PEMBENTUKAN BUDAYA HUMANIS MELALUI
METTĀ-KARUṆĀ
Oleh:
Supriyatun
ABSTRACT
This research uses qualitative research methods
with library research techniques.
The formal object of this study is mettā-karuṇā,while the material object is humane culture. This research uses qualitative data for the object of
research by using library study. The data are obtained from the primary source of Buddhist scriptures, and
the secondary sources are obtained from the buddhist literatures, as well as
from other literature such as:
book, magazine, newspaper, and data
from the internet. The data
obtained are then described and analyzed according to the knowledge and view point of the author. The data analysis was done since the beginning of the
study by author to draw
conclusions.
Based on the study, it can be known that the
concept of humane culture according to buddhism is the habits of human attitude
to always practice the moral attitude and care to others with they having the
characters of love and compassion in the society. Mettā-Karuṇā
is the nature of lovingkindness and compassion that are aimed towards all
beings. The building of human
behavior that reflects humanity, must be done developed through one’s own self by practicing mettā-karuṇā in everyday life. The atittude
based on mettā-karuṇā, it is developed and practiced through
mind, words, and deeds will be conducive for the harmonious life in the
society. While for building up of
social ethics in society, mettā-karuṇā serves as a means
to develop the morality by
implementing sīla and practicing mettā-karuṇā
significantly. Spiritually, loving kindness and compassion can
eliminate the sufferings and lead to the path of happiness by practicing mettā-karuṇā meditation. So, the process to create humanism in life, attitudes and behaviors, requires a good moral attitude with the mettā-karuṇā as the basis for any human mind to behave
in society.
Keywords: The Establishment, Humane Culture, Mettā-Karuṇā.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Manusia
merupakan makhluk sosial yang hidup saling bersosialisasi dan membutuhkan satu
dengan lainnya. Kehidupan manusia tidak lepas dari adanya pergaulan di
masyarakat dengan harapan dapat hidup damai dan sejahtera. Akan tetapi
pergaulan di masyarakat sering menimbulkan banyak permasalahan di lingkungan
sosial diantaranya yaitu tindakan kekerasan, pembunuhan, penindasan,
penganiayaan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan terkikisnya nilai-nilai
kemanusiaan.
Masalah
yang muncul di lingkungan sosial, dapat disebabkan adanya beberapa faktor yang
mendukung diantaranya faktor budaya, pendidikan, dan adanya sistem ekonomi
kapitalis di masyarakat. Banyaknya masyarakat yang hidup dalam keadaan
kekurangan sedangkan kebutuhan hidup mendesak, menyebabkan seseorang melakukan
tindakan kejahatan demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Tingkat pengangguran
mengakibatkan pula terjadinya krisis moral manusia. Banyaknya pengangguran
dipengaruhi dari tingkat pendidikan yang rendah, sehingga sulit untuk
mendapatkan lapangan pekerjaan. Orang kaya yang memiliki kedudukan tinggi dan
idealis, memperlakukan orang miskin sebagai kelas rendah dengan perilaku yang
tidak manusiawi.
Adanya
tindakan ketidakadilan dan penindasan menjadi faktor pendukung kesenjangan
sosial di masyarakat. Kesenjangan sosial menjadi jurang pemisah antara orang
yang kaya dengan orang miskin. Kebanyakan orang kaya yang memiliki kedudukan
tinggi menindas orang miskin yang berpendidikan rendah. Manusia terkadang
menganggap dirinya berkuasa untuk melakukan segala sesuatu tanpa melihat akibat
buruk dari perbuatannya. Hal ini dapat dipengaruhi dari kesalahpahaman
pengertian yang dimilikinya ataupun dari sikap yang menganggap dirinya paling
benar (egois). Egoisme merupakan
sikap yang berpusat pada diri sendiri, mementingkan diri sendiri, dan mencari
kepentingan diri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, bahkan cenderung
meniadakannya (Mangunhardjana, 1996: 58). Sikap tersebut sering muncul dan
menimbulkan permasalahan, seperti terjadinya kejahatan dan kekerasan, bahkan
penindasan terhadap sesama manusia.
Penindasan yang sering terjadi adalah
pelecehan dan kekerasan bagi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di
luar negeri mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Seperti kasus yang dialami
Yoyoh seorang TKI yang bekerja sejak
tahun 2004 sebagai pembantu rumah tangga di Inggris, mengaku telah mendapatkan perlakuan yang mengenaskan. Dia dibayar dengan gaji
rendah dan sering mendapat penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi (http://kampungtki.com/baca/12049).
Tindakan penindasan tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan manusia.
Kasus yang berkaitan dengan rasa ketidakadilan pun banyak yang muncul. Dalam setahun terakhir peristiwa yang muncul diantaranya yaitu kasus yang berkaitan dengan
hak memperoleh keadilan berjumlah 2.466 kasus,
kesejahteraan sebanyak 2.317 kasus, rasa aman sebanyak 948 kasus, dan
hak hidup sebanyak 191 kasus (Kompas, 7 Januari 2012: 7). Banyaknya kasus
mengenai hak kemanusiaan mengakibatkan kurang terwujudnya kesejahteraan hidup
di masyarakat. Sikap pemerintah dalam menangani kasus seringkali mendapat
protes dari masyarakat karena kurangnya rasa keadilan.
Ketidakadilan muncul
pada diri seseorang didukung dari hati nurani manusia yang kurang memiliki
sifat-sifat luhur. Ketidakadilan terkadang diterima masyarakat sebagai
peristiwa yang biasa terjadi, sehingga menimbulkan suatu ketidakadilan yang
struktural. Ketidakadilan struktural yang memaksa seseorang untuk tetap miskin
dan membuatnya tak berdaya untuk melawan tindakan penindasan, menjadi salah
satu masalah dalam mencapai keadilan sosial (http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/9208129145.pdf).
Ketidakadilan terhadap rakyat miskin mengakibatkan manusia tidak memperdulikan rasa kemanusiaan. Rasa
kemanusiaan dikehidupan sosial dapat dilihat dari segi agama yang mempengaruhi
pada sifat dan moral manusia.
Agama Buddha memiliki peranan dalam kehidupan
sosial, karena mengajarkan tentang moral (sīla),
ketenangan batin (samādhi), dan
kebijaksanaan (paňňa). Salah satu
ajaran yang diberikan kepada umat manusia berkenaan dengan kehidupan sosial
adalah mengenai Brahma Vihāra yaitu
mengenai empat kediaman luhur yaitu mettā
(cinta kasih), karuṇā (belas kasihan), muditā (simpati), dan upekkhā
(keseimbangan batin). Empat jenis Brahma
Vihāra yang merupakan kebajikan unggul untuk melenyapkan sifat egois,
ketidakharmonisan, dan meningkatkan altruisme
(Piyadassi, 2003: 247). Altruisme
merupakan pandangan dan sikap hidup yang menaruh perhatian pada kebajikan,
kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain (Mangunhardjana, 1996: 16). Pemahaman
mengenai mettā-karuṇā dapat diaplikasikan dikehidupan sosial,
karena pengaruhnya dapat membentuk sikap saling peduli dengan orang lain,
sedangkan muditā (simpati) dan upekkhā (keseimbangan batin) cenderung
pasif karena lebih terfokus pada diri sendiri. Pemahaman mengenai ajaran mettā-karuṇā tidak cukup hanya dipelajari saja, melainkan dipahami secara benar dan
mempraktikkannya dalam diri sendiri agar manusia memiliki rasa kemanusiaan pada
dirinya. Atas dasar permasalahan yang terjadi akibat
kurangnya rasa kemanusiaan di lingkungan sosial, penulis tertarik untuk
mengkaji rasa kemanusiaan dikaitkan dengan ajaran mettā-karuṇā yang memiliki nilai kebajikan dalam membentuk sifat luhur pada diri
manusia. Oleh karena itu, penulis
akan membahas mengenai “Pembentukan Budaya Humanis Melalui Mettā-Karuṇā”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah
konsep budaya humanis menurut Buddhisme?, bagaimanakah kedudukan mettā-karuṇā dalam agama Buddha?, bagaimanakah peran mettā-karuṇā dalam membentuk budaya humanis di kehidupan
sosial?
Tujuan Kajian
Tujuan penelitian ini adalah untuk: Menjelaskan konsep budaya humanis menurut
Buddhisme, menjelaskan kedudukan mettā-karuṇā dalam agama Buddha, mendeskripsikan
peran mettā-karuṇā dalam membentuk budaya humanis di kehidupan
sosial.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini secara teoritis yaitu memberikan pengetahuan kepada umat Buddha tentang konsep
budaya humanis menurut agama Buddha, kedudukan ajaran mettā-karuṇā
dalam agama Buddha, dan peran mettā-karuṇā dalam membentuk budaya humanis di
masyarakat. Sedangkan kegunaan secara
praktis yaitu dengan
memahami konsep budaya humanis menurut Buddhisme umat Buddha diharapkan mampu
menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam agama Buddha, dengan memahami kedudukan mettā-karuṇā
dalam agama Buddha diharapkan umat Buddha dapat mempraktikkan sifat
kebajikan mettā-karuṇā dalam
kehidupan masyarakat, dengan
memahami peran mettā-karuṇā dalam
membentuk budaya humanis umat Buddha
dapat menjalin hubungan sosial yang harmonis dan memiliki sifat kemanusiaan di
masyarakat dengan berlandaskan pada sikap batin mettā-karuṇā.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
metode penelitian kualitatif yang berpusat pada metode deskriptif dan kajian
pustaka. Metode deskriptif adalah metode yang memberikan gambaran atau uraian
atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti
(Kountur, 2005: 105). Metode deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan dan
menguraikan suatu kejadian atau peristiwa sejelas mungkin agar mudah dipahami
dan meningkatkan objektivitas dalam penelitian. Melalui metode deskriptif, penulis
memberikan interpretasi terhadap data yang berkaitan dengan objek penelitian
yaitu budaya humanis menurut agama Buddha, dan konsep mettā-karuṇā. Penelitian deskriptif menggunakan fakta dan data yang dimaksudkan
untuk meningkatkan objektivitas penelitian demi mendekatkan hasil penelitian
pada kebenaran secara objektif terhadap penerapan ajaran mettā-karuṇā dalam kehidupan manusia di masyarakat. Metode studi pustaka merupakan
serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca,
dan mencatat literatur serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2004: 3). Dalam
studi kepustakaan penulis melakukan kegiatan dengan cara mengumpulkan, membaca,
mencatat, dan mengolah data-data yang berkaitan dengan konsep budaya humanis
dan mettā-karuṇā. Data
berasal dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer diperoleh dari
Kitab suci agama Buddha, sedangkan sumber sekunder diperoleh dari
literatur-literatur lain, baik melalui internet, buku, majalah, koran, jurnal,
dan laporan penelitian yang ada hubungannya dengan kemanusiaan di masyarakat.
HASIL PENELITIAN
Manusia memiliki tanggung jawab dalam
berperilaku yang mencerminkan sikap manusiawi. Kebudayaan manusiawi berkaitan
dengan pola kehidupan dan sifat manusia yang terkait dengan kemanusiaan di
masyarakat. Menurut Gillin (dalam Maran, 2007: 26) menganggap kebudayaan
terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang terpola dan secara fungsional saling
bertautan dengan individu tertentu yang membentuk grup-grup atau kategori
sosial tertentu. Sedangkan humanis merupakan sifat manusia yang mengutamakan
kemanusiaan. Berdasarkan pengertiannya, humanisme berasal dari bahasa latin “humanus” yang berarti manusia, humanisme
mengacu pada setiap pandangan yang menitikberatkan perhatian pada kesejahteraan
manusia dan mengutamakan pembinan cita-cita seperti kasih sayang, kesetiaan,
keramahan, pengabdian, kejujuran, keadilan, dan sebagaianya (Wowor, 2004: 26).
Berdasarkan definisi tersebut, pengertian budaya humanis dipahami sebagai
kebiasaan-kebiasaan tingkah laku individu yang secara fungsional dapat
memberikan manfaat pada kesejahteraan hidup manusia. Bentuk budaya humanis di masyarakat
diwujudkan dengan tindakan manusia yang bermoral baik di masyarakat. Budaya
humanis secara Buddhis dapat dilihat dari ajaran dan teladan hidup Sang Buddha
yaitu dengan memiliki kebiasaan hidup secara ajaran moral dan spiritual, serta
mengarah pada tujuan untuk mencapai kebebasan sempurna. Selain itu, perilaku
yang mencerminkan sikap humanis dalam Buddhisme ditunjukan oleh dua penyokong
utama Sang Buddha yaitu Visākhā dan Anāthapiṇḍika. Sang Buddha mengatakan bahwa Visākhā
adalah yang terunggul diantara para umat perempuan pendukung Sang Buddha yang
bertindak sebagai para pendukung Saṅgha. Anāthapiṇḍika merupakan umat awam yang tekun dalam
menyokong Saṅgha, beliau menyediakan segala keperluan para
bhikkhu.
Sikap
humanis juga berkaitan dengan etika di masyarakat. Etika dalam Buddhisme
mengarah pada perilaku yang berlandaskan moral yang memberikan sikap hidup yang
baik, sehingga seseorang dapat mengurangi penderitaan dalam hidup. Moralitas
dalam Buddhisme terwujud dalam latihan aturan moral (sīla), dan mengarah pada pembebasan dari penderitaan (dukkha). Sīla mencakup perilaku dan sifat-sifat baik yang ada dalam ajaran
moral dan etika dalam agama Buddha.
Prinsip etika dalam Buddhisme dijelaskan sebagai puñña dan pāpa (good and
bad) yang berarti baik dan buruk atau kusala
dan akusala. Puñña dan pāpa mengandung pengertian sebagai
tindakan baik dan buruk. Kusala
berkaitan dengan pembebasan pikiran dari lobha,
dosa, dan moha, sedangkan akusala berkaitan dengan pikiran yang
masih diliputi dengan kebodohan batin yang mengakibatkan penderitaan. Buddhisme
juga menjelaskan mengenai menghargai hak dan martabat manusia dan kehendak
bebasnya dijelaskan dalam Kālāma Sutta,
Aṅguttara Nikāya bahwa Buddha menghormati hak manusia
untuk memilih suatu kebenaran. Buddha menganjurkan kepada manusia mana yang
menurutnya baik dapat diterima oleh manusia, dan yang buruk untuk ditinggalkan.
Nilai-nilai
kemanusiaan Buddhis berhubungan dengan sifat baik dan moral manusia. Konsep mettā-karuṇā dalam agama Buddha menjelaskan mengenai
sifat kebajikan yaitu mencintai dan memiliki rasa belas kasih kepada orang
(makhluk) lain. Sifat mettā-karuṇā berperan
penting sebagai salah satu cara untuk mencapai kebebasan dari penderitaan dan
merupakan bagian dari nilai kemanusiaan.
Mettā berarti sesuatu yang dapat menghaluskan hati seseorang, atau rasa
persahabatan sejati (Wowor, 2004: 67). Mettā
juga dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan
kebahagiaan makhluk lain. Mettā
bersifat positif dalam membentuk perilaku manusia yang bermoral baik karena
merupakan sifat adosa (tanpa
kebencian) dan merupakan lawan dari kemarahan dan permusuhan. Perbuatan dapat
dilakukan melalui tiga macam yaitu melaui pikiran, ucapan, dan perbuatan. Peran cinta
kasih merupakan sifat luhur yang dapat menghancurkan kebencian dan mendorong munculnya kemauan-kemauan
baik serta membebaskan pikiran dengan cinta kasih (mettā ceto-vimutti) yang merupakan jalan (ayampi maggo) untuk dapat terlahir di alam brahma. Apabila cinta kasih berperan sebagai pembebasan (mettā ceto-vimutti) dari gangguan-gangguan
pikiran, maka pada sifat karuṇā
mengutamakan belas kasih untuk menolong penderitaan terhadap makhluk lain.
Pemahaman belas kasihan diartikan sebagai keadaan dari keinginan untuk bebas
dari penderitaan dan ketidakberuntungan, dengan pikiran semoga mereka
dibebaskan dari penderitaan (Aronson, 2005: 109). Karuṇā bersifat melenyapkan sifat kekejaman (hiṁsā). Objek dari karuṇā ditujukan
kepada semua makhluk terutama yang mengalami penderitaan. Karuṇā dikembangkan melalui tiga macam perbuatan yaitu melaui pikiran (mano), ucapan (vaci), dan perbuatan (kamma). Karuṇā dalam agama Buddha selain berperan
melenyapkan penderitaan, juga berperan meningkatkan batin pada diri sendiri.
Pikiran dengan sifat belas kasih dapat membebaskan (karuṇā ceto-vimutti)
dari penderitaan dan gangguan lainnya, serta sebagai bagian dari pengembangan
pembebasan pikiran sebagai jalan (ayampi
maggo) untuk mencapai alam brahma. Seseorang
yang mengembangkan mettā-karuṇā dalam
kehidupan sehari hari, maka akan menimbulkan keharmonisan dan kebahagiaan dalam
hidup bermasyarakat.
Hidup yang
bahagia dapat
tercapai apabila manusia
saling menjaga hubungan yang harmonis. Harmonis berarti selaras atau serasi dan
mampu menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Sifat mettā-karuṇā sebagai landasan batin pada diri manusia
untuk menciptakan rasa kemanusiaan dan kaharmonisan serta kebahagiaan bersama.
Dijelaskan dalam Saraniyadhamma Sutta (Davids, 2001: 202) bahwa terdapat enam cara
kehidupan yang membawa pada sifat mau membantu orang lain, tanpa perselisihan,
dan keharmonisan. Enam cara kehidupan tersebut diteladani dari kehidupan para
bhikkhu diantaranya:
1. Mettākaya-kamma
Seorang
menyebarkan cinta kasih dalam bentuk perbuatan jasmani kepada sesama teman baik
di depan umum maupun pribadi. Menyebarkan cinta kasih melalui perbuatan jasmani
dapat dicontohkan dengan perbuatan tidak membunuh makhluk lain, menolong orang
lain yang membutuhkan, dan sebagainya.
2. Mettāvaci-kamma
Seseorang
menyebarkan cinta kasih dalam bentuk ucapan terhadap sesama teman atau orang
yang berada di sekitarnya baik di depan umum maupun pribadi. Apabila seseorang
mengucapkan kata-kata yang baik, sopan, dan ramah penuh dengan cinta kasih,
maka akan mengakibatkan kebahagiaan bagi orang yang mendengarnya.
3. Mettāmano-kamma
Seseorang
menyebarkan mettā melalui pikiran
kepada teman dan semua orang dengan harapan orang lain merasakan kebahagiaan.
Pikiran dengan cinta kasih akan mengakibatkan pikiran menjadi tenang dan tidak
terganggu oleh masalah-masalah dari luar. Pikiran yang tenang dan damai akan
menghasilkan kebahagiaan terhadap diri sendiri maupun orang lain.
4. Sādharanabhogi
Seseorang
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk ikut merasakan
keuntungan-keuntungan yang diperolehnya dengan cara yang baik dan benar serta
tidak mempergunakannya sendiri. Sikap cinta kasih yang dibarengi dengan rasa
belas kasih untuk memancarkan kebahagiaan.
5. Sīlasāmaññatā
Seseorang
selalu menjaga sīla baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap orang lain. Memiliki sīla yang baik juga akan mendorong pada kehidupan yang rukun,
saling mencintai, dan menuju pada hubungan masyarakat yang harmonis.
6. Diṭṭhisāmaññatā
Seseorang
melatih diri membebaskan pikiran dari penderitaan sehingga dapat hidup bersama
secara harmonis dan terhindar dari pertikaian, percekcokan diantara mereka.
Mempraktikkan mettā-karuṇā dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu
melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan untuk menumbuhkan keharmonisan di
masyarakat. Rasa kemanusiaan yang muncul dari pikiran, perkataan, dan perbuatan
dapat mewujudkan rasa kedamaian dan kebahagiaan terhadap diri sendiri maupun
orang lain. Melatih mettā bhāvanā
atau karuṇā bhāvanā merupakan cara untuk membebaskan pikiran
dari penderitaan (ceto-vimutti) serta
mengikis akar kejahatan seperti lobha,
dosa, dan moha. Hancurnya akar
kejahatan pada diri manusia berarti hilangnya niat untuk melakukan kejahatan sehingga
kehidupan menjadi harmonis. Perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari akan mengarahkan dirinya untuk melakukan kebiasaan untuk bertindak
sesuai dengan moral dan memiliki rasa kemanusiaan terhadap orang lain. Dalam
menjalin hubungan antar sesama manusia yang harmonis, dilakukan dengan cara
mampu menjaga moralnya sendiri dalam hidup bermasyarakat. Etika sosial
berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai umat
manusia (Salam, 1996: 8). Menerapkan etika sosial dapat membiasakan hidup
manusia untuk mau peduli dan mementingkan kepentingan bersama seperti
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama. Sikap yang diutamakan dalam
menjalankan etika dalam kehidupan sosial adalah mampu menjaga moral. Menjaga
moral dapat dilakukan dengan melaksanakan sīla
sebagai cara untuk mengendalikan diri dari tindakan buruk. Pelaksanaan sīla dilandasi dengan sifat mettā-karuṇā sehingga membentuk watak manusia menjadi
lebih menghargai dan peduli dengan kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain.
Sikap kemanusiaan yang dilandasi oleh mettā-karuṇā dilakukan
pula dengan cara saling memberi atau berdāna
untuk melawan sikap ketamakan manusia.
Berkaitan
dengan perilaku humanis di masyarakat, sikap kemanusiaan sosial dalam Buddhisme
dikenal dengan sebutan Socially Engaged Buddhism yaitu Buddhisme yang
terlibat sosial. Socially Engaged Buddhism memiliki beberapa
karakteristik, yaitu keseimbangan antara meditasi dan ajaran Buddha, dengan
terlibat secara sosial kemasyarakatan dalam upaya melenyapkan penderitaan,
serta terlihat ke dalam persoalan sosial, ekonomi, lingkungan, perdamaian, dan
ketidakadilan. Beberapa peran Buddhisme dalam membentuk perilaku manusia yang
humanis dicontohkan dari tokoh-tokoh Buddhisme yang terlibat secara sosial
diantaranya yaitu yayasan Buddha Tzu Chi yang mewariskan nilai-nilai cinta kasih dari
generasi ke generasai dengan cara mengadakan pelatihan terhadap para relawan secara
terus menerus. Buddha Tzu Chi mengadakan pelatihan bagi relawan baru yang dilakukan
dengan cara diperkenalkannya tiga prinsip budaya kemanusiaan yaitu bersyukur (Gan
En), menghormati (Zhun Zhong), dan kasih sayang (Ai) (http://www.tzuchi.or.id/Kebudayaan.php).
Selain itu, tokoh Thich Nhat Hanh yang dengan aksi cinta kasih juga berperan
menolong umat manusia yang pada saat itu terjadi perang di Vietnam dan
mendirikan pusat retret seni hidup berkesadaran kepada para bhikkhu serta umat
awam, yang dilakukan juga ke berbagai negara seperti Eropa, Amerika, dan Asia. Di
sisi lain, tokoh Sulak
Sivaraksa juga menggunakan cara pelatihan meditasi untuk mengembangkan
kebijaksanaan (pañña), sehingga
seseorang mampu memahami sifat tanpa keegoisan dan menumbuhkan rasa belas kasih
(karuṇā) terhadap orang lain. Shramadana Sarvodaya
yang memberikan kontribusi mengenai resolusi konflik antara bangsa Sinhala
dengan populasi bangsa Tamil dengan menggunakan konsep empat kebenaran mulia (cattāriariyasaccāni) sebagai
sarana perenungan pemecahan masalah (King, 2009: 37). Beberapa contoh tindakan
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Buddhisme, menjadi teladan untuk menghargai dan
melindungi kehidupan manusia. Selain itu, manusia hendaknya melatih kesadaran
dan mengendalikan dirinya dalam melakukan segala tindakan, sehingga mampu
menumbuhkan rasa persaudaraan dengan cinta dan belas kasih terhadap sesama
manusia.
Landasan mettā-karuṇā merupakan cara untuk melenyapkan lobha, dosa, dan moha serta jalan menuju kebahagiaan. Peran mettā-karuṇā adalah membebaskan pikiran dari
gangguan-gangguan batin dan penderitaan dengan cara mengembangkan pikiran
dengan meditasi. Mempraktikkan mettā
atau karuṇā bhāvanā mampu membebaskan pikiran dari gangguan
batin (nīvaraṇa) dan
merasakan kebahagiaan penuh dan kedamaian. Orang yang dapat melenyapkan
kekotoran batin dan memperoleh kebahagiaan sejati (Nibbāna), maka dalam diri seseorang mettā-karuṇā menjadi kuat. Mettā-karuṇā yang kuat sebagai landasan untuk membentuk
sifat humanis dan menumbuhkan niat dalam diri manusia untuk melakukan perbuatan
baik. Melakukan perbuatan baik dengan mettā-karuṇā akan
menciptakan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain,
karena seseorang yang berperilaku baik
juga dapat memberikan teladan bagi orang lain. Oleh karena itu setiap manusia
perlu mengembangkan sifat mettā-karuṇā sebagai
landasan batin untuk membentuk sifat humanis dalam diri manusia dan berperilaku
baik di masyarakat, sehingga dapat menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan
bersama.
KESIMPULAN
Berdasarkan
penelitian metode kajian pustaka, maka penulis dapat membuat kesimpulan bahwa
Buddhisme berperan penting dalam membentuk sikap humanis dengan mempraktikkan mettā-karuṇā, karena sebagai makhluk sosial manusia
sering menimbulkan masalah di masyarakat. Perbuatan seperti kekerasan,
penindasan, dan ketidakadilan menyebabkan terkikisnya rasa kemanusiaan. Untuk
membentuk kehidupan yang humanis, dibutuhkan sikap kemanusiaan dalam kehidupan
sehari-hari yang mencerminkan perilaku moral. Budaya humanis yang ditinjau dari
Buddhisme, dapat dibangun dengan cara menerapkan etika dan menghargai hak
kemanusiaan secara Buddhisme kepada setiap diri manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu juga dengan melatih diri memiliki sikap batin untuk
saling menyayangi dan memiliki rasa belas kasih terhadap orang lain yang
merupakan wujud dari nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat. Nilai kemanusiaan
dalam etika buddhis diwujudkan dengan mempraktikkan sīla sebagai landasan moral. Prinsip etika buddhis membicarakan
tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan. Kebaikan akan mengarahkan pada
kebahagiaan yang merupakan wujud dari nilai-nilai moralitas. Sedangkan nilai
kemanusiaan yang berdasarkan pada hak kemanusiaan buddhis, ditunjukan bahwa
Buddhisme menghargai dan menghormati harkat dan martabat setiap makhluk dengan
cara melindungi kehidupan diri sendiri dan menjaga kehidupan makhluk lain.
Menumbuhkan rasa kemanusiaan pada setiap individu dalam kehidupan sehari-hari,
membutuhkan suatu latihan yang bersumber dari batin atau pikiran setiap
manusia. Batin harus dilatih dengan mengembangkan sifat belas kasih dan kasih
sayang terhadap sesama manusia atau kepada semua makhluk untuk mewujudkan
kehidupan yang humanis di masyarakat.
Sifat yang
mampu dikembangkan sebagai landasan batin untuk memiliki rasa kemanusiaan
adalah dengan saling menyayangi dan welas asih terhadap sesama manusia atau
terhadap semua makhluk. Mettā-karuṇā merupakan
sifat kebaikan yang memiliki tujuan sama yaitu mengharapkan kebahagiaan orang
lain. Mettā-karuṇā merupakan
sifat cinta kasih dan rasa belas kasih yang dipancarkan kepada semua makhluk
tanpa membeda-bedakan, tetapi bukan cinta kasih yang dilandasi dengan napsu.
Sifat dari mettā adalah melawan sifat
buruk yaitu kebencian, sedangkan karuṇā melawan
sifat kekejaman atau kebengisan. Mengembangkan mettā dan karuṇā dilakukan
melalui pikiran (mano), ucapan (vaci), dan perbuatan (kāya). Mengembangkan mettā dan karuṇā dilaksanakan dengan latihan meditasi.
Pikiran dilatih untuk berkonsentrasi dengan mengharapkan semua makhluk
berbahagia. Pada pengembangan awal, mettā
atau karuṇā dipancarkan kepada diri sendiri, kemudian
dipancarkan terhadap orang yang dihormati, kepada orang yang netral, dan kepada
musuh. Dengan mengembangkan mettā dan
karuṇā, maka secara sementara pikiran dapat
terbebas dari penderitaan. Pembebasan pikiran dengan menggunakan meditasi mettā disebut sebagai mettā ceto vimutti, sedangkan pembebasan
pikiran dengan sifat belas kasih disebut sebagai karuṇā ceto vimutti. Apabila mettā
dipancarkan kepada orang yang bahagia dan yang menderita, maka karuṇā lebih dipancarkan kepada orang yang
menderita dan berusaha untuk membuatnya bahagia. Karuṇā merupakan sifat belas kasih terhadap orang yang mengalami penderitaan
dan kesedihan. Sifat belas kasih karena cinta kasih yang dimilikinya mampu
mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan baik dan menumbuhkan sikap
kemanusiaan seperti mau berdana, rendah hati, mau menolong, dan tidak melukai
atau menyakiti makhluk hidup. Sifat cinta kasih dan belas kasih mampu mendorong
seseorang memiliki kemauan baik untuk membuat orang lain bahagia. Pikiran
sementara dapat terbebaskan dari penderitaan dan akan menyebabkan kebahagiaan
terhadap dirinya sendiri.
Mettā-karuṇā berperan penting dalam membangun kehidupan
manusia yang bahagia dan menyingkirkan penderitaan. Manusia dapat memiliki
sikap yang berperikemanusiaan dengan mengembangkan sifat mettā-karuṇā sebagai landasan batin pada diri sendiri. Sikap humanis yang
berlandaskan pada sifat mettā-karuṇā diwujudkan dengan tindakan manusia yang
bermoral dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sikap bermoral
dilakukan dengan mempraktikkan sīla
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu perbuatan dengan mettā-karuṇā mampu menumbuhkan keharmonisan dan kebahagiaan hidup manusia.
Keharmonisan dalam hidup bermasyarakat dapat diwujudkan melalui pikiran, ucapan
dan perbuatan manusia dengan mengembangkan sifat untuk saling mencintai dan
menyayangi satu sama lain. Agar manusia memiliki sikap humanis di masyarakat,
maka dibutuhkan moral yang kuat diantaranya mempraktikkan sīla, memiliki sikap hormat, memiliki sikap kedermawanan, dan
bersikap adil terhadap orang lain. Selain itu bentuk rasa humanis di masyarakat
dibuktikan dengan adanya gerakan Socially
Engaged Buddhism yaitu Buddhisme yang terlibat sosial diwujudkan salah
satunya dengan menumbuhkan aksi non-kekerasan terhadap segala bidang termasuk
sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya untuk menumbuhkan rasa kedamaian
dan kesejahteraan manusia. Adapula peran mettā-karuṇā dalam membentuk kebahagiaan adalah dengan
mengembangkan meditasi mettā atau karuṇā bhāvanā hingga mampu melenyapkan gangguan batin dan memperoleh kebahagiaan
dalam kehidupan sekarang ataupun yang akan datang. Menumbuhkan sikap humanis di
masyarakat dapat dilakukan dengan melatih diri untuk memiliki kesadaran pada
diri masing-masing. Kesadaran akan menuntun pada kebahagiaan hidup manusia dan
menuju pada kebahagiaan sejati (Nibbāna).
Seseorang yang dapat mencapai kebahagiaan sejati maka dalam dirinya memiliki mettā-karuṇā yang kuat, sehingga dalam kehidupan di dunia seseorang banyak melakukan perbuatan baik terhadap
orang lain dan menumbuhkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kehidupan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Aronson,
Harvey B. 2005. Cinta Kasih dan Rasa
Simpati Ajaran Buddha Gautama. Medan: Sri Manggala.
Davids,
Rhys. 2001. The Book of Gradual Sayings
(Aṅguttara
Nikaya) Vol.III. Oxford: The
Pali Text Society.
Hamid, Usman. 7
Januari, 2012. Tegakan HAM Aja Kok Repot.
Kompas. hlm.7.
King,
Sallie B. 2009. Socially Engaged Buddhism.
Honolulu: University of Hawai’i Press.
Kountur, Ronny. 2005. Metode Penelitian. Jakarta Pusat: PPM.
Mangunhardjana, A.
1997. Isme-Isme dalam Etika.
Yogyakarta: Kanisius.
Maran,
Rafael Raga. 2007. Manusia dan Kebudayaan
dalam
Perspektif Ilmu Budaya Dasar.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho,
Tri. Tanpa Tahun. Perubahan Struktur
Sosial Menuju Kesejahteraan Bersama (online, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/9208129145.pdf,
diakses tanggal 20 Februari 2012).
Piyadassi
Mahathera. 2003. Spektrum Ajaran Buddha.
Jakarta: Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna.
Salam,
Burhanuddin. 1996. Etika Sosial, Asas
Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Tanpa
Nama. 2012. TKI Inggris dapat Perlakuan
Tidak Manusiawi (online). (http://kampungtki.com/baca/12049, diakses
tanggal 10 Maret 2012).
Tanpa Nama. Tanpa Tahun. Misi Budaya Kemanusiaan Menyucikan Hati Manusia
(online). (http://www.tzuchi.or.id/Kebudayaan.php,
diakses tanggal 25 Agustus 2012).
Wowor,
Cornelis. 2004. Pandangan Sosial Agama
Buddha. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia.
Zed,
Mestika. 2004. Metode Penelitian
Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Share this on your favourite network
0 comments:
Post a Comment