KONTRIBUSI
MEDITASI BUDDHIS UNTUK MENINGKATKAN KECERDASAN ANAK
ABSTRACT
This research has a background
problems of different children’s intelligence, concerned children’s
intelligence consisting of IQ, EQ, and SQ. Parents and teachers must help
children to incerase children’s intelligence, so that children do use
appropriate method to develop their intelligence. Buddhism gives a contribution
to increase children’s intelligence by meditation.
This research has a purpose to
describe the contribution of Buddhist meditation to increase children’s
intelligence. This method is an analysis description method. The description
method is used to explain the contribution of Buddhist meditation and
children’s intelligence systematically. Analysis is to explain the contribution
of Buddhist meditation to increase children’s intelligence. This research
obtains the data from primary resource that is pāli canon, and the scondary
resource is from Buddhist literature and literature related to the contribution of Buddhist meditation and
children’s intelligence .
Based on the result of the
research, Buddhist meditation concept is obtained to increase children’s
intelligence. The Buddhist meditation used to increase children’s intelligence
is samatha bhāvanā by the
meditation object of respiration (anāpānasati).
Ànāpānasati helps children to
increase concentration, as it can
consolidate children’s memories. Intelligence affects children in using their memory to study or to solve
problems in daily life. Buddhist meditation
can increase children’s
understanding in their study included in a cognitive domain, control their
emotion concerning the attitude to solve the problem arising is a affective
domain , and therefore, increase their spiritual intelligence solving the
problem included in a psychomotoric domain.
Key
Word: Contribution of Buddhist Meditation, Increase Intelligence, Children.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan anak
tidak hanya diperoleh dari lingkungan sekolah. Anak memerlukan pendidikan dari
orang tua yang bertujuan untuk mengenalkan lingkungan masyarakat pada anak.
Pendidikan di sekolah saja tidak cukup untuk diterapkan di lingkungan
masyarakat, tetapi pendidikan juga harus didukung dengan peran orang tua dalam
mengawasi anak. Anak yang tidak diperhatikan orang tua cenderung akan melakukan
hal yang berbahaya untuk diri sendiri atau orang lain sebab anak tidak
mendapatkan pengarahan dari orang tua. Hal ini terbukti dengan adanya kasus di Surabaya yaitu DYD seorang anak usia 9 tahun
harus duduk di kursi Pengadilan Negeri karena didakwa melakukan perbuatan
kriminal terhadap DNS temannya satu sekolah yang juga berusia 9 tahun. Persoalannya
bermula dari kenakalan DYD menakut-nakuti DNS dengan mengacung-acungkan
lebah madu sehingga lebah madu itu menyengat pipi DNS yang menyebabkan rasa
sakit dan bekas sengatan. (http://politik.kompasiana.com/2010/02/01/kasus-sengatan-lebah-menjadi-kriminal). Kasus
DYD membuktikan bahwa pendidikan anak di sekolah kurang, sehingga orang tua
perlu memberikan pendidikan, pengarahan, perhatian dan pengawasan terhadap
anak. Hal tersebut sangat diperlukan anak untuk perkembangan emosi dan
pemahaman anak tentang lingkungannya.
Di lingkungan
sekolah, anak yang mendapat nilai tidak baik atau kurang dari kriteria
ketuntasan minimal dikatakan kurang mampu memahami pelajaran yang diberikan,
oleh karena itu guru harus mengadakan program perbaikan di sekolah. Agar program
perbaikan di sekolah dapat mencapai batas ketuntasan, maka perlu adanya
bimbingan belajar yang tidak menjenuhkan. Banyak anak yang menggunakan waktu
bimbingan belajar di sekolah untuk pergi dengan teman-temannya karena anak
merasa jenuh, sehingga anak mencari hiburan dengan cara membolos. Anak yang
sering mendapat nilai tidak baik disebabkan anak susah berkonsentrasi pada
pelajaran atau kegiatan yang dilakukannya. Hal tersebut menyebabkan anak sulit
mengingat materi pelajaran yang diberikan oleh guru, sehingga nilai yang
diperoleh anak rendah. Pencapaian nilai rendah mendorong anak untuk melakukan
cara curang agar mendapatkan nilai baik dengan cara menyontek. Hal ini terbukti
dengan adanya pernyataan dari Yohanes Dinar Setya Adi, murid kelas XII Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Salatiga. Yohanes menyatakan “saya akan berhenti
menyontek kalau sudah pintar” (Kompas, 9 Januari 2012: 3). Pernyataan Yohanes
menunjukkan bahwa untuk mendapatkan nilai baik dapat dilakukan dengan berbagai
cara dan menyontek termasuk cara yang sering dilakukan anak.
Perkembangan
anak dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini dicontohkan adanya kasus seorang anak
bernama Ilham berusia 8 tahun yang mencuri di rumah tetangganya karena ingin
membeli rokok. Ilham sering marah dan tidak mau sekolah jika tidak dibelikan
rokok oleh orang tuanya. Ilham kecanduan rokok karena terpengaruh oleh pamannya
yang sering merokok, sehingga Ilham menjadi perokok pada usia balita (Kompas,
20 Maret 2012: 15). Perbuatan yang dilakukan Ilham menunjukkan bahwa lingkungan
mempunyai peran dalam perkembangan anak. Ilham yang mencuri menandakan
ketegangan yang dialaminya karena membutuhkan rokok.
Sulitnya
konsentrasi pada anak disebabkan karena ketegangan pada syaraf anak, sehingga
anak perlu waktu untuk merilekskan diri dari ketegangan. Adanya ketegangan
syaraf pada anak dapat menjadikan anak stres, karena pada dasarnya anak masih
senang bermain. Oleh karena itu, peran meditasi sangat penting untuk membantu
menenangkan anak agar mudah berkonsentrasi untuk meningkatkan kecerdasan,
sehingga mampu mengingat pelajaran yang diterima melalui praktik meditasi dalam
kehidupan sehari-hari.
Agama Buddha
memberikan gambaran melalui pelaksanaan meditasi Buddhis untuk pengembangan
ketenangan pada anak. Meditasi Buddhis akan sangat berpengaruh terhadap kondisi
pikiran anak yang sulit berkonsentrasi, karena anak membutuhkan ketenangan
melalui meditasi. Anak yang kurang mengetahui cara meningkatkan kecerdasan
menjadikan anak beranggapan bahwa
kecerdasan yang diperoleh merupakan takdir, sehingga anak tidak berusaha untuk
meningkatkannya karena mempunyai anggapan yang salah. Anak yang mampu
melaksanakan meditasi dengan baik dan mampu mengendalikan pikiran akan
berpengaruh pada tingkat pemikirannya, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan.
Anak yang
mempraktikkan meditasi harus mengerti tentang cara bermeditasi yang baik dan
benar. Pengetahuan tersebut dapat dipelajari oleh anak dari guru di sekolah
atau orang tua di rumah. Anak yang tidak mendapatkan arahan tentang meditasi
akan mengalami kesulitan dalam praktik, sehingga anak mempraktikkan meditasi
dengan cara salah. Praktik yang salah menyebabkan anak tidak memahami manfaat
meditasi dan kontribusi meditasi untuk meningkatkan kecerdasannya.
Dalam Agama
Buddha terdapat dua macam meditasi yaitu samatha
bhāvanā dan vipassanā bhāvanā.
Objek meditasi Buddhis yang dapat diterapkan untuk kedua macam meditasi adalah Anapanasati. Anapanasati dilakukan dengan mengamati keluar masuknya napas.
Meditasi dengan objek Anapanasati
menjadikan pikiran tenang dan mudah terkonsentrasi dalam semua kegiatan,
sehingga menjaga ketenangan dan kestabilan dalam berpikir. Pikiran yang tenang,
terarah dan teratur membantu anak mudah dalam menerima semua pelajaran, maka
pemahaman anak terhadap pelajaran akan lebih baik. Ketenangan pikiran akan
membawa kemudahan anak dalam berkonsentrasi. Kemudahan berkonsentrasi
mempengaruhi ingatan anak dalam mengingat pelajaran yang telah didapat.
Meningkatkan
kecerdasan anak yang meliputi kecerdasan inteligen (Intelligence Quotient), kecerdasan emosional (Emotional Quotient), dan kecerdasan spiritual (Spritual Quotient) memerlukan berbagai usaha dan tidak terpaku
dalam pendidikan akademik. Meditasi dapat diterapkan untuk memberikan efek
tenang pada anak, sehingga anak mempunyai waktu untuk menenangkan diri dari
kesibukan yang dijalaninya. Adanya permasalahan tentang anak yang susah
berkonsentrasi menyebabkan kurangnya
kecerdasan anak, penulis bermaksud untuk meneliti tentang bagaimana analisis samatha bhāvanā untuk
meningkatkan kecerdasan anak.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut, maka dapat diketahui objek material penelitian ini yaitu
kecerdasan anak, dan objek formalnya adalah meditasi Buddhis Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep kecerdasan anak?, bagaimana
meditasi Buddhis yang dapat meningkatkan kecerdasan anak?, dan bagaimana
analisis samatha bhāvanā untuk
meningkatkan kecerdasan anak?.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk
menjelaskan konsep kecerdasan anak, menjelaskan meditasi Buddhis yang dapat
meningkatkan kecerdasan anak, dan menjelaskan analisis samatha bhāvanā untuk meningkatkan kecerdasan anak
METODE
PENELITIAN
Jenis
Penelitian
Penelitian ini termasuk
penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode
deskriptif analisis. Menurut Kirk dan Miller (Moleong, 2002: 3) penelitian
kualitatif merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
mendasar bergantung pada pengamatan
terhadap manusia sebagai objek penelitian. Metode deskriptif merupakan suatu
metode dalam meneliti objek penelitian yang berupa nilai-nilai budaya manusia,
sistem pemikiran filsafat, nilai etika, nilai karya seni dari sekelompok
manusia peristiwa atau objek budaya lainnya (Kaelan, 2005: 58). Sedangkan
analisis data menurut Patton (dalam Kaelan, 2005: 68), merupakan suatu proses
mengatur data, mengorganisasikannya ke suatu pola, kategori dan satuan uraian
dasar. Penelitian ini akan menjelaskan dan mengembangkan konsep kecerdasan anak
yang dapat ditingkatkan dengan meditasi Buddhis.
Dalam menganalisis
data, peneliti juga mengkaji teori yang akan digunakan dalam penelitian. Kajian
teori diperoleh dari berbagai sumber yang membahas meditasi Buddhis dan
kecerdasan anak. Dalam sumber tersebut belum membahas pentingnya meditasi
Buddhis untuk meningkatkan kecerdasan anak, sehingga pembahasan tentang
meditasi Buddhis yang dapat membantu kecerdasan anak sangat diperlukan.
Meditasi
Buddhis dan kecerdasan anak merupakan data yang akan diolah. Praktik meditasi
Buddhis yang baik dan benar diharapkan mampu meningkatkan kecerdasan anak. Dengan melakukan meditasi Buddhis, anak menjadi
tenang dan mudah memahami pelajaran yang didapat.
HASIL
PENELITIAN
Kecerdasan diperlukan dalam
bersosialisasi dengan masyarakat, karena kecerdasan mempengaruhi tingkah laku.
Menurut Azwar (2000: 3) kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk berpikir
dan kemampuan mengolah tingkah laku dengan pola-pola baru sehingga keterampilan
dan kelancaran pengetahuan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Dari
pengertian psikologi dan kecerdasan di atas dapat diketahui, kecerdasan anak
dapat dilihat dari tingkah laku yang bersumber pada kemampuan berpikir anak.
Anak yang mempunyai kemampuan berpikir dengan baik akan mampu memperoleh
pengetahuan dengan baik dan lancar.
Kemampuan anak dalam memahami
pelajaran berbeda-beda, hal ini berkaitan dengan daya tangkap anak atau
kecerdasan. Kecerdasan dalam
agama Buddha berasal dari kata “Pathibana” (Bahasa Pali) atau “Pratibhana”
(Bahasa Sansekerta), yang berarti pengertian, pengetahuan, dan kemampuan untuk
memahami (Davids, 1992: 397). Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa
kecerdasan berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh dari kemampuan berpikir
baik. Anak yang memiliki kemampuan berpikir baik akan lebih cepat memahami
segala sesuatu yang dipelajari. Kemampuan berpikir baik berkaitan dengan
ketepatan dalam mempelajari segala sesuatu. Agama Buddha juga mengenal
kecerdasan rendah dan kecerdasan tinggi.
Kecerdasan rendah menurut psikologi adalah anak yang mempunyai IQ yang rendah.
Anak yang mempunyai IQ 0-25 merupakan anak idiot, IQ 25-50 adalah anak imbesil (cacat berat), IQ 50-75
merupakan debil (cacat ringan), IQ
75-85 disebut anak yang lamban belajar. Anak yang mempunyai kecerdasan tinggi
menurut psikologi adalah anak yang mempunyai IQ tinggi. Anak yang memiliki IQ
90-110 merupakan anak yang mempunyai kecerdasan normal atau rata-rata,
anak yang memiliki IQ 110-125 termasuk
kecerdasan superior, tingkat IQ 125-140 termasuk kecerdasan sangat superior,
sedangkan anak yang memiliki IQ 140-200 adalah anak genius.
Kecerdasan berbeda-beda, menurut
psikologi terdapat kecerdasan Multiple Intelligence (MI), Intelligence Quotient
(IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ). Sedangkan menurut agama
Buddha kecerdasan ada 3 (Kaharuddin, 2004: 85),
1.
Pariyatti
patibhāna
merupakan kecerdasan dalam belajar, mengerti baik Dhamma dan Vinaya (Tipitaka).
Berkaitan dengan kecerdasan anak, mengerti baik Dhamma dan Vinaya berhubungan
dengan pemahaman anak terhadap tingkah laku. Anak mampu memahami Vinaya umat
awam yang berhubungan dengan pelaksanaan pancasila
Buddhis dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Paripucha
Patibhana
adalah kecerdasan menjawab pertanyaan dengan benar. Berkaitan dengan menjawab
pertanyaan dengan benar adalah anak menjawab pertanyaan sesuai dengan apa yang
telah diketahuinya dan ada usaha dalam mencari tahu jawaban yang tepat sesuai
dengan pertanyaan.
3.
Adhigamma
Patibhana
ialah kecerdasan dalam menempuh jalan suci, yaitu membasmi kekotoran batin
sampai keakar-akarnya. Kecerdasan jenis ini dimiliki oleh orang suci (arya), karena orang suci mengetahui
kebahagiaan tertinggi dan berusaha mencari jalan untuk mencapai kebahagiaan itu
dengan menempuh jalan suci hingga mampu membasmi kekotoran batin sampai
keakar-akarnya, sehingga terbebas dari kebodohan batin dan mencapai kebahagiaan
tertinggi karena pengetahuannya.
Menurut Davids (1992: 685),
meditasi dalam bahasa Pāli disebut sebagai samādhi
(saŋ+ā+dhā) atau concentration
yang diartikan sebagai pemusatan atau konsentrasi. Berdasarkan pengertian
tersebut, pemusatan yang dimaksud adalah pemusatan pikiran terhadap obyek yang
sedang diamati. Pembahasan meditasi yang digunakan untuk meningkatkan
kecerdasan anak adalah samatha bhāvanā.
A. Pentingnya Ànāpānasati untuk Kecerdasan Anak
Setiap orang yang mempraktikkan meditasi
memilih objek yang sesuai dengan karakter masing-masing. Ànāpānasati atau meditasi
dengan objek pernapasan adalah salah satu dari empat puluh obyek meditasi dan
tergolong relatif lebih mudah untuk dipelajari dan dilatih dibandingkan
objek-objek yang lainnya, karena napas selalu beserta setiap makhluk hidup dan
mudah dirasakan (Tek Jong, 2004: 7). Dari kutipan di atas nampak bahwa anāpānasati merupakan objek meditasi
yang dapat dipraktikkan oleh siapa saja, karena setiap orang bernapas dan mampu
merasakan napas, sehingga anak dapat
mempraktikkan meditasi dengan objek anāpānasati.
Objek anāpānasati dapat mudah
dipraktikkan oleh anak karena anāpānasati
berhubungan langsung dengan badan jasmani yang dapat dipahami oleh anak.
Praktik anāpānasati membutuhkan
bantuan dari anggota tubuh yaitu hidung dan tidak membutuhkan benda lain dalam
penerapannya. Sedangkan meditasi dengan objek lain menggunakan benda sebagai
penunjang. Misalnya meditasi dengan menggunakan objek kasina. Objek kasina
menggunakan perwujudan dari bentuk atau warna sebuah benda. Apabila anak
menggunakan objek kasina, maka anak
sibuk pada pencarian benda yang akan digunakan dalam bermeditasi. Kesibukan
anak pada pencarian benda akan mengganggu praktik meditasi.
Ànāpānasati
dapat
dipraktikkan oleh anak karena anak dapat dilatih untuk merasakan napas. Anak
dapat diarahkan untuk merasakan napas yang masuk dan keluar. Pengamatan yang
dilakukan oleh anak perlu mendapatkan arahan dari orang tua atau guru.
Penjelasan mengenai meditasi pernapasan yang diberikan oleh orang tua dan guru
hendaknya mampu dipahami oleh anak. Dalam praktik anāpānasati seharusnya napas tidak dipaksakan dihirup atau
dikeluarkan, anak hanya perlu meperhatikan napas serta perubahan-perubahannya
dan mencatat dalam pikiran mengenai sesuatu yang sedang terjadi. Pencatatan
terhadap segala sesuatu yang terjadi akan mampu meningkatkan pikiran yang
terpusat atau konsentrasi pada anak.
Anak yang mempraktikkan anāpānasati dengan baik merupakan anak
yang berlatih untuk menenangkan dirinya, karena dengan anāpānasati dapat diperoleh ketenangan. Ketenangan yang diperoleh
anak dapat membantu anak dalam berkonsentrasi pada materi pelajaran atau
kegiatan yang sedang dilakukan. Kemampuan anak dalam berkonsentrasi akan
membantu anak memahamai dan mengingat
materi pelajaran. Ànāpānasati juga
dapat membantu anak dalam mengontrol emosi, karena dengan memperhatikan napas
akan meningkatkan ketenangan. Ketenangan anak akan membantu anak dalam mengolah
dan memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Adanya penjelasan di atas yang
menjadikan anāpānasati penting
dipraktikkan oleh anak.
B. Upaya Meningkatkan Kecerdasan Anak
1. Pengaruh Carita dalam Praktik Ànāpānasati
Setiap anak mempunyai watak yang
berbeda sehingga dalam mempraktikkan meditasi perlu memperhatikan watak. Anāpānasati merupakan salah satu objek
meditasi samatha bhāvanā, sehingga
anak yang mempraktikkan anāpānasati perlu
mengetahui watak masing-masing. Anāpānasati
dipraktikkan anak sebagai pemusatan pikiran terhadap objek napas. Setiap
anak mempunyai banyak watak dan dalam pengambilan objek meditasi sesuai dengan
watak dominan anak. Watak dominan anak mempengaruhi konsentrasi anak terhadap
objek meditasi, karena anak cenderung melakukan segala sesuatu berdasarkan
wataknya. Carita yang paling cocok
dalam praktik anāpānasati adalah moha carita (karakter bodoh) dan vitakka carita (karakter tidak tenang)
(Tek Jong, 2004: 21). Adanya kutipan di atas dapat diketahui bahwa objek
meditasi digunakan berlawanan dengan karakter anak. Anak yang mempunyai watak
bodoh menandakan kurangnya konsentrasi, sehingga anāpānasati digunakan untuk melatih konsentrasi anak.
Anak yang terbiasa melatih
konsentrasi dengan mempraktikkan anāpānasati
akan terbiasa konsentrasi pada setiap kegiatan yang dilakukan. Munculnya
konsentrasi terhadap segala sesuatu yang diamati secara terus-menerus
mengkondisikan pikiran anak terpusat dengan baik, sehingga ingatan anak semakin
kuat. Sedangkan anāpānasati yang
dipraktikkan oleh anak dengan watak tidak tenang bertujuan untuk memberikan
ketenangan pada pikiran anak. Anak yang mempunyai pikiran tidak tenang akan
sulit berkonsentrasi, karena untuk memunculkan konsentrasi membutuhkan
ketenangan. Dalam hal ini, konsentrasi dan ketenangan saling berkaitan dan
saling mempengaruhi.
Pada dasarnya praktik meditasi
harus sesuai dengan watak dominan seseorang, akan tetapi dalam praktik anāpānasati pengaruh watak yang dominan
tidak terlalu diperhatikan karena setiap orang bernapas. Setiap orang mempunyai
watak bodoh dan watak tidak tenang, akan tetapi kedua watak ini mempunyai kadar
yang berberda pada setiap orang (dominan atau tidak dominan). Anak yang memiliki
watak ini dapat mempraktikkan
anāpānasati, tetapi tidak menutup kemungkinan anak yang memiliki watak lain
mempraktikkan anāpānasati. Anak yang
memiliki watak moha carita dan vitakka carita akan dapat meningkatkan kecerdasan emosi,
spiritual, dan inteligensi. Hal ini disebabkan adanya pertentangan yang
mencolok antara anāpānasati dengan
kedua carita tersebut.
Pada anak yang memiliki watak moha carita, yang lebih kuat adalah
kebodohan. Watak yang bodoh menandakan kurangnya konsentrasi pada seagala sesuatu
yang dipelajari. Hal ini menyebabkan ingatan yang tidak kuat. Ingatan yang
tidak kuat memutuhkan ketenangan untuk konsentrasi, sehingga akan mampu
menjadikan ingatan lebih kuat. Ingatan yang kuat menjadikan anak mampu
memahamai materi-materi yang telah disampaikan. Sedangkan pada anak yang
mempunyai watak vitakka carita lebih
mengarah pada ketidaktenangan pikiran. Anak yang mempunyai watak tidak tenang
akan kesulitan mengingat pelajaran yabg diberikan, karena pikiran selalu
mengarah pada hal lain selain pelajaran. Hal ini menjadikan anak kesulitan
dalam menerima materi yang disampaikan. Watak banyak pikiran memerlukan
ketenangan untuk mengontrol pikiran yang selalu tidak terfokus pada sesuatu
yang sedang dihadapi. Hal ini yang menjadikan anāpānasati sesuai jika diterapkan pada watak banyak pikiran,
karena anāpānasati bertujuan untuk
melatih pikiran agar tenang dan terkonsentrasi.
2. Penerapan Ànāpānasati untuk
Meningkatkan Kecerdasan Anak
Praktik meditasi membutuhkan
kewaspadaan melalui pikiran (sati), sehingga anak yang akan mempraktikkan meditasi
perlu mendapatkan arahan yang tepat. Praktik meditasi yang diterapkan setiap
orang menggunakan metode yang berbeda. Praktik yang digunakan oleh satu orang
dengan orang yang lain tidaklah sama. Demikian juga praktik meditasi yang
diterapkan pada anak menggunakan objek yang berbeda. Praktik meditasi pada anak
dalam hal ini adalah samatha bhāvanā dengan
menggunakan objek anāpānasati.
Praktik meditasi menggunakan objek anāpānasati
dapat diberikan oleh guru kepada anak didik. Misalnya 5 menit sebelum
pelajaran dimulai anak didik mempraktikkan anāpānasati
yang dimbimbing oleh guru. Mempraktikkan anāpānasati sebelum pelajaran dimulai memberikan efek tenang pada
anak, karena anak yang tenang akan lebih mudah dalam berkonsentrasi dan mampu menerima pelajaran yang disampaikan
oleh guru.
Praktik anāpānasati dengan memperhatikan cepat atau perlahan, panjang atau
pendeknya napas. Pelaksanaan meditasi perlu adanya objek pendahuluan (parikamma nimitta), dalam praktik anāpānasati yang menjadi objek
pendahuluan adalah pintu hidung, yaitu diantara ujung hidung dan bibir atas.
Pada pintu hidung dapat dirasakan adanya napas masuk dan napas keluar. Anak
harus mendapatkan pemahaman mengenai napas yang dapat dirasakan melalui pintu
hidung. Pemahaman mengenai masuknya napas dalam hidung mengarah pada praktik
yang dilakukan oleh anak yang telah mencoba dan berlatih anāpānasati. Sedangkan untuk anak yang masih dalam tahap permulaan
perlu menggunakan metode yang menyenangkan dalam bentuk bernyanyi atau
menggunakan alat yang menarik.
Ànāpānasati dapat dipraktikkan oleh anak
dengan menggunakan metode bernyanyi sebagai objek pendahuluan dalam memusatkan
perhatian. Kegiatan bernyanyi dapat memberikan rangsangan rasa senang pada
anak, sehingga anak yang merasa senang akan mudah memusatkan perhatian pada hal
yang sedang dikerjakan. Bernyanyi dapat dibimbing oleh orang tua atau guru.
Bernyanyi dapat dilakukan sendiri atau bersama-sama dengan anak lain. Misalnya
dalam mempraktikkan anāpānasati menggunakan
metode menghitung.
Metode permulaan yang digunakan
untuk melatih konsentrasi pada anak dapat membantu konsentrasi anak dengan
baik. Ketika anak mampu berkonsentrasi dalam bernyanyi dan berhitung, maka anak
akan siap menerima materi pelajaran berikutnya. Dalam hal ini bernyanyi
digunakan sebagai awal sebelum melaksanakan meditasi. Bernyanyi digunakan agar
anak senang, sehingga anak mampu menerima materi yang diberikan. Materi yang disampaikan berupa
teori meditasi, setelah anak merasa senang, maka anak akan lebih mudah
mempraktikkan teori meditasi yang telah didapat.
Penerapan anāpānasati
pada anak harus menggunakan metode yang mudah bagi anak, karena gangguan
dalam meditasi sering muncul. Anak dapat mengatasi segala gangguan meditasi
dengan cara melakukan penghitungan angka dalam hati. Ketika anak menyadari
napas masuk, anak dapat mencatat dalam hati menggunakan angka 1, waktu napas
keluar dapat dicatat menggunakan angka 2 dan seterusnya. Hitungan angka yang
diterapkan anak digunakan sebagai patokan benar atau tidak dalam konsentrasi
(Tek Jong, 2004: 10). Hitungan yang diterapkan pada anak hendaknya tidak kurang
dari 5 hitungan atau 10 hitungan (Kassapa, tanpa tahun: 25). Penerapan hitungan
yang dipraktikkan oleh anak tidak boleh kurang dari 5 dan lebih dari 10 karena
bila anak menerapkan hitungan kurang dari 5 akan mengganggu konsentrasi anak
karena dalam jarak yang pendek. Sedangkan tidak boleh lebih dari 10 karena akan
mengalihkan perhatian anak dari napas kepada hitungan itu sendiri.
Mempraktikkan meditasi dengan menggunakan metode hitungan bertujuan untuk
menjaga perhatian anak agar tetap terfokus pada keluar masuknya napas.
Anak yang menjaga perhatian
dengan mengingat napas masuk pada hitungan pertama dan napas keluar pada
hitungan kedua, sehingga akan memunculkan persepsi anak bahwa setiap napas
masuk adalah urutan ganjil dan napas keluar adalah urutan genap. Hal ini akan
memberikan gambaran pada anak, bahwa dengan mampraktikkan meditasi dengan baik
dan benar akan mewujudkan ingatan yang kuat. Metode lain yang dapat digunakan
dalam praktik anāpānasati pada anak
adalah dengan mengulang kata Bud-dho.
Anak mengingat kata Bud-dho pada saat
mempraktikkan anāpānasati dengan cara
anak memperhatikan masuk dan keluarnya napas. Ketika napas masuk anak merasakan
dan diingat dalam pikiran dengan kata Bud,
kemudian napas keluar diingat dengan kata dho.
Hal ini bertujuan untuk menjaga ingatan anak terhadap objek yang diamati.
Anak yang mempraktikkan anāpānasati dengan baik dan benar
tentunya akan berpengaruh pada pola pikir anak. Anak yang sering mempraktikkan anāpānasati merupakan anak yang giat
dalam mengembangkan ketenangan batin dan akan meningkatkan konsentrasi,
sehingga akan memperoleh ingatan yang kuat. Hal ini sesuai dengan paṭiccasamupāda (hukum
sebab-akibat), yaitu adanya saling keterkaitan bahwa anak yang berusaha dengan
sungguh-sungguh akan mendapatkan hasil dari usahanya.
Praktik anāpānasati dapat menggunakan metode-metode yang dipakai dalam
penyampaian materi pelajaran. Pemahaman anak terhadap anāpānasati tidak hanya melalui materi, tetapi juga anak harus
mencoba dan berlatih sendiri. Anak yang mencoba dan berlatih sendiri sesuai
dengan metode eksperimen dan metode latihan. Dalam metode eksperimen, anak
mencoba, kemudian berlatih dan
merasakan sendiri praktik anāpānasati. Sedangkan
Pada metode latihan, anak berlatih untuk mempraktikkan anāpānasati dengan baik. Latihan-latihan yang diterapkan anak
berfungsi untuk mengembangkan konsentrasi. Melatih pikiran untuk konsentrasi
merupakan cara yang baik untuk menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan yang baik pada
anak. Anak yang berusaha untuk melatih pikiran merupakan anak yang mempunyai
usaha untuk meningkatkan kecerdasan dengan melaksanakan anāpānasati.
C. Analisis Ànāpānasati untuk Kecerdasan
Anak
Praktik meditasi digunakan untuk
mendapat ketenangan pikiran. Anāpānasati merupakan
objek meditasi yang mengamati napas dan merasakan keluar masuknya napas. Keluar
masuknya napas dapat dicatat dalam pikiran yang akan diingat, pencatatan
dilakukan untuk mempertahankan konsentrasi. Anak mempraktikkan anāpānasati merupakan anak yang berlatih
untuk berkonsentrasi menggunakan media pernapasan. Anak berlatih untuk
mengamati masuk dan keluarnya napas.
Praktik
pernapasan yang dilakukan oleh anak dapat menumbuhkan konsentrasi, karena anak
menjadi fokus pada satu objek yang diamati. Konsentrasi anak pada satu objek
merupakan bentuk latihan kesederhanaan dalam berpikir anak, sehingga akan
menciptakan ingatan pada satu objek. Kesederhanaan yang dimaksud adalah
konsentrasi yang hanya mengamati satu objek saja. Hal ini dicontohkan oleh Steve
Jobs yang mempunyai pola pikir tentang konsep kesederhanaan yang mempengaruhi
cita rasa desain perangkat-perangkat Apple
ciptaannya mengacu pada konsep kesederhanaan dari ajaran Buddhisme Zen
(Lumbini, 2012: 35). Adanya pemikiran Steve Jobs menunjukkan bahwa mempunyai
kesederhanaan dan melatih ketenangan pikiran dapat mempengaruhi kehidupan
sehari-hari. Kehidupan sehari-hari bagi anak adalah belajar dari lingkungan
keluarga dan lingkungan sekitar.
Ketenangan anak akan memperkuat
daya ingat anak, karena anak yang tenang hanya berkonsentrasi pada hal yang
sedang dikerjakan. Kesederhanan dalam berpikir mengacu pada objek meditasi yang
diamati oleh anak, sehingga anak hanya memperhatikan satu objek saja yang
sederhana dan tidak berkonsentrasi dengan beberapa objek. Konsentrasi anak pada
satu objek akan memunculkan ingatan yang baik pada anak. Selain untuk
meningkatkan ingatan, anāpānasati juga
digunakan untuk melatih emosi anak. Emosi anak berkaitan dengan pikiran anak
yang tenang. Pikiran yang tenang akan memunculkan emosi yang baik, sehingga
anak akan mampu mengontrol emosi. Anak yang mampu mengontrol emosi merupakan
anak yang cerdas secara emosi, sehingga anāpānasati
mempunyai pengaruh dalam pembentukan emosi pada anak.
Anak yang mempunyai pengendalian
diri dengan baik merupakan anak yang mempunyai ketenangan dalam berpikir, sehingga
mampu menempatkan emosi sesuai situasi yang dialaminya. Pengendalian diri pada
anak mencerminkan adanya kecerdasan emosional anak. Kecerdasan emosional muncul
karena adanya ketenangan pada anak. Anak yang mempunyai kecerdasan emosional
akan mampu bertanggungjawab dengan kewajibannya sebagai seorang pelajar. Karena
anak mempunyai rasa percaya diri dengan kemampuannya. Adanya rasa tanggung
jawab pada anak mencerminkan kecerdasan spiritual anak.
Anāpānasati
dapat
memuculkan ketenangan anak, sehingga ketenangan yang diperoleh anak dapat
menjadikan anak mempunyai rasa percaya diri. Rasa percaya diri anak menjadikan
anak mempunyai rasa tanggung jawab dengan tugasnya. Rasa tanggung jawab
merupakan bentuk dari kecerdasan spiritual anak. Penjelasan di atas berkaitan
dengan melatih konsentrasi anak dengan cara merenungkan tubuh (kaya), perasaan (vedana), pikiran (citta),
dan mengenai Dhamma. Menurut
Buddhadasa (2005: 111) mempraktikkan anāpānasati
merupakan mempelajari hukum alam yang terdiri dari empat aspek yaitu kaya untuk menenangkan emosi, vedana untuk menenangkan pikiran, citta untuk kerja yang benar, dan Dhamma untuk menunjukkan dua fakta yang
besar. Dua fakta besar Dhamma (kebenaran) adalah paṭiccasamupāda (hukum
sebab-akibat) dan anicca (perubahan
aau segala sesuatu tidak kekal). Keempat hal tersebut dapat memberi manfaat
dalam meningkatkan kecerdasan anak.
Pemahaman mengenai kaya dapat menenangkan emosi karena emosi muncul dari tubuh. Emosi
dapat berupa emosi positif dan emosi negatif, sehingga dengan memahami tubuh
sebagaimana adanya dapat mengontrol emosi yang muncul. Mempelajari perasaan
untuk menenangkan pikiran merupakan pengontrolan pada perasaan. Pada dasarnya
perasaan dan pikiran saling mempengaruhi dan berkaitan. Adanya pikiran yang
baik akan memunculkan perasaan yang baik, perasaan yang baik mengkondisikan
emosi positif. Emosi positif akan mempengaruhi pikiran dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga perbuatan yang dilakukan tidak menyimpang dari norma yang
berlaku di masyarakat.
Pada aspek pertama yaitu
berkaitan dengan tubuh (kaya), anak
dituntut untuk memahamai tubuh dan cara mengendalikan tubuh dengan pernapasan.
Mengendalikan tubuh dengan mempraktikkan pernapasan dapat mengontrol emosi.
Misalnya anak sedang marah, kemudian orang tua atau guru memberikan petunjuk
untuk mengambil napas yang panjang, sehingga tubuh akan terkontrol dan anak
mampu memahami kemarahannya. Hal ini akan memberikan efek pada pengendalian
emosi atau menenangkan emosi anak. Ketika anak sedang merasakan emosi negatif,
anak dapat menarik napas panjang dan mengarahkan pikiran pada emosi yang
positif.
Menenangkan emosi tidak terlepas
dengan menenangkan pikiran (citta).
Emosi anak yang terkontrol dengan baik merupakan pengembangan kecerdasan
emosional anak. Kecerdasan emosi atau Emotional
Quotient (EQ) dapat terlihat dari perilaku anak. Perilaku anak yang baik
dan mampu memberi contoh merupakan ranah afektif. Ranah afektif berkaitan
dengan sikap anak dalam merespon segala sesuatu yang diberikan kepada anak.
Pada ranah afektif, sīla berperan
penting dalam perilaku anak. Ranah afektif didukung oleh ranah kognitif dan
ranah psikomotorik. Ranah kognitif berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman
siswa dalam menerima materi yang diberikan, dan ranah psikomotik berhubungan
dengan tindakan anak setelah memahami dan mengetahui materi yang disampaikan.
Ranah kognitif mendukung karena pemahaman terhadap hal yang baik dan benar
menentukan sikap anak dalam berperilaku, sedangkan ranah psikomotorik dalam hal
ini adalah melaksanakan meditasi yang mampu mempengaruhi ranah kognitif dan
ranah afektif.
Menenangkan pikiran dengan cara mengamati dan memahami
perasaan (vedana). Adanya perasaan
memunculkan keinginan yang direalisasikan dengan perbuatan atau perilaku. Anak
perlu memahami perasaan yang muncul agar dapat diketahui jenis perasaan yang
muncul tersebut. Jika perasaan mengarah pada hal yang tidak benar merupakan
perasaan bodoh yang dikondisikan oleh kebodohan (avijja). Perasaan bodoh
memunculkan adanya kemelekatan (tanha) pada
hal yang membawa kerugian. Sedangkan perasaan yang mengarah pada hal yang benar
merupakan perasaan bijak. Perasaan bijak dikondisikan oleh pengetahuan yang
benar (vijja). Perasaan bijak
mengarah pada keinginan yang benar yaitu keinginan yang sesuai dengan cara yang
benar. Keinginan yang benar berarti menginginkan sesuatu yang tidak membawa
kerugian untuk diri sendiri dan makhluk lain. Anak yang mampu mengendalikan dan
mengkondisikan perasaan dengan baik akan menjadikan anak mengetahui keinginan
yang benar.
Pengetahuan anak tentang
keinginan yang bajik dan keinginan yang benar menandakan anak mempunyai
pengetahuan kognitif yang baik. Anak yang mempunyai keinginan benar menjadikan
anak bijaksana. Kebijaksanaan yang terdapat dalam diri anak merupakan
pengetahuan kognitif yang muncul karena penerapan sīla dalam kehidupan sehari-hari. Anak yang bijaksana dan mempunyai
niat benar akan mampu membedakan perasaan bodoh yang merugikan dengan perasaan
bajik yang tidak merugikan, karena menggunakan cara benar. Pemahaman anak
mengenai tindakan benar dan tindakan tidak benar merupakan kecerdasan
inteligensi (IQ), dalam hal ini anak telah mampu mengingat dan memahami hal
yang benar dan hal tidak benar.
Cara benar diterapkan dari
pemahaman tentang hal yang bajik dan hal yang tidak benar. Pemahaman diperoleh
melalui pikiran, dalam hal ini pemahaman didapat dengan cara yang sesuai dan
tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Pemikiran muncul karena adanya
perasaan dan tubuh, ketiga hal ini saling berhubungan dan mempengaruhi. Pikiran
perlu mendapatkan pengawasan dengan baik, yaitu dengan mewaspadai semua yang
muncul pada pikiran dan menimbulkan perasaan yang kemudian akan direalisasikan
melalui perilaku. Cara benar merupakan ranah psikomotorik, yaitu cenderung pada
praktik meditasi dalam hal ini adalah anāpānasati.
Dalam anāpānasati mengamati keluar
masuknya napas, panjang pendek dalam pengambilan napas, sehingga diperoleh
pemahaman bahwa napas selalu berubah. Ranah psikomotorik mencakup kecerdasan
Spiritual (SQ), karena SQ cenderung mengacu pada sikap anak dalam mengatasi
permasalahan yang ada. Sedangkan psikomotorik mengacu pada keterampilan, dalam
hal ini berarti keterampilan anak dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
Pada ranah psikomotorik, anak mempraktikkan anāpānasati
dengan mengamati perubahan pada napas.
Pemahaman mengenai perubahan
napas dalam pelaksanaan anāpānasati
merupakan fakta dalam Dhamma. Dua
fakta Dhamma (kebenaran) yang terdiri
dari paṭiccasamupāda
(hukum
sebab-akibat) dan anicca (perubahan
atau ketidak-kekalan). Pemahaman anak mengenai Dhamma adalah perubahan pada napas, yaitu napas yang selalu
berubah. Anak menyadari kadang napas masuk kemudian keluar. Napas yang masuk
kemudian keluar, napas masuk menjadikan dada atau perut mengembang. Kemudian
napas keluar menyebabkan dada atau perut mengempis. Pemahaman anak mengenai
keterkaitan antara napas masuk dan napas keluar dengan perubahan anggota tubuh
merupakan hal yang mengarah pada pemahaman Dhamma.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang “Kontribusi
Meditasi Buddhis untuk Meningkatkan Kecerdasan Anak”, maka dapat disimpulkan
bahwa Buddhisme memandang kecerdasan sebagai bentuk kemampuan pola pikir
manusia. Pola pikir yang baik terbentuk karena adanya pengetahuan yang telah
diperoleh. Pengetahuan yang dimiliki diimbangi dengan kebijaksanaan. Orang yang
mempunyai pengetahuan dengan diimbangi kebijaksanaan menjadikan pengetahuan
yang telah didapat mampu diterapkan dalam kehidupan masyarakat dengan baik dan
benar. Penerapan dengan baik dan benar tidak akan membawa kerugian terhadap
dirinya sendiri dan orang lain. Orang yang mempunyai kecerdasan tinggi
mengetahui apa yang harus dikembangkan
dan dipraktikkan, sehingga mampu membawa kebahagiaan untuk dirinya sendiri
dan orang lain. Sedangkan orang yang mempunyai kecerdasan rendah tidak
mengetahui apa yang harus dikembangkan dan tidak harus dikembangkan, sehingga
sulit untuk mewujudkan hal yang membawa kebahagiaan.
Meditasi dalam Buddhisme terdapat dua
macam, yaitu samatha bhāvanā dan vipassana bhāvanā. samatha bhāvanā bertujuan untuk mendapatkan ketenangan batin dengan
40 objek meditasi. Sedangkan vipassana
bhāvanā bertujuan untuk pandangan terang dengan objek batin (nama) dan jasmani (rupa). Dalam hal ini pengembangan kecerdasan menggunakan meditasi samatha bhāvanā dengan objek anāpānasati, yaitu pengamatan terhadap
napas. Perhatian terhadap napas harus dengan usaha benar, yaitu usaha untuk
mengingat dengan baik objek yang digunakan dan mengamati sebagaimana adanya.
Mempraktikkan meditasi juga harus memperhatikan carita anak, akan tetapi
anāpānasati merupakan objek yang paling mudah untuk dipraktikkan oleh
setiap orang. Mudahnya praktik anāpānasati
karena berkonsentrasi pada napas dan setiap makhluk mempunyai napas. Napas
juga menyertai anak, sehingga anak mampu mempraktikkan anāpānasati.
Meditasi samatha bhāvanā dengan obyek anāpānasati
dapat berperan meningkatkan kecerdasan anak.
Anāpānasati yang dipraktikkan
oleh anak dapat memberikan ketenangan dalam berpikir. Ketenangan dapat
menjadikan anak mampu mengendalikan emosinya. Pengendalian emosi yang baik
menjadikan anak mempunyai kecerdasan emosi dan mampu bertanggungjawab dengan
tugasnya. Kecerdasan emosi (EQ) anak berkaitan dengan sikap anak mampu
mengendalikan diri yang merupakan ranah afektif. Kecerdasan emosi anak
berkaitan dengan kecerdasan spiritual, yaitu anak yang mampu mengendalikan
diri akan bertanggungjawab dengan
tugasnya. Kemampuan bertanggungjawab merupakan kecerdasan spiritual (SQ)
termasuk ranah psikomotorik, yaitu anak mempunyai kempampuan yang baik dalam
menyelesaikan masalah. Penyelesaian masalah oleh anak tidak terlepas dari
ingatan anak tentang cara dalam menyelesaikan masalah. Ingatan anak merupakan
kecerdasan inteligen (IQ) yang termasuk dalam ranah kognitif. Kecerdasan pada
anak dapat ditingkatkan dengan mempraktikkan anāpānasati. Anak menyadari adanya napas masuk dan napas keluar
dengan menggunakan metode menghitung pada setiap napas masuk maupun napas
keluar. Metode menghitung dapat dipraktikkan oleh anak dengan menghitung jagung
sambil bernyanyi, menghitung daun yang dikumpulkan sebelum praktik. Metode
menghitung dapat membantu anak meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, karena
metode tersebut dilakukan berkali-kali. Selain menggunakan metode berhitung,
anak juga dapat mempraktikkan anāpānasati
dengan menggunakan metode menyebutkan nama Buddha. Ketika anak menarik
napas masuk menyebutkan nama Bud, dan
mengeluarkan napas dengan menyebutkan kata dho.
Pengulangan kata yang dilakukan oleh anak dapat membantu meningkatkan
konsentrasi dan daya ingat anak. Metode berhitung dapat diterapkan oleh anak
ketika mempraktikkan anāpānasati dengan
menggunakan metode eksperimen dan metode latihan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar,
Saifuddin. 2000. Penyusunan Skala
Psikologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest.
Buddhadasa
(translated by Djauhery). 2005. Mindfulness
With Breathing (Meditasi Pernapasan).
Palembang: Yayasan Svarnadipa Sriwijaya.
Davids,
Rhys. 1992. The Pali Texts Society’s Pāli-English Dictionary. Oxford: The Pāli Text
Society.
Indriasari,
Lusiana. 2012. Anak Balita Pun Kecanduan Merokok (Kompas). Selasa, 20 Maret 2012.
Kaelan.
2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang
Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.
Kaharuddin,
J. Pandit. 2005. Abhidhammatthasangaha.
Jakarta: Yanwreko Wahana Karya.
Kompas.
2012. Tak Mencontek, Jujur dari Diri
Sendiri. Senin, 9 Januari 2012.
Lumbini.
2012. Lumbini. Medan: Media Cetak Lumbini.
Moleong,
Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Kaharudin.
2004. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre.
Tek
Jong, Goey. 2002. Praktik Meditasi Sesuai
yang Diajarkan Sang Buddha Gotama: Samadhi. Jakarta Barat: Metta Youth.
http://politik.kompasiana.com/2010/02/01/kasus-sengatan-lebah-menjadi-kriminal,
diakses
tanggal 17 Februari 2012.
[1] Mahasiswa Prodi Dharma Acarya Sekolah Tinggi Agama
Buddha (STAB) Syailendra
[2] Pembimbing I, 2Pembimbing
II
Share this on your favourite network
0 comments:
Post a Comment