu menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam agama Buddha, dengan memahami kedudukan mettā-karuā dalam agama Buddha diharapkan umat Buddha dapat mempraktikkan sifat kebajikan mettā-karuā dalam kehidupan masyarakat, dengan memahami peran mettā-karuā dalam membentuk budaya humanis umat Buddha dapat menjalin hubungan sosial yang harmonis dan memiliki sifat kemanusiaan di masyarakat dengan berlandaskan pada sikap batin mettā-karuā.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang berpusat pada metode deskriptif dan kajian pustaka. Metode deskriptif adalah metode yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kountur, 2005: 105). Metode deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan dan menguraikan suatu kejadian atau peristiwa sejelas mungkin agar mudah dipahami dan meningkatkan objektivitas dalam penelitian. Melalui metode deskriptif, penulis memberikan interpretasi terhadap data yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu budaya humanis menurut agama Buddha, dan konsep mettā-karuā. Penelitian deskriptif menggunakan fakta dan data yang dimaksudkan untuk meningkatkan objektivitas penelitian demi mendekatkan hasil penelitian pada kebenaran secara objektif terhadap penerapan ajaran mettā-karuā dalam kehidupan manusia di masyarakat. Metode studi pustaka merupakan serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, dan mencatat literatur serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2004: 3). Dalam studi kepustakaan penulis melakukan kegiatan dengan cara mengumpulkan, membaca, mencatat, dan mengolah data-data yang berkaitan dengan konsep budaya humanis dan mettā-karuā. Data berasal dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer diperoleh dari Kitab suci agama Buddha, sedangkan sumber sekunder diperoleh dari literatur-literatur lain, baik melalui internet, buku, majalah, koran, jurnal, dan laporan penelitian yang ada hubungannya dengan kemanusiaan di masyarakat.

HASIL PENELITIAN

Manusia memiliki tanggung jawab dalam berperilaku yang mencerminkan sikap manusiawi. Kebudayaan manusiawi berkaitan dengan pola kehidupan dan sifat manusia yang terkait dengan kemanusiaan di masyarakat. Menurut Gillin (dalam Maran, 2007: 26) menganggap kebudayaan terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang terpola dan secara fungsional saling bertautan dengan individu tertentu yang membentuk grup-grup atau kategori sosial tertentu. Sedangkan humanis merupakan sifat manusia yang mengutamakan kemanusiaan. Berdasarkan pengertiannya, humanisme berasal dari bahasa latin “humanus” yang berarti manusia, humanisme mengacu pada setiap pandangan yang menitikberatkan perhatian pada kesejahteraan manusia dan mengutamakan pembinan cita-cita seperti kasih sayang, kesetiaan, keramahan, pengabdian, kejujuran, keadilan, dan sebagaianya (Wowor, 2004: 26). Berdasarkan definisi tersebut, pengertian budaya humanis dipahami sebagai kebiasaan-kebiasaan tingkah laku individu yang secara fungsional dapat memberikan manfaat pada kesejahteraan hidup manusia. Bentuk budaya humanis di masyarakat diwujudkan dengan tindakan manusia yang bermoral baik di masyarakat. Budaya humanis secara Buddhis dapat dilihat dari ajaran dan teladan hidup Sang Buddha yaitu dengan memiliki kebiasaan hidup secara ajaran moral dan spiritual, serta mengarah pada tujuan untuk mencapai kebebasan sempurna. Selain itu, perilaku yang mencerminkan sikap humanis dalam Buddhisme ditunjukan oleh dua penyokong utama Sang Buddha yaitu Visākhā dan Anāthapiṇḍika. Sang Buddha mengatakan bahwa Visākhā adalah yang terunggul diantara para umat perempuan pendukung Sang Buddha yang bertindak sebagai para pendukung Sagha. Anāthapiṇḍika merupakan umat awam yang tekun dalam menyokong Sagha, beliau menyediakan segala keperluan para bhikkhu.
Sikap humanis juga berkaitan dengan etika di masyarakat. Etika dalam Buddhisme mengarah pada perilaku yang berlandaskan moral yang memberikan sikap hidup yang baik, sehingga seseorang dapat mengurangi penderitaan dalam hidup. Moralitas dalam Buddhisme terwujud dalam latihan aturan moral (sīla), dan mengarah pada pembebasan dari penderitaan (dukkha). Sīla mencakup perilaku dan sifat-sifat baik yang ada dalam ajaran moral dan etika dalam agama Buddha. Prinsip etika dalam Buddhisme dijelaskan sebagai puñña dan pāpa (good and bad) yang berarti baik dan buruk atau kusala dan akusala. Puñña dan pāpa mengandung pengertian sebagai tindakan baik dan buruk. Kusala berkaitan dengan pembebasan pikiran dari lobha, dosa, dan moha, sedangkan akusala berkaitan dengan pikiran yang masih diliputi dengan kebodohan batin yang mengakibatkan penderitaan. Buddhisme juga menjelaskan mengenai menghargai hak dan martabat manusia dan kehendak bebasnya dijelaskan dalam Kālāma Sutta, Aguttara Nikāya bahwa Buddha menghormati hak manusia untuk memilih suatu kebenaran. Buddha menganjurkan kepada manusia mana yang menurutnya baik dapat diterima oleh manusia, dan yang buruk untuk ditinggalkan.
Nilai-nilai kemanusiaan Buddhis berhubungan dengan sifat baik dan moral manusia. Konsep mettā-karuā dalam agama Buddha menjelaskan mengenai sifat kebajikan yaitu mencintai dan memiliki rasa belas kasih kepada orang (makhluk) lain. Sifat mettā-karuā berperan penting sebagai salah satu cara untuk mencapai kebebasan dari penderitaan dan merupakan bagian dari nilai kemanusiaan. Mettā berarti sesuatu yang dapat menghaluskan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati (Wowor, 2004: 67). Mettā juga dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk lain. Mettā bersifat positif dalam membentuk perilaku manusia yang bermoral baik karena merupakan sifat adosa (tanpa kebencian) dan merupakan lawan dari kemarahan dan permusuhan. Perbuatan dapat dilakukan melalui tiga macam yaitu melaui pikiran, ucapan, dan perbuatan. Peran cinta kasih merupakan sifat luhur yang dapat menghancurkan kebencian dan mendorong munculnya kemauan-kemauan baik serta membebaskan pikiran dengan cinta kasih (mettā ceto-vimutti) yang merupakan jalan (ayampi maggo) untuk dapat terlahir di alam brahma. Apabila cinta kasih berperan sebagai pembebasan (mettā ceto-vimutti) dari gangguan-gangguan pikiran, maka pada sifat karuā mengutamakan belas kasih untuk menolong penderitaan terhadap makhluk lain. Pemahaman belas kasihan diartikan sebagai keadaan dari keinginan untuk bebas dari penderitaan dan ketidakberuntungan, dengan pikiran semoga mereka dibebaskan dari penderitaan (Aronson, 2005: 109). Karuā bersifat melenyapkan sifat kekejaman (hi). Objek dari karuā ditujukan kepada semua makhluk terutama yang mengalami penderitaan. Karuā dikembangkan melalui tiga macam perbuatan yaitu melaui pikiran (mano), ucapan (vaci), dan perbuatan (kamma). Karuā dalam agama Buddha selain berperan melenyapkan penderitaan, juga berperan meningkatkan batin pada diri sendiri. Pikiran dengan sifat belas kasih dapat membebaskan  (karuā ceto-vimutti) dari penderitaan dan gangguan lainnya, serta sebagai bagian dari pengembangan pembebasan pikiran sebagai jalan (ayampi maggo) untuk mencapai alam brahma. Seseorang yang mengembangkan mettā-karuā dalam kehidupan sehari hari, maka akan menimbulkan keharmonisan dan kebahagiaan dalam hidup bermasyarakat.
Hidup yang bahagia dapat tercapai apabila manusia saling menjaga hubungan yang harmonis. Harmonis berarti selaras atau serasi dan mampu menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Sifat mettā-karuā sebagai landasan batin pada diri manusia untuk menciptakan rasa kemanusiaan dan kaharmonisan serta kebahagiaan bersama. Dijelaskan dalam Saraniyadhamma Sutta (Davids, 2001: 202) bahwa terdapat enam cara kehidupan yang membawa pada sifat mau membantu orang lain, tanpa perselisihan, dan keharmonisan. Enam cara kehidupan tersebut diteladani dari kehidupan para bhikkhu diantaranya:
1.    Mettākaya-kamma
Seorang menyebarkan cinta kasih dalam bentuk perbuatan jasmani kepada sesama teman baik di depan umum maupun pribadi. Menyebarkan cinta kasih melalui perbuatan jasmani dapat dicontohkan dengan perbuatan tidak membunuh makhluk lain, menolong orang lain yang membutuhkan, dan sebagainya.
2.    Mettāvaci-kamma
Seseorang menyebarkan cinta kasih dalam bentuk ucapan terhadap sesama teman atau orang yang berada di sekitarnya baik di depan umum maupun pribadi. Apabila seseorang mengucapkan kata-kata yang baik, sopan, dan ramah penuh dengan cinta kasih, maka akan mengakibatkan kebahagiaan bagi orang yang mendengarnya.
3.    Mettāmano-kamma
Seseorang menyebarkan mettā melalui pikiran kepada teman dan semua orang dengan harapan orang lain merasakan kebahagiaan. Pikiran dengan cinta kasih akan mengakibatkan pikiran menjadi tenang dan tidak terganggu oleh masalah-masalah dari luar. Pikiran yang tenang dan damai akan menghasilkan kebahagiaan terhadap diri sendiri maupun orang lain.


4.    Sādharanabhogi
Seseorang memberikan kesempatan kepada orang lain untuk ikut merasakan keuntungan-keuntungan yang diperolehnya dengan cara yang baik dan benar serta tidak mempergunakannya sendiri. Sikap cinta kasih yang dibarengi dengan rasa belas kasih untuk memancarkan kebahagiaan.
5.    Sīlasāmaññatā
Seseorang selalu menjaga sīla baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Memiliki sīla yang baik juga akan mendorong pada kehidupan yang rukun, saling mencintai, dan menuju pada hubungan masyarakat yang harmonis.
6.    Diṭṭhisāmaññatā
Seseorang melatih diri membebaskan pikiran dari penderitaan sehingga dapat hidup bersama secara harmonis dan terhindar dari pertikaian, percekcokan diantara mereka.
      Mempraktikkan mettā-karuā dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan untuk menumbuhkan keharmonisan di masyarakat. Rasa kemanusiaan yang muncul dari pikiran, perkataan, dan perbuatan dapat mewujudkan rasa kedamaian dan kebahagiaan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Melatih mettā bhāvanā atau karuā bhāvanā merupakan cara untuk membebaskan pikiran dari penderitaan (ceto-vimutti) serta mengikis akar kejahatan seperti lobha, dosa, dan moha. Hancurnya akar kejahatan pada diri manusia berarti hilangnya niat untuk melakukan kejahatan sehingga kehidupan menjadi harmonis. Perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari akan mengarahkan dirinya untuk melakukan kebiasaan untuk bertindak sesuai dengan moral dan memiliki rasa kemanusiaan terhadap orang lain. Dalam menjalin hubungan antar sesama manusia yang harmonis, dilakukan dengan cara mampu menjaga moralnya sendiri dalam hidup bermasyarakat. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai umat manusia (Salam, 1996: 8). Menerapkan etika sosial dapat membiasakan hidup manusia untuk mau peduli dan mementingkan kepentingan bersama seperti kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama. Sikap yang diutamakan dalam menjalankan etika dalam kehidupan sosial adalah mampu menjaga moral. Menjaga moral dapat dilakukan dengan melaksanakan sīla sebagai cara untuk mengendalikan diri dari tindakan buruk. Pelaksanaan sīla dilandasi dengan sifat mettā-karuā sehingga membentuk watak manusia menjadi lebih menghargai dan peduli dengan kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain. Sikap kemanusiaan yang dilandasi oleh mettā-karuā dilakukan pula dengan cara saling memberi atau berdāna untuk melawan sikap ketamakan manusia.
Berkaitan dengan perilaku humanis di masyarakat, sikap kemanusiaan sosial dalam Buddhisme dikenal dengan sebutan Socially Engaged Buddhism yaitu Buddhisme yang terlibat sosial. Socially Engaged Buddhism memiliki beberapa karakteristik, yaitu keseimbangan antara meditasi dan ajaran Buddha, dengan terlibat secara sosial kemasyarakatan dalam upaya melenyapkan penderitaan, serta terlihat ke dalam persoalan sosial, ekonomi, lingkungan, perdamaian, dan ketidakadilan. Beberapa peran Buddhisme dalam membentuk perilaku manusia yang humanis dicontohkan dari tokoh-tokoh Buddhisme yang terlibat secara sosial diantaranya yaitu yayasan Buddha Tzu Chi yang mewariskan nilai-nilai cinta kasih dari generasi ke generasai dengan cara mengadakan pelatihan terhadap para relawan secara terus menerus. Buddha Tzu Chi mengadakan pelatihan bagi relawan baru yang dilakukan dengan cara diperkenalkannya tiga prinsip budaya kemanusiaan yaitu bersyukur (Gan En), menghormati (Zhun Zhong), dan kasih sayang (Ai) (http://www.tzuchi.or.id/Kebudayaan.php). Selain itu, tokoh Thich Nhat Hanh yang dengan aksi cinta kasih juga berperan menolong umat manusia yang pada saat itu terjadi perang di Vietnam dan mendirikan pusat retret seni hidup berkesadaran kepada para bhikkhu serta umat awam, yang dilakukan juga ke berbagai negara seperti Eropa, Amerika, dan Asia. Di sisi lain, tokoh Sulak Sivaraksa juga menggunakan cara pelatihan meditasi untuk mengembangkan kebijaksanaan (pañña), sehingga seseorang mampu memahami sifat tanpa keegoisan dan menumbuhkan rasa belas kasih (karuā) terhadap orang lain. Shramadana Sarvodaya yang memberikan kontribusi mengenai resolusi konflik antara bangsa Sinhala dengan populasi bangsa Tamil dengan menggunakan konsep empat kebenaran mulia (cattāriariyasaccāni) sebagai sarana perenungan pemecahan masalah (King, 2009: 37). Beberapa contoh tindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Buddhisme, menjadi teladan untuk menghargai dan melindungi kehidupan manusia. Selain itu, manusia hendaknya melatih kesadaran dan mengendalikan dirinya dalam melakukan segala tindakan, sehingga mampu menumbuhkan rasa persaudaraan dengan cinta dan belas kasih terhadap sesama manusia.
Landasan mettā-karuā merupakan cara untuk melenyapkan lobha, dosa, dan moha serta jalan menuju kebahagiaan. Peran mettā-karuā adalah membebaskan pikiran dari gangguan-gangguan batin dan penderitaan dengan cara mengembangkan pikiran dengan meditasi. Mempraktikkan mettā atau karuā bhāvanā mampu membebaskan pikiran dari gangguan batin (nīvaraa) dan merasakan kebahagiaan penuh dan kedamaian. Orang yang dapat melenyapkan kekotoran batin dan memperoleh kebahagiaan sejati (Nibbāna), maka dalam diri seseorang mettā-karuā menjadi kuat. Mettā-karuā yang kuat sebagai landasan untuk membentuk sifat humanis dan menumbuhkan niat dalam diri manusia untuk melakukan perbuatan baik. Melakukan perbuatan baik dengan mettā-karuā akan menciptakan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain, karena  seseorang yang berperilaku baik juga dapat memberikan teladan bagi orang lain. Oleh karena itu setiap manusia perlu mengembangkan sifat mettā-karuā sebagai landasan batin untuk membentuk sifat humanis dalam diri manusia dan berperilaku baik di masyarakat, sehingga dapat menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan bersama.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian metode kajian pustaka, maka penulis dapat membuat kesimpulan bahwa Buddhisme berperan penting dalam membentuk sikap humanis dengan mempraktikkan mettā-karuā, karena sebagai makhluk sosial manusia sering menimbulkan masalah di masyarakat. Perbuatan seperti kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan menyebabkan terkikisnya rasa kemanusiaan. Untuk membentuk kehidupan yang humanis, dibutuhkan sikap kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan perilaku moral. Budaya humanis yang ditinjau dari Buddhisme, dapat dibangun dengan cara menerapkan etika dan menghargai hak kemanusiaan secara Buddhisme kepada setiap diri manusia dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga dengan melatih diri memiliki sikap batin untuk saling menyayangi dan memiliki rasa belas kasih terhadap orang lain yang merupakan wujud dari nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat. Nilai kemanusiaan dalam etika buddhis diwujudkan dengan mempraktikkan sīla sebagai landasan moral. Prinsip etika buddhis membicarakan tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan. Kebaikan akan mengarahkan pada kebahagiaan yang merupakan wujud dari nilai-nilai moralitas. Sedangkan nilai kemanusiaan yang berdasarkan pada hak kemanusiaan buddhis, ditunjukan bahwa Buddhisme menghargai dan menghormati harkat dan martabat setiap makhluk dengan cara melindungi kehidupan diri sendiri dan menjaga kehidupan makhluk lain. Menumbuhkan rasa kemanusiaan pada setiap individu dalam kehidupan sehari-hari, membutuhkan suatu latihan yang bersumber dari batin atau pikiran setiap manusia. Batin harus dilatih dengan mengembangkan sifat belas kasih dan kasih sayang terhadap sesama manusia atau kepada semua makhluk untuk mewujudkan kehidupan yang humanis di masyarakat.
Sifat yang mampu dikembangkan sebagai landasan batin untuk memiliki rasa kemanusiaan adalah dengan saling menyayangi dan welas asih terhadap sesama manusia atau terhadap semua makhluk. Mettā-karuā merupakan sifat kebaikan yang memiliki tujuan sama yaitu mengharapkan kebahagiaan orang lain. Mettā-karuā merupakan sifat cinta kasih dan rasa belas kasih yang dipancarkan kepada semua makhluk tanpa membeda-bedakan, tetapi bukan cinta kasih yang dilandasi dengan napsu. Sifat dari mettā adalah melawan sifat buruk yaitu kebencian, sedangkan karuā melawan sifat kekejaman atau kebengisan. Mengembangkan mettā dan karuā dilakukan melalui pikiran (mano), ucapan (vaci), dan perbuatan (kāya). Mengembangkan mettā dan karuā dilaksanakan dengan latihan meditasi. Pikiran dilatih untuk berkonsentrasi dengan mengharapkan semua makhluk berbahagia. Pada pengembangan awal, mettā atau karuā dipancarkan kepada diri sendiri, kemudian dipancarkan terhadap orang yang dihormati, kepada orang yang netral, dan kepada musuh. Dengan mengembangkan mettā dan karuā, maka secara sementara pikiran dapat terbebas dari penderitaan. Pembebasan pikiran dengan menggunakan meditasi mettā disebut sebagai mettā ceto vimutti, sedangkan pembebasan pikiran dengan sifat belas kasih disebut sebagai karuā ceto vimutti. Apabila mettā dipancarkan kepada orang yang bahagia dan yang menderita, maka karuā lebih dipancarkan kepada orang yang menderita dan berusaha untuk membuatnya bahagia. Karuā merupakan sifat belas kasih terhadap orang yang mengalami penderitaan dan kesedihan. Sifat belas kasih karena cinta kasih yang dimilikinya mampu mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan baik dan menumbuhkan sikap kemanusiaan seperti mau berdana, rendah hati, mau menolong, dan tidak melukai atau menyakiti makhluk hidup. Sifat cinta kasih dan belas kasih mampu mendorong seseorang memiliki kemauan baik untuk membuat orang lain bahagia. Pikiran sementara dapat terbebaskan dari penderitaan dan akan menyebabkan kebahagiaan terhadap dirinya sendiri.
Mettā-karuā berperan penting dalam membangun kehidupan manusia yang bahagia dan menyingkirkan penderitaan. Manusia dapat memiliki sikap yang berperikemanusiaan dengan mengembangkan sifat mettā-karuā sebagai landasan batin pada diri sendiri. Sikap humanis yang berlandaskan pada sifat mettā-karuā diwujudkan dengan tindakan manusia yang bermoral dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sikap bermoral dilakukan dengan mempraktikkan sīla dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu perbuatan dengan mettā-karuā mampu menumbuhkan keharmonisan dan kebahagiaan hidup manusia. Keharmonisan dalam hidup bermasyarakat dapat diwujudkan melalui pikiran, ucapan dan perbuatan manusia dengan mengembangkan sifat untuk saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Agar manusia memiliki sikap humanis di masyarakat, maka dibutuhkan moral yang kuat diantaranya mempraktikkan sīla, memiliki sikap hormat, memiliki sikap kedermawanan, dan bersikap adil terhadap orang lain. Selain itu bentuk rasa humanis di masyarakat dibuktikan dengan adanya gerakan Socially Engaged Buddhism yaitu Buddhisme yang terlibat sosial diwujudkan salah satunya dengan menumbuhkan aksi non-kekerasan terhadap segala bidang termasuk sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya untuk menumbuhkan rasa kedamaian dan kesejahteraan manusia. Adapula peran mettā-karuā dalam membentuk kebahagiaan adalah dengan mengembangkan meditasi mettā atau karuā bhāvanā hingga mampu melenyapkan gangguan batin dan memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan sekarang ataupun yang akan datang. Menumbuhkan sikap humanis di masyarakat dapat dilakukan dengan melatih diri untuk memiliki kesadaran pada diri masing-masing. Kesadaran akan menuntun pada kebahagiaan hidup manusia dan menuju pada kebahagiaan sejati (Nibbāna). Seseorang yang dapat mencapai kebahagiaan sejati maka dalam dirinya memiliki mettā-karuā yang kuat, sehingga dalam kehidupan di dunia seseorang  banyak melakukan perbuatan baik terhadap orang lain dan menumbuhkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Aronson, Harvey B. 2005. Cinta Kasih dan Rasa Simpati Ajaran Buddha Gautama. Medan: Sri Manggala.
Davids, Rhys. 2001. The Book of Gradual Sayings (Aguttara Nikaya) Vol.III. Oxford: The Pali Text Society.
Hamid, Usman. 7 Januari, 2012. Tegakan HAM Aja Kok Repot. Kompas. hlm.7.
King, Sallie B. 2009. Socially Engaged Buddhism. Honolulu: University of Hawai’i Press.
Kountur, Ronny. 2005. Metode Penelitian. Jakarta Pusat: PPM.
Mangunhardjana, A. 1997. Isme-Isme dalam Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Maran, Rafael Raga. 2007. Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho, Tri. Tanpa Tahun. Perubahan Struktur Sosial Menuju Kesejahteraan Bersama (online, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/9208129145.pdf, diakses tanggal 20 Februari 2012).
Piyadassi Mahathera. 2003. Spektrum Ajaran Buddha. Jakarta: Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna.
Salam, Burhanuddin. 1996. Etika Sosial, Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Tanpa Nama. 2012. TKI Inggris dapat Perlakuan Tidak Manusiawi (online). (http://kampungtki.com/baca/12049, diakses tanggal 10 Maret 2012).
Tanpa Nama. Tanpa Tahun. Misi Budaya Kemanusiaan Menyucikan Hati Manusia (online). (http://www.tzuchi.or.id/Kebudayaan.php, diakses tanggal 25 Agustus 2012).
Wowor, Cornelis. 2004. Pandangan Sosial Agama Buddha. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Share this on your favourite network

0 comments:

Post a Comment

Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS