SOLUSI BUDDHISME MENGENAI KONDISI MENTAL ANAK KORBAN
PERCERAIAN
ABSTRACT
This research aims to explain to the
general society and Buddhist society about understanding the Buddhism solution, the Condition of Children’s Mental Impact, and how divorce happens.
This research uses qualitative
research method with library research technique. The formal object of this research is Understanding
the Divorce whereas the material object of this
research is the condition of
Children’s Mental Impact. This research is oriented towards
understanding divorce and its Impact. This research
uses qualitative data that is relevant with the research
object.
Based on the results of
the study, it is understood that divorce or separation is
one final decision if the family cannot be maintained. Divorce can give
positive and also negative impacts that are not just felt by older people but
also by children. The negative impact on children can happen especially when
children cannot accept the divorce, and as a result, children do negative
things and they will look for outdoor attention such as using
narcotics and drugs, or having free sex. They do
this as an expression of their emotional disturbance and to get attention from
people. Children
who experience the effect of divorce need a solution so that they can return to
have healthy and strong mentality. Buddhism has a
solution to help children so that they can perceive the reality in normal life. The teaching in Buddhism becomes
one of bases to change children’s way of thinking, beside supporting the
children to have better mental and spiritual attitude.
Keywords: Buddhism Solution, Condition of Children’s Mental Impact, Divorce.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang
selalu hidup berkelompok, bersama-sama, saling berhubungan,
dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kehidupan manusia selalu ada dalam
ruang sosial yang di dalamnya terdapat suatu hubungan antar individu. Salah satu bentuk hubungan sosial antar individu adalah
keluarga. Keluarga
merupakan komunitas sosial terkecil yang terdiri dari pribadi-pribadi dengan
kedekatan hubungan khas. Keluarga terbentuk oleh hubungan darah,
ikatan perkawinan, hubungan batin dan kehangatan hubungan sosial
yang mendalam. Membentuk keluarga yang bahagia merupakan
impian setiap orang maka hal yang harus
dilakukan setiap
anggota keluarga adalah memberikan yang terbaik untuk keluarga. Semua anggota
keluarga harus menanamkan dalam pikiran dan melaksanakan hal-hal yang menjadi
tanggung jawabnya, kewajiban dan tugasnya sebagai anggota keluarga agar tidak terjadi perpecahan yang berbuntut pada
perceraian. Pada
zaman modern sekarang ini banyak sekali terjadi kasus perceraian yang dialami
oleh masyarakat. Berbagai
faktor yang melatar belakangi kasus perceraian diantaranya adalah ketidakpuasan yang terjadi oleh pasangan
masing-masing, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan dan faktor agama.
Contoh perceraian oleh sebab pertama, seorang nenek
asal Jerman berusia 84 tahun
menceraikan suaminya (82) setelah
60 tahun kebersamaan
mereka karena sang suami berselingkuh dengan wanita
lain di tempat kerjanya. Kisah lain adalah
perceraian yang dialami oleh artis cantik Cici Paramida yang dinikahi
almarhum Suhaebi pada 12 Maret 2009. Setelah
mendapatkan kekerasan dari suaminya, kemudian Cici menggugat cerai dan resmi
menyandang status janda pada 17 Desember 2009. Kisah perceraian juga dialami Maria Eva, dia mengatakan ada perbedaan
keyakinan yang cukup prinsip dengan suaminya, Koh San, sehingga membuat dia mengajukan gugatan cerai ke
pengadilan agama
pada awal 2007. Salah
seorang yang pernah mengalami kasus perceraian karena faktor ekonomi adalah seorang wanita yang bernama Dewi.
Dewi bercerai
karena suaminya tidak
bekerja, sehingga mengakibatkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Malah saya melihat suami saya menjadi tidak
bertanggung jawab, dan saya juga perlu biaya hidup untuk masa depan anak. Kalau
terus lihat suami saya seperti itu, bagaimana kelangsungan keluarga saya,"
katanya. (http://palingseru.com/6066/7-artis-indonesia-dengan-pernikahan-paling-singkat).
Hal yang
perlu diperhatikan dalam perceraian adalah anak, pelampiasan anak dikarenakan
perceraian akan mengakibatkan anak terjerumus pada kenakalan remaja yang
cenderung pada hal-hal yang negatif seperti pegaulan bebas, minum-minuman keras
dan sex bebas. Wati (20) tahun asal
Blitar menjadi perempuan penjaja cinta karena ayah ibunya bercerai. Pada usia 15
tahun,
dia kerap melihat kedua orang tuanya bertengkar. Hal ini membuat Wati tidak betah tinggal di rumah. Sejak itu
Wati mulai akrab dengan narkoba, miras hingga akhirnya terjerumus dalam sex
bebas dan putus sekolah. Ia menganggap masa depannya sudah suram. Sebagai
akibatnya, dalam kehidupan sehari-hari ia menjadi minder dengan lingkungan sekitar karena sering menerima cemoohan
(Mantra, 13 Maret 2012: 29). Perceraian mempunyai dampak positif dan negatif,
meski dalam kenyataannya kita lebih menyoroti dampak negatifnya. Adapun dampak
negatif pada kondisi mental seorang anak adalah minder dan tidak jarang harus
menerima kata-kata yang kurang enak didengar dari masyarakat seperti yang
dialami oleh Wati.
Buddhisme
tidak mengajarkan umatnya untuk bercerai tetapi jika suami istri merasa tidak
dapat mempertahankan rumah tangga, mereka dapat bercerai dengan
mempertimbangkan dampak bagi anaknya. Penulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan dampak perceraian terhadap kondisi mental anak karena belum ada yang meneliti, dan banyak sekali kasus
perceraian yang terjadi di masyarakat. Kasus perceraian di masyarakat membutuhkan sebuah solusi.
Solusi yang penulis
khususkan yaitu ajaran dalam Buddhisme. Esensi-esensi ajaran Buddhisme yang direalisasikan dalam
kehidupan nyata diharapkan
menjadi langkah awal dalam memberikan solusi dalam permasalahan dampak perceraian terhadap kondisi mental anak. Buddhisme
harus bisa memberikan sumbangan untuk membantu menyelesaikan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat. Literatur agama Buddha sesungguhnya telah memiliki
metode tersendiri untuk menyelesaikan setiap masalah tetapi belum
banyak orang yang tahu seperti yang telah tertulis dalam beberapa sutta. Oleh
karena itu, penulis ingin mengkaji mengenai ajaran Buddhisme
yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah dampak perceraian
dengan kondisi mental anak yang dibahas dalam skripsi yang
berjudul “Solusi Buddhisme Mengenai Dampak Perceraian terhadap
Kondisi Mental Anak Korban Perceraian”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka
masalah yang akan dikaji adalah: Bagaimana pandangan Buddhisme terhadap
perceraian?, Bagaimana dampak perceraian terhadap kondisi
mental anak menurut Buddhisme?, Bagaimana solusi untuk
mengatasi dampak perceraian terhadap kondisi mental anak menurut Buddhisme?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut, maka dapat diketahui objek material penelitian ini
yaitu dampak kondisi mental anak, dan objek formalnya adalah perceraian.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Buddhisme terhadap perceraian, dampak
perceraian terhadap kondisi mental anak menurut Buddhisme, dan solusi
untuk mengatasi dampak perceraian terhadap kondisi mental anak menurut
Buddhisme.
Kegunaan Kajian
Penelitian
ini berguna untuk menjelaskan perceraian dalam
Buddhisme,
menjelaskan dampak kondisi mental anak, dan menjelaskan solusi Buddhisme untuk mengatasi dampak kondisi mental
anak korban perceraian.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian
ini menggunakan
metode deskriptif dan kajian pustaka. Metode deskriptif bertujuan memberikan
gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fenomena yang
diselidiki (Suprayogo, 2001: 137). Penelitian ini bertujuan mengungkap fakta
dan fenomena apa adanya. Dalam pendekatan ini penulis
membaca, menafsirkan dan menganalisa data yang berkaitan dengan obyek
penelitian dan berusaha memberikan solusi dalam penyelesaian masalah yang
dihadapi anak dikarenakan dampak perceraian. Penelitian ini adalah
penelitian kajian pustaka. Kajian
adalah hasil dari kata mengkaji. Mengkaji
adalah belajar, mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan
(mempertimbangkan), menguji, menelaah baik buruk suatu perkara (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 200: 491). Kata pustaka mempunyai arti kitab, buku (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2005: 912). Penulis melakukan kajian pustaka dari hasil mempelajari, memeriksa,
menyelidiki, memikirkan dan
menelaah kitab atau buku yang
berhubungan dengan dampak perceraian dan kondisi mental anak. Berkenaan dengan menganalisa data penulis menggunakan
kajian teori yang berkaitan dengan perceraian dan dampak kondisi mental anak. Kajian
teori ini didapat dari berbagai sumber yang berkaitan dengan pembahasan penulis
yaitu perceraian dan dampak kondisi mental anak.
HASIL PENELITIAN
Perceraian
berasal dari kata ‘cerai’ yang berarti pisah (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2008: 281). Menurut Undang-Undang perkawinan pasal 38 tahun 1975, perkawinan
dapat putus karena perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Menurut Erna (1999: 19)
perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari
kegagalan mereka menjalankan peran
masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu
ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah
dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Uraian di atas menyatakan
bahwa masing-masing pasangan tidak dapat menjalankan kewajiban dan tanggung
jawab yang seharusnya dilakukan sehingga memicu adanya perceraian. Faktor yang mendorong perceraian adalah pasangan suami
istri tidak mempunyai persamaan dalam keyakinan, kebajikan, kedermawanan, dan
kebijaksanaan dalam sebuah perkawinan. Berkaitan pernikahan dalam Buddhisme ada
kisah pasangan suami istri bernama Nakulapitā dan Nakulamātā. Dalam Aṅguttara Nikāya III (Hare, 2001: 211-214)
dikisahkan pada suatu ketika Sang Buddha berada di Taman
Rusa, di hutan Bhesakala di
mana pasangan suami istri Nakulapitā dan Nakulamātā datang
memberi hormat serta menceritakan peristiwa yang telah dialaminya. Nakulapitā
dan Nakulamātā mengatakan kepada Buddha bahwa, ketika Nakulapitā menderita
sakit keras, Nakulamātā menghiburnya dengan mengatakan bahwa mati dengan hati
gundah akan berakibat tidak baik. Selanjutnya, Nakulapitā berpesan bahwa
apabila ia meninggal, Nakulamātā
diharap
mampu mengurus anak-anaknya mereka dan meneruskan
kehidupan serta tidak akan menikah lagi. Pasangan Nakulapitā dan Nakulamātā
menyampaikan peristiwa tersebut pada Sang Buddha. Dalam Aṅguttara Nikāya III (Hare, 2001: 214)
menjelaskan bahwa Buddha menasehati pasangan
suami istri Nakulapitā dan Nakulamātā dengan kata-kata pujian, “It has been to your again, good man, you have
greatly gained, good man, in having had the goodwife, Nakulamātā, full of compassion, and desire for your weal, as a
counselor, as a teacher.’’ (Sungguh
beruntung engkau, orang baik; sungguh beruntung engkau mempunyai istri yang
begitu baik, yang telah menasehatimu dan menjadi gurumu, batinnya penuh kasih
sayang serta ketulusan untuk kesejahteraanmu). Kisah pasangan Nakulapitā dan Nakulamātā dapat menjadi pedoman bagi
pasangan suami istri dalam rumah tangga agar tercipta hubungan yang harmonis
dan bahagia. Nasehat-nasehat bagi para perumah tangga diuraikan Sang Buddha dalam
ajaran-ajarannya. Berkaitan
dengan berumah tangga Buddha di dalam
Aṅguttara Nikāya III (Woorward, 2001: 71),
Buddha menasehatkan pada umatnya dengan mengatakan:
If both wife and husband desire
to behold
each other both in this very life and in the life to come, and both are matched
in faith, matched in virtue, matched in generosity, matched in wisdom, then do
they behold each other in this very life and in the life to come.
(Bila istri dan suami menginginkan melihat satu sama lain dalam hidup ini dan kehidupan yang
akan datang, dan
keduanya sebanding dalam
keyakinan, sebanding dalam kebijaksanaan, sebanding dalam kedermawanan,
sebanding dalam kebajikan, kemudian mereka melihat satu sama lain dalam
kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang).
Sesuai dengan ajaran Buddha tersebut bahwa pasangan suami
istri hendaknya mempunyai keyakinan atau saddha, kebajikan atau sῑla, kedermawanan atau sāga , kebijaksaaan atau sañña yang
sebanding sehingga dapat bersama-sama dalam kehidupan sekarang dan kehidupan
yang akan datang.
1.
Keyakinan yang Seimbang
(Sammā Saddha)
Dalam kehidupan sehari-hari keyakinan bagi umat Buddha adalah keyakinan
terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha (Tisaraṇa). Panjika (2000: 13) menjelaskan Tisarana adalah ungkapan
keyakinan (saddha) bagi umat Buddha. Saddha atau keyakinan sangat penting
untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia. Keyakinan
yang berbeda sering menimbulkan masalah bagi pasangan, tentunya
akan menyebabkan keharmonisan hubungan terganggu. Berbagai masalah akibat perbedaan keyakinan
dapat terus muncul dalam ikatan perkawinan. Memiliki
kekuatan keyakinan membuat seseorang menjadi tidak terombang-ambing dalam menjalani
kehidupan. Menurut Mukti (2003:196) Keyakinan atau saddha mengandung tiga unsur yakni: (1)
keyakinan yang kuat terhadap sesuatu hal, (2) kegembiraan yang mendalam
terhadap sifat-sifat baik, (3) harapan untuk memperoleh sesuatu di kemudian
hari. Keyakinan merupakan pondasi yang mendasari pasangan suami
istri untuk tetap bersama. Keyakinan
antara pasangan suami istri yang sama akan berpengaruh pada tujuan.
Apabila mempunyai keyakinan yang sama mereka memiliki tujuan yang sama pula. Kondisi ini
akan mengkondisikan pasangan suami istri selalu bersama baik dalam kehidupan
sekarang maupun yang akan datang.
2.
Keseimbangan dalam kesusilaan (Sammā
Sīla)
Menurut
bahasa Pali, “sīla” dalam pengertian
luas adalah “etika”dan dalam
pengertian sempit padanannya adalah “moral”.
Sīla dalam pengertian luas termasuk
dalam perilaku melalui pikiran sesuai dengan norma baik atau kehendak (cetanā), sedangkan sīla dalam pengertian yang sempit adalah perbuatan lahiriyah berupa
ucapan perbuatan jasmani dan mata pencaharian (Rashid, 1997:7). Buddhaghosa dalam Kitab Visuddhimagga menafsirkan pengertian sīla dalam empat bagian: Pertama, sīla menunjukkan sikap batin atau
kehendak (cetanā), kedua, menunjukkan
penghindaran (virati) yang merupakan unsur batin (cetasika), ketiga, menunjukkan pengendalian diri (samvara) dan keempat menunjukkan tiada
pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan (avītikkama) (Buddhaghosa, 1975: 8). Sīla memiliki
ciri (lakkhana), fungsi (rasa), wujud (paccupatthana), dan faedah. Ciri dari sīla
adalah ketertiban dan ketenangan (Rashid, 1997: 12). Ketertiban dan ketenangan
dipertahankan dengan pengendalian diri melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan. Sīla dijalankan
dalam kehidupan sehari-hari karena sīla mempunyai
fungsi yang bermanfaat bagi mereka.
Rashid (1997: 12) mengatakan fungsi sīla adalah untuk
menghancurkan kelakuan yang salah dan menjaga seseorang agar tidak bersalah.
Seseorang yang melaksanakan sīla tidak akan
melakukan perbuatan-perbuatan salah karena pikiran, ucapan, dan perbuatannya
selalu terkendali. Sīla mengkondisikan
seseorang selalu berbuat baik sehingga dapat menuntun pada kesucian. Menurut
Rashid (1997: 12) wujud sīla adalah kesucian.
Kesucian dari sīla
dapat dilihat dari wujudnya yang suci dari perbuatan badan jasmani. Seseorang
yang melaksanakan peraturan moral, berarti telah membuat orang lain yang ada di
sekitar merasa aman. Sīla atau moral
yang sebanding antara suami istri merupakan salah satu pedoman untuk membentuk
keluarga bahagia. Pasangan suami istri hendaknya mempunyai keserasian dalam
tingkah laku, berusaha bersama-sama melaksanakan ajaran agama yang dianut.
Pelaksanaan sīla dalam kehidupan sehari-hari
akan memberikan manfaat bagi yang melaksanakan. Rashid (1997: 13) mengatakan
faedah sīla
di antaranya adalah tidak ada penyesalan (avippatisaro).
Batin yang terbebas dari rasa penyesalan akan membawa batin menjadi tenang
karena tidak ada perasaan bersalah dalam diri. Buddha juga bersabda kepada
perumah tangga tentang faedah dari sīla Davids (2002: 91), yaitu: 1) Sīla menyebabkan seseorang memiliki banyak harta kekayaan; 2)
Nama dan kemasyurannya akan tersebar luar; 3) Dia menghadiri setiap pertemauan
tanpa ketakutan atau keraguan, karena ia menyadari bahwa ia tidak akan dicela
atau didakwa orang banyak; 4) Sewaktu akan meninggal dunia hatinya tenang; 5) Akan
terlahir di alam
surga.
Manfaat dari pelaksanaan sīla bagi perumah tangga dasarnya untuk mencapai kebahagiaan
di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. Moral baik
yang dipraktikkan bersama oleh suami istri akan menghasilkan kebahagiaan dalam
kehidupan sekarang dan akan mendorong kebahagiaan dalam kehidupan yang akan
datang. Pasangan suami istri yang hidup dalam ikatan perkawinan
dapat melakukan perbuatan-perbuatan benar dengan selalu setia pada pasangannya
dalam arti tidak melakukan perbuatan asusila yang bukan suami atau istrinya,
dan tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
3.
Kedermawanan yang Seimbang (Sammā
Cāga)
Dalam Buddhist Dictionary (1988: 80), cāga diartikan sebagai liberality. Cāga adalah kemurahan hati. Kedermawanan yang
dimaksud adalah dalam mengembangkan cinta kasih demi kebahagiaan semua makhluk.
Dengan kedermawanan dan kasih sayang yang seseorang miliki, maka tidak lepas
dengan perbuatan memberi dengan ikhlas dan tanpa syarat. Suka memberi
kepada mereka yang membutuhkan merupakan suatu perbuatan terpuji karena telah
membantu meringankan kesulitan orang lain. Mereka yang berkecukupan dengan
materi seharusnya memikirkan orang lain dengan membantu atau memperluas
kemurahan hati bagi yang membutuhkan. Memiliki sifat suka memberi yang kemudian
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
mempunyai manfaat bagi mereka yang melakukannya. Buddha menjelaskan tentang
manfaat melakukan perbuatan memberi dalam
Aṅguttara
Nikāya (Hare,
2001: 42):
A
person who give another a gift of food there by gives the recipient long life,
complexion, happiness, strength, and promptitude and having given these life
things, the donor, too, become endowed with the same things in future lives.
(Seseorang
yang telah memberi kepada orang lain suatu dana makanan dengan cara demikian
telah memberi kehidupan, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan, dan kesiagaan
bertindak dan setelah memberi hal-hal itu kepada orang lain, pemberi juga
menjadi diberkahi dengan hal yang sama dalam kehidupan yang akan datang).
Perbuatan memberi akan memberikan manfaat kepada
pelakunya seperti umur panjang, kebahagiaan, kecantikan, kekuatan dan
kepandaian. Manfaat-manfaat dari perbuatan memberi juga dapat dimiliki oleh
suami istri apabila dalam kehidupan rumah tangganya diimbangi dengan perbuatan
memberi kepada orang lain, kehidupan rumah tangganya akan mendapatkan
kebahagiaan. Seseorang yang suka berdana dan suka menolong makhluk
lain berarti telah memupuk perbuatan baik dan mengurangi kemauan jahat, karena makhluk
yang mendapat pertolongan akan merasa bahagia. Jika seseorang melaksanakan
perbuatan baik, ia senantiasa menanamkan rasa bahagia dan
kegembiraan dalam pikiran. Selain perbuatan memberi,
kedermawanan dalam perkawinan
dapat diwujudkan dalam menjalankan tugas dan kewajiban
masing-masing dengan ikhlas sebagai suami istri.
Kedermawanan yang sama antara suami istri akan
mengkondisikan terlahir bersama di alam yang sama dalam kehidupan yang akan
datang.
4.
Kesamaan
Kebijaksanaan (Sammā Pañña)
Dalam Buddhist Dictionary (1988: 231)
dijelaskan bahwa
pañña adalah wisdom. Pañña adalah kebijaksanaan.
Hal serupa diungkapkan oleh Widya (2005: 84) bahwa pañña adalah
kebijaksanaan. Dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan pandangan benar dan pikiran
benar dimasukkan dalam kelompok Pañña. Kesamaan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan berkeluarga
sangat dibutuhkan oleh pasangan suami istri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Virya
(2007: 47) Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat dan memboroskan waktu.
Pasangan suami istri membutuhkan waktu lebih lama untuk adu argumentasi
menyamakan sikap dan pola pikir terlebih dahulu sebelum memikirkan jalan keluar
atas masalah yang dihadapi. Kebijaksanaan yang dimaksud tentu yang sesuai
dengan Buddha Dhamma yang telah mengajarkan tentang ketidakpuasan. Penyebab
ketidakpuasan karena adanya keinginan yang tidak terkendali.Oleh karena itu,
apabila seseorang dapat mengendalikan keinginan maka ketidakpuasan akan dapat diatasi.
Orang bijaksana akan memutuskan segala sesuatu masalah dengan bijak dan benar,
memikirkan jalan keluar suatu masalah dengan hati-hati agar permasalahan yang
dihadapi dapat terselesaikan dengan baik. Pasangan suami istri yang mempunyai
kebijaksanaan akan mengetahui mengenai masalah yang dihadapi rumah tangganya,
akar dari permasalahan dan mengetahui cara yang benar untuk menyelesaikan
berbagai masalah yang dihadapi. Usaha yang sungguh-sungguh akan sangat bermanfaat dalam
masa selanjutnya atau masa yang akan datang. Apabila pasangan suami istri
memiliki kebijaksanaan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah dalam
keluarga. Kesamaan dalam kebijaksanaan yang dimiliki akan menyebabkan keduanya
sama dalam memutuskan dan melakukan berbagai hal. Pasangan suami istri juga akan memiliki
tingkat pemikiran yang sama sehingga rumah tangganya harmonis dan
bahagia. Dengan demikian kebahagiaan dalam hidup berkeluarga
akan terwujud dan tidak menutup kemungkinan kebahagiaan di masa yang akan
datang akan tercapai.
Faktor lain
yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian salah satunya adalah tidak
kepuasan (santuṭṭhi). Rashid (1997: 85) menjelaskan santuṭṭhi berarti
kepuasan hati. Kepuasan dalam hal ini
adalah menerima dengan keseimbangan batin (upekkha)
dan tidak menggerutu. Buddha mengajarkan kepada perumah tangga, bahwa ada empat
hal yang dapat membuat hidup bahagia yang terdapat dalam Aṅguttara
Nikāya (Woorward, 2001: 77),
There are these four kinds of bliss to be won by the
householder who enjoys the pleasures of sense from time to time and when
occasion offers...the bliss of ownership, the bliss of wealth, the bliss of
debtlessness, the bliss of blamelessness.
(Ada
empat macam kebahagiaan yang dapat dicapai oleh perumah tangga yang menikmati
kesenangan indera bergantung waktu dan kesempatan...kebahagiaan dari memiliki,
kebahagiaan dari kekayaan, kebahagiaan tanpa hutang, kebahagiaan dari tanpa
salah.)
Kebahagiaan
dari tanpa salah merupakan salah satu kebahagiaan dari empat kebahagiaan yang
dapat dicapai oleh perumah tangga. Hidup tanpa salah dapat dicapai apabila
pasangan suami istri setia dengan pasangannya, ia tidak melakukan
perbuatan-perbuatan tercela dalam hal ini berkaitan dengan seks. Perbuatan
tercela yang berkenaan dengan seks yang dapat dilakukan oleh pasangan suami
istri adalah melakukan perselingkuhan dengan wanita atau laki-laki yang bukan
pasangannya. Perbuatan selingkuh merupakan perbuatan tercela karena melanggar sῑla ketiga dalam Pańcasῑla Buddhis. Kepuasan yang tercipta karena
memiliki satu pasangan merupakan kekayaan terbaik dalam rumah tangga. Hal ini
dapat berfungsi sebagai salah satu landasan dalam mempertahankan rumah tangga.
Dalam Karaṇῑyametta
Sutta, Khuddakkapatha (David, 2002: 277) Buddha menjelaskan bahwa “santussako ca subharo ca” (merasa puas
atas yang dimiliki, mudah dirawat). Merasa puas dengan apa yang dimiliki
berarti pasangan suami istri puas dengan satu pasangan. Merasa puas dengan satu
pasangan berarti menghindarkan pasangan suami istri dari pelanggaran sῑla ketiga dalam Pańcasῑla Buddhis. Sedangkan, mudah dirawat
mempunyai pengertian ia tidak menuntut berlebihan di luar batas kemampuan
pasangan. Misalnya istri puas dengan apa yang diberikan suami berupa pakaian,
makanan, dan hal lain yang diperoleh sesuai dengan penghasilannya.
Semakin banyak konflik yang terjadi antara orang
tua, semakin lama anak semakin kehilangan kesadaran diri. Sebagai akibatnya, ia
mencari perhatian di luar. Hal ini dilakukan semata-mata karena ia kehilangan
kasih sayang dari kedua orang tua sehingga hal-hal yang negatif dilakukan
sebagai pelampiasan emosi. Kenakalan remaja yang negatif akan berdampak pada
psikologi anak tersebut. Hariadi, (2003: 160) menyebutkan jenis-jenis kenakalan
remaja dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Pergaulan bebas atau seks bebas
Banyak
remaja yang terlibat dalam pornografi dan pornoaksi. Hal itu disebabkan
mudahnya untuk mengakses situs pornografi di internet, sehingga mengakibatkan
para remaja untuk terjerumus dan terdorong pada kehancuran moral dan spiritual.
Membaca pornografi dapat mengakibatkan kecanduan bagi orang yang suka
mengaksesnya.Seks bebas di kalangan remaja semakin merajarela tidak saja di
kota-kota besar tetapi juga dikota-kota kecil bahkan telah merambah di pedesaan
sehingga banyak remaja yang terlibat dalam pelacuran atau menjajakan diri demi
kepuasan maupun dengan alasan kesulitan ekonomi maupun karena keluarga yang
berantakan (orang tua bercerai).
2. Minum-minuman keras dan Narkoba
Merusak
diri dapat dilakukan melalui minum-minuman keras, menghisap ganja dan sebagai
pecandu narkoba. Seseorang melakukan hal tersebut dengan berbagai alasan
diantaranya untuk mengatasi stres, untuk bersenang-senang, atau untuk
sosialisasi. Widya (2012: 124) menyebutkan ada enam
bahaya bagi orang yang ketagihan minuman keras, yaitu a) Harta akan habis; b)
Sering bertengkar
dengan orang lain; c) Mudah
terserang penyakit; d) Watak
baiknya akan hilang; e) Menampakkan
diri secara tidak pantas; dan f) Kecerdasannya
menurun.
3. Keluyuran
Keluyuran
dilakukan oleh seseorang dengan pergi sendiri atau secara kelompok tanpa adanya
tujuan, sehingga dapat menimbulkan perbuatan negatif. Oleh karena itu anak yang depresi
karena perceraian orang tua melampiaskan emosi dengan teman-teman sebayanya
untuk keluyuran. Berkenaan dengan keluyuran
Widya (2012:
124) menyebutkan ada enam bahaya bagi orang yang sering berkeliaran di jalanan
pada waktu yang tidak layak, yaitu: a) Dirinya
sendiri tidak terjaga dan terlindungi; b) Anak isterinya tidak terjaga dan
terlindungi; c) Hartanya
tidak terjaga dan terlindungi; d) Sering
dituduh melakukan kejahatan; e) Menjadi
sasaran desas desus; dan f) Akan
mengalami banyak kesulitan lain.
4. Tawuran
Perkelahian
antar kelompok dapat terjadi baik yang masih duduk di bangku sekolah atau
remaja yang putus sekolah. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kasus
tawuran pelajar. Anak yang stres karena perceraian orang tua yang bercerai
sering melampiaskan emosinya dengan ikut teman-teman tawuran. Tawuran dianggap
sebagai pelampiasan emosi karena dendam yang ada dalam diri anak kepada orang
tua yang bercerai, anak stres karena keadaan keluarga yang berantakan sehingga
ia ikut dalam tawuran.
Perpisahan pasangan suami istri tidak
selamanya berdampak buruk, tetapi dapat pula berdampak positif bagi anak. Ananta Yudiarso (2010: 112) mengatakan bahwa perceraian dalam rumah tangga
memang mempunyai sisi negatif, namun dari perceraian orangtua juga mempunyai
sisi positif bagi anak karena dia akan terhindar dari konflik orangtua yang
berkepanjangan. Ada beberapa dampak positif yang didapatkan oleh sang anak
karena perceraian orangtua. Berikut beberapa dampak positif yang diperoleh sang
anak menurut Ananta Yudiarso (2010: 112), yaitu :
1.
Anak
Terhindar dan
konflik orangtua yang berkepanjangan
Anak
yang mengalami guncangan karena trauma orang tuanya bercerai membutuhkan sebuah
terapi psikologi. Terapi dilakukan agar anak memiliki mental yang kuat dalam
menerima perceraian kedua orang tuannya. Haditono (1996: 16) menyebutkan terapi
untuk anak korban perceraian adalah konseling anak. Konseling anak adalah
proses yang terjadi antara anak dan konselor yang membantu anak-anak untuk
memahami apa yang terjadi pada mereka. Tujuannya adalah untuk membantu
anak-anak kembali mempunyai rasa percaya diri. Selama konseling, seorang anak
didorong untuk dapat menyatakan perasaan mereka. Pemikiran dan perasaan yang
tak terungkapkan cenderung menjadi semakin parah dan dapat menimbulkan masalah.
Anak-anak sering merasa sulit berbicara dengan orang dewasa yang peduli pada mereka, padahal anak ingin dilindungi oleh
orang dewasa. Konseling dapat memberikan pengertian pada anak-anak bahwa
hubungan itu sangat berharga.
2.
Anak memperoleh pelajaran konflik dan pemecahannya
Perceraian orangtua dapat memberikan pelajaran bagi
anak tentang kehidupan yang tidak selamanya berjalan mulus. Anak akan
mengetahui tentang konflik rumah tangga dan tahu bagaimana cara untuk
mengatasinya. Anak akan belajar dari perselisihan-perselisihan yang terjadi
dalam kehidupan orang tuanya sekaligus mencari solusi bagi persoalan tersebut. Secara psikologis, anak dengan
usia remaja yaitu usia 17-20 tahun memiliki tingkat trauma yang lebih besar
dari pada usia di bawahnya. Karena anak yang berusia balita biasanya akan lebih
mudah untuk melupakan beban akibat adanya perubahan drastis dalam hidupnya usai
perceraian orangtua. Sementara itu, remaja memiliki memori yang lebih mendalam
sehingga mereka akan merasakan tekanan psikologis lebih besar dan lebih panjang.
3. Anak jadi lebih disayang
Anak akan lebih disayang oleh kedua orang tuanya
dibanding saat mereka bertengkar. Anak akan memperoleh rasa sayang
yang lebih karena intensitas orang tua terhadap anak semakin berkurang baik
dari pihak wanita maupun pria. Intensitas berkurang akan mengakibatkan orang tua
mengerti tentang keberadaan anak. Hal ini akan menimbulkan rasa memiliki dan
rasa sayang yang lebih terhadap sang anak.
Ketidakkekalan
(anicca) berarti segala sesuatu
selalu berubah atau segala sesuatu tidak kekal Widya (2002: 15). Buddhisme
mengajarkan bahwa segala perpaduan unsur-unsur di alam semesta ini adalah tidak
kekal. Contohnya, saat kedua insan saling bertemu mereka jatuh cinta kemudian
menjalin sebuah hubungan atau berpacaran. Cinta yang dulu dibina dengan baik tiba-tiba menjadi sebuah hal yang mungkin
tidak pernah diharapkan sebelumnya karena harus bercerai. Cinta yang dianggap
kedua pasangan dapat berjalan lama ternyata berubah karena sesuatu hal. Kedua
pasangan suami isteri yang saling
mencintai dapat berubah sehingga pernikahan tidak bisa dipertahankan.
Perceraian yang terjadi merupakan salah satu bentuk ketidakkekalan sebuah cinta. Banyak orang tidak
menyadari bahwa cinta itu selalu berubah. Orang-orang terlena karena keindahan
indera tanpa menyadari dibalik itu juga ada penderitaan yang kadang tidak bisa
menerimanya. Buddha mengingatkan para pengikut beliau bahwa
kenikmatan-kenikmatan indera harus dihindari, seperti yang dikatakan dalam Sutta
Nipāta, Khuddaka Nikāya (Norman, 2001: 103) :
If those
sensual pleasures decrease for that person who is desiring (them) eager (ly),
he is hurt as though pierced by barb. What (ever) man is greedy for field (s), property,
or gold, cows and horses, servant and men, women, relatives, many sensual
pleasures.
(Kesenangan nafsu inderawi hanya
menimbulkan sedikit kebahagiaan, karena pengejaran secara terus-menerus
terhadap kesenangan nafsu banyak menimbulkan penderitaan).
Mereka hanya memuja cinta saat mereka merasa bahagia
dengan cinta yang dimiliki tetapi jika mereka dikecewakan oleh cinta mereka
juga akan merasa menyesal dengan cinta. Setiap orang ingin mencinta dan dicinta
dengan setulus hati akan tetapi jika semua itu berubah tidak sesuai dengan apa
yang diinginkan akan meninggalkan kekecewaan yang sangat dalam apalagi jika
cinta itu sudah mendalam pada seseorang tentu sulit untuk menerima perubahan
cinta yang terjadi. Setelah, anak memahami bahwa cinta antara ayah dan ibu
dapat berubah, ia memiliki pemahaman yang mendalam tentang sebuah hubungan.
Kelak jika ia mempunyai hubungan maka ia tidak akan melekat pada cinta.
Menurut Davids (1992: 685) meditasi
dalam bahasa pali disebut sebagai samadhi
(san+ā+dhā) atau concentration yang
diartikan sebagai pemusatan atau konsentrasi. Praktik meditasi digunakan untuk
melatih dan mengembangkan mental seseorang. Buddha mengatakan kepada para
bhikkhu berkenaan dengan pikiran dalam Angguttara Nikaya V (Woodward, 2003: 66), “monks, thought a monk be not skilled in the habit of other thought,
at least he can resolve: I will be skilled in the habit of my own thought.
Thus, monk, should you train yourselvers.” Seseorang dapat mengendalikan
diri melalui pikiran. Meditasi dengan
obyek cinta kasih disebut sebagai mettā bhāvanā. Mengembangkan mettā bhāvanā pertama dipancarkan pada diri sendiri, orang yang
disayangi dan terhadap musuh. Dalam kitab Visudimagga (1991: 296)
disebutkan bahwa setelah mengembangkan metta pada diri sendiri, maka selanjutnya dapat dikembangkan
terhadap empat jenis manusia yaitu seseorang yang dihormati dan dihargai,
seseorang yang sangat disayangi, seseorang yang netral, dan terhadap seorang
musuh. Mengembangkan mettā dengan pikiran penuh cinta kasih, akan
memberikan manfaat pada anak. Mettā bhāvanā mendorong anak memunculkan sifat-sifat baik dalam
diri sebagai perwujudan cinta kasih untuk menyingkirkan kebencian, melenyapkan
niat jahat dan menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri. Mettā bhāvanā
dapat membantu anak yang terjerumus ke dalam hal-hal negatif akibat perceraian. Manfaat yang
bisa diambil dari mettā bhāvanā yaitu pikiran menjadi tenang, mudah
dikendalikan sehingga ia dapat berpikir jernih untuk melakukan segala sesuatu.
Dengan melaksanakan mettā bhāvanā
anak akan dapat menumbuhkan kebiasaan baik dari pikiran, dan tingkah laku
sehari-hari dapat berubah. Diharapkan dengan mettā bhāvanā
anak tersebut tidak lagi melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Kebencian, keserakahan, rasa hati serta dendam yang ada dalam hati
dapat ditaklukan. Dinyatakan dalam Dhammapada
(Norman, 2004: 1) bahwa “For not by
hatred are hatreds ever quenched here, but they are quenched by non-hatred.
This is the ancient rule”. Sifat benci dapat dihilangkan melalui praktik meditasi
cinta kasih. Ia menjadi tenang, merasa puas dan berterima kasih, tidak lagi
merasa gelisah, dan frustasi. Hasil-hasil mettā bhāvanā yang dilaksanankan dapat dinikmati dalam kehidupan ini
antara lain pikiran menjadi lebih tenang, lebih berbelas kasih, mengurangi
noda-noda batin seperti keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.
KESIMPULAN
Perceraian dapat dilakukan apabila pasangan
sudah tidak mempunyai persamaan dalam saddha,
sῑla, cāga, dan pañña.
Perceraian tidak hanya terjadi karena satu faktor saja tetapi ada banyak faktor
yang melatarbelakanginya. Faktor yang sering muncul hingga berakhir dengan
perceraian seperti keadaan ekonomi yang kekurangan (miskin), perselingkuhan,
komunikasi yang tidak lancar, dan kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut
menjadi suatu masalah dalam rumah tangga menimbulkan pertengkaran yang berujung
pada perceraian. Perceraian biasanya menyakitkan baik bagi pasangan itu sendiri
maupun bagi anak. Pasangan bisa menerima perceraian tersebut tapi belum tentu
dengan anak karena anak kondisi mentalnya masih labil.
Perceraian yang terjadi tidak
hanya membawa dampak bagi pasangan suami istri namun berdampak juga pada
kondisi mental seorang anak. Walaupun perceraian memang tidak selamanya
menyakitkan, Hal itu tetap saja meninggalkan luka bagi pasangan dan anak.
Kondisi mental yang berbeda antara anak dengan pasangan suami istri
mempengaruhi batin mereka dalam menghadapi perceraian yang terjadi. Perceraian
menimbulkan dua dampak yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak
positif yang dapat diambil oleh anak dari sebuah perceraian adalah anak
terhindar dari konflik orang tua, anak mendapat pelajaran dari konflik serta
pemecahanya masalah yang terjadi, dan anak menjadi lebih disayang. Dampak negatif yang terjadi pada anak adalah
ia melakukan hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain seperti tawuran,
mengompas, menggunakan narkoba, pergaulan seks bebas, dan ikut dalam sebuah
komunitas geng motor. Sekalipun
perceraian dipersiapkan, namun perceraian tetap saja menjadi momok yang
menakutkan bagi anak karena anak akan menerima keputusan yang dibuat orang tua
tanpa adanya persiapan dan bayangan adanya pola hidup yang berbeda.
Dampak negatif yang dialami seorang anak membutuhkan sebuah
solusi agar kondisi anak dapat kembali seperti semula. Solusi yang diberikan
secara umum misalnya membuat kondisi
aman dan nyaman, memupuk hubungan yang baik antara orang tua dan anak, orang
tua meluangkan waktu untuk anak, memperhatikan perilaku anak dan memberikan
ruang untuk anak agar ia dapat mengekspresikan kemarahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Davids,
Rhys dan William Stede. 1992. The Pali Text Society’s Pali English Dictionary. Oxford: The Pali Text Society.
Davids,
T. W. Rhys. 2002. Dialogues
Of The Buddha (Dῑgha Nikāya) Vol. IV. Oxford: The Pali Text Society.
Hare, E. M. 2001. The Book Of Gradual Sayings Vol. III (Anguttara Nikāya). Oxford: The
Pali Text Society.
Http://Palingseru.Com/6066/7-Artis-Indonesia-Dengan-Pernikahan-Paling-Singkat). (Diakses Tanggal
18 Maret 2012).
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Reza_Artamevia). (Diakses Tanggal 18 Maret 2012).
Http://Elearning.Unesa.Ac.Id/Tag/Pengertian-Mental-Anak). (Diakses Tanggal 18 Maret 2012).
Keown, Damien. 2004. Oxford Dictionary Of Buddhism. Oxford:
Univercity Press.
Meiala. 2008. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Perkawinan. Bandung: Nuansa Aulia.
Norman,
K.R. 2001. The Group Of Discourses (Sutta-Nipāta). Oxford: The Pali Text
Society.
Norman, K.R.2004. The
Word of the Doctrine (Dhammapada). Oxsford: The Pali Text Society.
Nyanatiloka. 1988. Buddhist
Dictionary (Manual Of Buddhist Term And Doctrins). Sri Lanka: Buddhist
Publication Society.
Rashid. M. S. Teja. 1997. Sῑla Dan Vinaya. Jakarta:
Buddhis Boddhi.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Tim Penyusun. 2012. Mantra. PT.
Ubede Media Ardhiwarta: Surabaya.
Tanpa Nama. 2005. Dhammapada. Jakarta: Dewi Kayana Abadi.
Virya, Jhana. 2007. Membina Keluarga Hita Sikhaya. Jakarta:
CV. Yanwreko Wahana Karya.
Walshe, Maurice (Diterjemahkan Oleh Team Giri Mangala
Publication). 2009. Digha Nikāya.
England: Dhammacitta Press.
Widya,
Surya. 2002. Tuntunan Perkawinan Dan
Hidup Berkeluarga Dalam Agama Buddha. Jakarta: Yayasan Buddha Sasana.
Woodward
F.L. 2003. The Book Of Gradual Sayings Vol. V (Anguttara Nikāya).
Oxford: The Pali Text Society.
Woodward
F.L. 2001.
The Book Of Gradual Sayings II (Anguttara
Nikāya).
Oxford: The Pali Text Society.
[1] Mahasiswa Prodi Dharma Acarya Sekolah Tinggi Agama
Buddha (STAB) Syailendra
[2] Pembimbing I, 2Pembimbing
II
Share this on your favourite network
0 comments:
Post a Comment