Home » » JURNAL MAHASISWA

JURNAL MAHASISWA



SOLUSI BUDDHISME MENGENAI KONDISI MENTAL ANAK KORBAN PERCERAIAN

Partiwi[1], Widiyono[2], Zon Vanel2
ABSTRACT
This research aims to explain to the general society and Buddhist society about understanding the Buddhism solution, the Condition of Children’s Mental Impact, and how divorce happens.
This research uses qualitative research method with library research technique. The formal object of this research is Understanding the Divorce  whereas the material object of this research is  the condition of Children’s Mental  Impact. This research is oriented towards understanding divorce and its Impact. This research uses qualitative data that is relevant with the research object.
Based on the results of the study, it is understood that divorce or separation is one final decision if the family cannot be maintained. Divorce can give positive and also negative impacts that are not just felt by older people but also by children. The negative impact on children can happen especially when children cannot accept the divorce, and as a result, children do negative things and they will look for outdoor attention such as using narcotics and drugs, or having free sex. They do this as an expression of their emotional disturbance and to get attention from people. Children who experience the effect of divorce need a solution so that they can return to have healthy and strong mentality. Buddhism has a solution to help children so that they can perceive the reality in normal life. The teaching in Buddhism becomes one of bases to change children’s way of thinking, beside supporting the children to have better mental and spiritual attitude. 

Keywords: Buddhism Solution, Condition of Children’s Mental Impact, Divorce.








PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu hidup berkelompok, bersama-sama, saling berhubungan, dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kehidupan manusia selalu ada dalam ruang sosial yang di dalamnya terdapat suatu hubungan antar individu. Salah satu bentuk hubungan sosial antar individu adalah keluarga. Keluarga merupakan komunitas sosial terkecil yang terdiri dari pribadi-pribadi dengan kedekatan hubungan khas. Keluarga terbentuk oleh hubungan darah, ikatan perkawinan, hubungan batin dan kehangatan hubungan sosial yang mendalam. Membentuk keluarga yang bahagia merupakan impian setiap orang maka hal yang harus dilakukan setiap anggota keluarga adalah memberikan yang terbaik untuk keluarga. Semua anggota keluarga harus menanamkan dalam pikiran dan melaksanakan hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya, kewajiban dan tugasnya sebagai anggota keluarga agar tidak terjadi perpecahan yang berbuntut pada perceraian. Pada zaman modern sekarang ini banyak sekali terjadi kasus perceraian yang dialami oleh masyarakat. Berbagai faktor yang melatar belakangi kasus perceraian diantaranya adalah ketidakpuasan yang terjadi oleh pasangan masing-masing, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan dan faktor agama. Contoh perceraian oleh sebab pertama, seorang nenek asal Jerman berusia 84 tahun menceraikan suaminya (82) setelah 60 tahun kebersamaan mereka karena sang suami berselingkuh dengan wanita lain di tempat kerjanya. Kisah lain adalah perceraian yang dialami oleh artis cantik Cici Paramida yang dinikahi almarhum Suhaebi pada 12 Maret 2009. Setelah mendapatkan kekerasan dari suaminya, kemudian  Cici menggugat cerai dan resmi menyandang status janda pada 17 Desember 2009. Kisah perceraian juga dialami Maria Eva, dia mengatakan ada perbedaan keyakinan yang cukup prinsip dengan suaminya, Koh San, sehingga membuat dia mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama pada awal 2007. Salah seorang yang pernah mengalami kasus perceraian karena faktor ekonomi adalah seorang wanita yang bernama Dewi. Dewi bercerai karena suaminya tidak bekerja, sehingga mengakibatkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Malah saya melihat suami saya menjadi tidak bertanggung jawab, dan saya juga perlu biaya hidup untuk masa depan anak. Kalau terus lihat suami saya seperti itu, bagaimana kelangsungan keluarga saya," katanya. (http://palingseru.com/6066/7-artis-indonesia-dengan-pernikahan-paling-singkat).
Hal yang perlu diperhatikan dalam perceraian adalah anak, pelampiasan anak dikarenakan perceraian akan mengakibatkan anak terjerumus pada kenakalan remaja yang cenderung pada hal-hal yang negatif seperti pegaulan bebas, minum-minuman keras dan sex bebas. Wati (20) tahun  asal Blitar menjadi perempuan penjaja cinta karena ayah ibunya bercerai. Pada usia 15 tahun, dia kerap melihat kedua orang tuanya bertengkar. Hal ini membuat Wati tidak betah tinggal di rumah. Sejak itu Wati mulai akrab dengan narkoba, miras hingga akhirnya terjerumus dalam sex bebas dan putus sekolah. Ia menganggap masa depannya sudah suram. Sebagai akibatnya, dalam kehidupan sehari-hari ia menjadi minder dengan lingkungan sekitar karena sering menerima cemoohan (Mantra, 13 Maret 2012: 29). Perceraian mempunyai dampak positif dan negatif, meski dalam kenyataannya kita lebih menyoroti dampak negatifnya. Adapun dampak negatif pada kondisi mental seorang anak adalah minder dan tidak jarang harus menerima kata-kata yang kurang enak didengar dari masyarakat seperti yang dialami oleh Wati.
Buddhisme tidak mengajarkan umatnya untuk bercerai tetapi jika suami istri merasa tidak dapat mempertahankan rumah tangga, mereka dapat bercerai dengan mempertimbangkan dampak bagi anaknya. Penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan dampak perceraian terhadap kondisi mental anak karena belum ada yang meneliti, dan banyak sekali kasus perceraian yang terjadi di masyarakat. Kasus perceraian di masyarakat membutuhkan sebuah solusi. Solusi yang penulis khususkan yaitu ajaran dalam Buddhisme. Esensi-esensi ajaran Buddhisme yang direalisasikan dalam kehidupan nyata diharapkan menjadi langkah awal dalam memberikan solusi dalam permasalahan dampak perceraian terhadap kondisi mental anak. Buddhisme harus bisa memberikan sumbangan untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Literatur agama Buddha sesungguhnya telah memiliki metode tersendiri untuk menyelesaikan setiap masalah tetapi belum banyak orang yang tahu seperti yang telah tertulis dalam beberapa sutta. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji mengenai ajaran Buddhisme yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah dampak perceraian dengan kondisi mental anak yang dibahas dalam skripsi yang berjudul “Solusi Buddhisme Mengenai Dampak Perceraian terhadap Kondisi Mental Anak Korban Perceraian”.
Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan dikaji adalah: Bagaimana pandangan Buddhisme terhadap perceraian?, Bagaimana dampak perceraian terhadap kondisi mental anak menurut Buddhisme?, Bagaimana solusi untuk mengatasi dampak perceraian terhadap kondisi mental anak menurut Buddhisme?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diketahui objek material penelitian ini yaitu dampak kondisi mental anak, dan objek formalnya adalah perceraian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Buddhisme terhadap perceraian, dampak perceraian terhadap kondisi mental anak menurut Buddhisme, dan solusi untuk mengatasi dampak perceraian terhadap kondisi mental anak menurut Buddhisme.

Kegunaan Kajian

Penelitian ini berguna untuk menjelaskan perceraian dalam Buddhisme, menjelaskan dampak kondisi mental anak, dan menjelaskan solusi Buddhisme untuk mengatasi dampak kondisi mental anak korban perceraian.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan kajian pustaka. Metode deskriptif bertujuan memberikan gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fenomena yang diselidiki (Suprayogo, 2001: 137). Penelitian ini bertujuan mengungkap fakta dan fenomena apa adanya. Dalam pendekatan ini penulis membaca, menafsirkan dan menganalisa data yang berkaitan dengan obyek penelitian dan berusaha memberikan solusi dalam penyelesaian masalah yang dihadapi anak dikarenakan dampak perceraian. Penelitian ini adalah penelitian kajian pustaka. Kajian adalah hasil dari kata mengkaji. Mengkaji adalah belajar, mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan (mempertimbangkan), menguji, menelaah baik buruk suatu perkara (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 200: 491). Kata pustaka mempunyai arti kitab, buku (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 912). Penulis melakukan kajian pustaka dari hasil mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan dan menelaah kitab atau buku yang berhubungan dengan dampak perceraian dan kondisi mental anak. Berkenaan dengan menganalisa data penulis menggunakan kajian teori yang berkaitan dengan perceraian dan dampak kondisi mental anak. Kajian teori ini didapat dari berbagai sumber yang berkaitan dengan pembahasan penulis yaitu perceraian dan dampak kondisi mental anak.

HASIL PENELITIAN
Perceraian berasal dari kata ‘cerai’ yang berarti pisah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 281). Menurut Undang-Undang perkawinan pasal 38 tahun 1975, perkawinan dapat putus karena perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Menurut Erna (1999: 19­) perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan  peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Uraian di atas menyatakan bahwa masing-masing pasangan tidak dapat menjalankan kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan sehingga memicu adanya perceraian. Faktor yang mendorong perceraian adalah pasangan suami istri tidak mempunyai persamaan dalam keyakinan, kebajikan, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam sebuah perkawinan. Berkaitan pernikahan dalam Buddhisme ada kisah pasangan suami istri bernama Nakulapitā dan Nakulamātā. Dalam Aguttara Nikāya III (Hare, 2001: 211-214) dikisahkan pada suatu ketika Sang Buddha berada di Taman Rusa, di hutan Bhesakala di mana pasangan suami istri Nakulapitā dan Nakulamātā datang memberi hormat serta menceritakan peristiwa yang telah dialaminya. Nakulapitā dan Nakulamātā mengatakan kepada Buddha bahwa, ketika Nakulapitā menderita sakit keras, Nakulamātā menghiburnya dengan mengatakan bahwa mati dengan hati gundah akan berakibat tidak baik. Selanjutnya, Nakulapitā berpesan bahwa apabila ia meninggal, Nakulamātā diharap mampu mengurus anak-anaknya mereka dan meneruskan kehidupan serta tidak akan menikah lagi. Pasangan Nakulapitā dan Nakulamātā menyampaikan peristiwa tersebut pada Sang Buddha. Dalam Aguttara Nikāya III (Hare, 2001: 214) menjelaskan bahwa Buddha menasehati pasangan suami istri Nakulapitā dan Nakulamātā dengan kata-kata pujian, “It has been to your again, good man,  you have greatly gained, good man, in having had the goodwife, Nakulamātā, full of compassion, and desire for your weal, as a counselor, as a teacher.’’ (Sungguh beruntung engkau, orang baik; sungguh beruntung engkau mempunyai istri yang begitu baik, yang telah menasehatimu dan menjadi gurumu, batinnya penuh kasih sayang serta ketulusan untuk kesejahteraanmu). Kisah pasangan Nakulapitā dan Nakulamātā dapat menjadi pedoman bagi pasangan suami istri dalam rumah tangga agar tercipta hubungan yang harmonis dan bahagia. Nasehat-nasehat bagi para perumah tangga diuraikan Sang Buddha dalam ajaran-ajarannya. Berkaitan dengan berumah tangga Buddha di dalam Aguttara Nikāya III (Woorward, 2001: 71), Buddha menasehatkan pada umatnya dengan mengatakan:
If both wife and husband desire to behold each other both in this very life and in the life to come, and both are matched in faith, matched in virtue, matched in generosity, matched in wisdom, then do they behold each other in this very life and in the life to come.
(Bila istri dan suami menginginkan melihat satu sama lain dalam hidup ini dan kehidupan yang akan datang, dan keduanya sebanding dalam keyakinan, sebanding dalam kebijaksanaan, sebanding dalam kedermawanan, sebanding dalam kebajikan, kemudian mereka melihat satu sama lain dalam kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang).

Sesuai dengan ajaran Buddha tersebut bahwa pasangan suami istri hendaknya mempunyai keyakinan atau saddha, kebajikan atau sla, kedermawanan atau sāga , kebijaksaaan atau sañña yang sebanding sehingga dapat bersama-sama dalam kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang.

1.    Keyakinan yang Seimbang  (Sammā Saddha)
Dalam kehidupan sehari-hari keyakinan bagi umat Buddha adalah keyakinan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha (Tisaraa). Panjika (2000: 13) menjelaskan Tisarana adalah ungkapan keyakinan (saddha) bagi umat Buddha. Saddha atau keyakinan sangat penting untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia. Keyakinan yang berbeda sering menimbulkan masalah bagi pasangan, tentunya akan menyebabkan keharmonisan hubungan terganggu. Berbagai masalah akibat perbedaan keyakinan dapat terus muncul dalam ikatan perkawinan. Memiliki kekuatan keyakinan membuat seseorang menjadi tidak terombang-ambing dalam menjalani kehidupan. Menurut Mukti (2003:196) Keyakinan atau saddha mengandung tiga unsur yakni: (1) keyakinan yang kuat terhadap sesuatu hal, (2) kegembiraan yang mendalam terhadap sifat-sifat baik, (3) harapan untuk memperoleh sesuatu di kemudian hari. Keyakinan merupakan pondasi yang mendasari pasangan suami istri untuk tetap bersama. Keyakinan antara pasangan suami istri yang sama akan berpengaruh pada tujuan. Apabila mempunyai keyakinan yang sama mereka memiliki tujuan yang sama pula. Kondisi ini akan mengkondisikan pasangan suami istri selalu bersama baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
2.    Keseimbangan dalam kesusilaan (Sammā Sīla)
Menurut bahasa Pali, “sīla” dalam pengertian luas adalah “etika”dan dalam pengertian sempit padanannya adalah “moral”. Sīla dalam pengertian luas termasuk dalam perilaku melalui pikiran sesuai dengan norma baik atau kehendak (cetanā), sedangkan sīla dalam pengertian yang sempit adalah perbuatan lahiriyah berupa ucapan perbuatan jasmani dan mata pencaharian (Rashid, 1997:7). Buddhaghosa dalam Kitab Visuddhimagga menafsirkan pengertian sīla dalam empat bagian: Pertama, sīla menunjukkan sikap batin atau kehendak (cetanā), kedua, menunjukkan penghindaran  (virati) yang merupakan unsur batin (cetasika), ketiga, menunjukkan pengendalian diri (samvara) dan keempat menunjukkan tiada pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan (avītikkama) (Buddhaghosa, 1975: 8). Sīla memiliki ciri (lakkhana), fungsi (rasa), wujud (paccupatthana), dan faedah. Ciri dari sīla adalah ketertiban dan ketenangan (Rashid, 1997: 12). Ketertiban dan ketenangan dipertahankan dengan pengendalian diri melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan. Sīla dijalankan dalam kehidupan sehari-hari karena sīla mempunyai fungsi  yang bermanfaat bagi mereka. Rashid (1997: 12) mengatakan fungsi sīla adalah untuk menghancurkan kelakuan yang salah dan menjaga seseorang agar tidak bersalah. Seseorang yang melaksanakan sīla tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan salah karena pikiran, ucapan, dan perbuatannya selalu terkendali. Sīla mengkondisikan seseorang selalu berbuat baik sehingga dapat menuntun pada kesucian. Menurut Rashid (1997: 12) wujud sīla adalah kesucian. Kesucian dari  sīla dapat dilihat dari wujudnya yang suci dari perbuatan badan jasmani. Seseorang yang melaksanakan peraturan moral, berarti telah membuat orang lain yang ada di sekitar merasa aman. Sīla atau moral yang sebanding antara suami istri merupakan salah satu pedoman untuk membentuk keluarga bahagia. Pasangan suami istri hendaknya mempunyai keserasian dalam tingkah laku, berusaha bersama-sama melaksanakan ajaran agama yang dianut. Pelaksanaan sīla dalam kehidupan sehari-hari akan memberikan manfaat bagi yang melaksanakan. Rashid (1997: 13) mengatakan faedah sīla di antaranya adalah tidak ada penyesalan (avippatisaro). Batin yang terbebas dari rasa penyesalan akan membawa batin menjadi tenang karena tidak ada perasaan bersalah dalam diri. Buddha juga bersabda kepada perumah tangga tentang faedah dari sīla Davids (2002: 91), yaitu: 1) Sīla menyebabkan seseorang memiliki banyak harta kekayaan; 2) Nama dan kemasyurannya akan tersebar luar; 3) Dia menghadiri setiap pertemauan tanpa ketakutan atau keraguan, karena ia menyadari bahwa ia tidak akan dicela atau didakwa orang banyak; 4) Sewaktu akan meninggal dunia hatinya tenang; 5) Akan terlahir di alam surga.
Manfaat dari pelaksanaan sīla bagi perumah tangga dasarnya untuk mencapai kebahagiaan di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. Moral baik yang dipraktikkan bersama oleh suami istri akan menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan akan mendorong kebahagiaan dalam kehidupan yang akan datang. Pasangan suami istri yang hidup dalam ikatan perkawinan dapat melakukan perbuatan-perbuatan benar dengan selalu setia pada pasangannya dalam arti tidak melakukan perbuatan asusila yang bukan suami atau istrinya, dan tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

3.    Kedermawanan yang Seimbang (Sammā Cāga)
Dalam Buddhist Dictionary (1988: 80), cāga diartikan sebagai liberality. Cāga adalah kemurahan hati. Kedermawanan yang dimaksud adalah dalam mengembangkan cinta kasih demi kebahagiaan semua makhluk. Dengan kedermawanan dan kasih sayang yang seseorang miliki, maka tidak lepas dengan perbuatan memberi dengan ikhlas dan tanpa syarat. Suka memberi kepada mereka yang membutuhkan merupakan suatu perbuatan terpuji karena telah membantu meringankan kesulitan orang lain. Mereka yang berkecukupan dengan materi seharusnya memikirkan orang lain dengan membantu atau memperluas kemurahan hati bagi yang membutuhkan. Memiliki sifat suka memberi yang kemudian dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari mempunyai manfaat bagi mereka yang melakukannya. Buddha menjelaskan tentang manfaat melakukan perbuatan memberi dalam Aguttara Nikāya (Hare, 2001: 42):
A person who give another a gift of food there by gives the recipient long life, complexion, happiness, strength, and promptitude and having given these life things, the donor, too, become endowed with the same things in future lives.
(Seseorang yang telah memberi kepada orang lain suatu dana makanan dengan cara demikian telah memberi kehidupan, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan, dan kesiagaan bertindak dan setelah memberi hal-hal itu kepada orang lain, pemberi juga menjadi diberkahi dengan hal yang sama dalam kehidupan yang akan datang).
Perbuatan memberi akan memberikan manfaat kepada pelakunya seperti umur panjang, kebahagiaan, kecantikan, kekuatan dan kepandaian. Manfaat-manfaat dari perbuatan memberi juga dapat dimiliki oleh suami istri apabila dalam kehidupan rumah tangganya diimbangi dengan perbuatan memberi kepada orang lain, kehidupan rumah tangganya akan mendapatkan kebahagiaan. Seseorang yang suka berdana dan suka menolong makhluk lain berarti telah memupuk perbuatan baik dan mengurangi kemauan jahat, karena makhluk yang mendapat pertolongan akan merasa bahagia. Jika seseorang melaksanakan perbuatan baik, ia senantiasa menanamkan rasa bahagia dan kegembiraan dalam pikiran. Selain perbuatan memberi,  kedermawanan  dalam perkawinan dapat diwujudkan dalam menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing dengan ikhlas sebagai suami istri. Kedermawanan yang sama antara suami istri akan mengkondisikan terlahir bersama di alam yang sama dalam kehidupan yang akan datang.

4.    Kesamaan Kebijaksanaan (Sammā Pañña)
Dalam Buddhist Dictionary (1988: 231) dijelaskan bahwa pañña adalah wisdom. Pañña adalah kebijaksanaan.  Hal serupa diungkapkan oleh Widya (2005: 84) bahwa pañña adalah kebijaksanaan. Dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan pandangan benar dan pikiran benar dimasukkan dalam kelompok Pañña. Kesamaan kebijaksanaan dalam  menjalani kehidupan berkeluarga sangat dibutuhkan oleh pasangan suami istri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Virya (2007: 47) Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat dan memboroskan waktu. Pasangan suami istri membutuhkan waktu lebih lama untuk adu argumentasi menyamakan sikap dan pola pikir terlebih dahulu sebelum memikirkan jalan keluar atas masalah yang dihadapi. Kebijaksanaan yang dimaksud tentu yang sesuai dengan Buddha Dhamma yang telah mengajarkan tentang ketidakpuasan. Penyebab ketidakpuasan karena adanya keinginan yang tidak terkendali.Oleh karena itu, apabila seseorang dapat mengendalikan keinginan maka ketidakpuasan akan dapat diatasi. Orang bijaksana akan memutuskan segala sesuatu masalah dengan bijak dan benar, memikirkan jalan keluar suatu masalah dengan hati-hati agar permasalahan yang dihadapi dapat terselesaikan dengan baik. Pasangan suami istri yang mempunyai kebijaksanaan akan mengetahui mengenai masalah yang dihadapi rumah tangganya, akar dari permasalahan dan mengetahui cara yang benar untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Usaha yang sungguh-sungguh akan sangat bermanfaat dalam masa selanjutnya atau masa yang akan datang. Apabila pasangan suami istri memiliki kebijaksanaan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah dalam keluarga. Kesamaan dalam kebijaksanaan yang dimiliki akan menyebabkan keduanya sama dalam memutuskan dan melakukan berbagai hal. Pasangan suami istri juga akan memiliki tingkat pemikiran yang sama sehingga rumah tangganya harmonis dan bahagia. Dengan demikian kebahagiaan dalam hidup berkeluarga akan terwujud dan tidak menutup kemungkinan kebahagiaan di masa yang akan datang akan tercapai.
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian salah satunya adalah tidak kepuasan (santuṭṭhi). Rashid (1997: 85) menjelaskan santuṭṭhi berarti kepuasan  hati. Kepuasan dalam hal ini adalah menerima dengan keseimbangan batin (upekkha) dan tidak menggerutu. Buddha mengajarkan kepada perumah tangga, bahwa ada empat hal yang dapat membuat hidup bahagia yang terdapat dalam Aguttara Nikāya (Woorward, 2001: 77),

There are these four kinds of bliss to be won by the householder who enjoys the pleasures of sense from time to time and when occasion offers...the bliss of ownership, the bliss of wealth, the bliss of debtlessness, the bliss of blamelessness.
(Ada empat macam kebahagiaan yang dapat dicapai oleh perumah tangga yang menikmati kesenangan indera bergantung waktu dan kesempatan...kebahagiaan dari memiliki, kebahagiaan dari kekayaan, kebahagiaan tanpa hutang, kebahagiaan dari tanpa salah.)

Kebahagiaan dari tanpa salah merupakan salah satu kebahagiaan dari empat kebahagiaan yang dapat dicapai oleh perumah tangga. Hidup tanpa salah dapat dicapai apabila pasangan suami istri setia dengan pasangannya, ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela dalam hal ini berkaitan dengan seks. Perbuatan tercela yang berkenaan dengan seks yang dapat dilakukan oleh pasangan suami istri adalah melakukan perselingkuhan dengan wanita atau laki-laki yang bukan pasangannya. Perbuatan selingkuh merupakan perbuatan tercela karena melanggar sla ketiga dalam Pańcasla Buddhis. Kepuasan yang tercipta karena memiliki satu pasangan merupakan kekayaan terbaik dalam rumah tangga. Hal ini dapat berfungsi sebagai salah satu landasan dalam mempertahankan rumah tangga. Dalam Karaṇῑyametta Sutta, Khuddakkapatha (David, 2002: 277) Buddha menjelaskan bahwa “santussako ca subharo ca” (merasa puas atas yang dimiliki, mudah dirawat). Merasa puas dengan apa yang dimiliki berarti pasangan suami istri puas dengan satu pasangan. Merasa puas dengan satu pasangan berarti menghindarkan pasangan suami istri dari pelanggaran sla ketiga dalam Pańcasla Buddhis. Sedangkan, mudah dirawat mempunyai pengertian ia tidak menuntut berlebihan di luar batas kemampuan pasangan. Misalnya istri puas dengan apa yang diberikan suami berupa pakaian, makanan, dan hal lain yang diperoleh sesuai dengan penghasilannya.
Semakin banyak konflik yang terjadi antara orang tua, semakin lama anak semakin kehilangan kesadaran diri. Sebagai akibatnya, ia mencari perhatian di luar. Hal ini dilakukan semata-mata karena ia kehilangan kasih sayang dari kedua orang tua sehingga hal-hal yang negatif dilakukan sebagai pelampiasan emosi. Kenakalan remaja yang negatif akan berdampak pada psikologi anak tersebut. Hariadi, (2003: 160) menyebutkan jenis-jenis kenakalan remaja dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1.    Pergaulan bebas atau seks bebas
       Banyak remaja yang terlibat dalam pornografi dan pornoaksi. Hal itu disebabkan mudahnya untuk mengakses situs pornografi di internet, sehingga mengakibatkan para remaja untuk terjerumus dan terdorong pada kehancuran moral dan spiritual. Membaca pornografi dapat mengakibatkan kecanduan bagi orang yang suka mengaksesnya.Seks bebas di kalangan remaja semakin merajarela tidak saja di kota-kota besar tetapi juga dikota-kota kecil bahkan telah merambah di pedesaan sehingga banyak remaja yang terlibat dalam pelacuran atau menjajakan diri demi kepuasan maupun dengan alasan kesulitan ekonomi maupun karena keluarga yang berantakan (orang tua bercerai).
2.    Minum-minuman keras dan Narkoba
       Merusak diri dapat dilakukan melalui minum-minuman keras, menghisap ganja dan sebagai pecandu narkoba. Seseorang melakukan hal tersebut dengan berbagai alasan diantaranya untuk mengatasi stres, untuk bersenang-senang, atau untuk sosialisasi. Widya (2012: 124) menyebutkan ada enam bahaya bagi orang yang ketagihan minuman keras, yaitu a) Harta akan habis; b) Sering bertengkar dengan orang lain; c) Mudah terserang penyakit; d) Watak baiknya akan hilang; e) Menampakkan diri secara tidak pantas; dan f) Kecerdasannya menurun.
3.    Keluyuran
       Keluyuran dilakukan oleh seseorang dengan pergi sendiri atau secara kelompok tanpa adanya tujuan, sehingga dapat menimbulkan perbuatan negatif. Oleh karena itu anak yang depresi karena perceraian orang tua melampiaskan emosi dengan teman-teman sebayanya untuk keluyuran. Berkenaan dengan  keluyuran Widya (2012: 124) menyebutkan ada enam bahaya bagi orang yang sering berkeliaran di jalanan pada waktu yang tidak layak, yaitu: a) Dirinya sendiri tidak terjaga dan terlindungi; b) Anak isterinya tidak terjaga dan terlindungi; c) Hartanya tidak terjaga dan terlindungi; d) Sering dituduh melakukan kejahatan; e) Menjadi sasaran desas desus; dan f) Akan mengalami banyak kesulitan lain.
4.    Tawuran
     Perkelahian antar kelompok dapat terjadi baik yang masih duduk di bangku sekolah atau remaja yang putus sekolah. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kasus tawuran pelajar. Anak yang stres karena perceraian orang tua yang bercerai sering melampiaskan emosinya dengan ikut teman-teman tawuran. Tawuran dianggap sebagai pelampiasan emosi karena dendam yang ada dalam diri anak kepada orang tua yang bercerai, anak stres karena keadaan keluarga yang berantakan sehingga ia ikut dalam tawuran.
            Perpisahan pasangan suami istri tidak selamanya berdampak buruk, tetapi dapat pula berdampak positif bagi anak. Ananta Yudiarso (2010: 112) mengatakan bahwa perceraian dalam rumah tangga memang mempunyai sisi negatif, namun dari perceraian orangtua juga mempunyai sisi positif bagi anak karena dia akan terhindar dari konflik orangtua yang berkepanjangan. Ada beberapa dampak positif yang didapatkan oleh sang anak karena perceraian orangtua. Berikut beberapa dampak positif yang diperoleh sang anak menurut Ananta Yudiarso (2010: 112), yaitu :
1.    Anak Terhindar dan konflik orangtua yang berkepanjangan
       Anak yang mengalami guncangan karena trauma orang tuanya bercerai membutuhkan sebuah terapi psikologi. Terapi dilakukan agar anak memiliki mental yang kuat dalam menerima perceraian kedua orang tuannya. Haditono (1996: 16) menyebutkan terapi untuk anak korban perceraian adalah konseling anak. Konseling anak adalah proses yang terjadi antara anak dan konselor yang membantu anak-anak untuk memahami apa yang terjadi pada mereka. Tujuannya adalah untuk membantu anak-anak kembali mempunyai rasa percaya diri. Selama konseling, seorang anak didorong untuk dapat menyatakan perasaan mereka. Pemikiran dan perasaan yang tak terungkapkan cenderung menjadi semakin parah dan dapat menimbulkan masalah. Anak-anak sering merasa sulit berbicara dengan orang dewasa yang peduli pada  mereka, padahal anak ingin dilindungi oleh orang dewasa. Konseling dapat memberikan pengertian pada anak-anak bahwa hubungan itu sangat berharga.

2.    Anak memperoleh pelajaran konflik dan pemecahannya
             Perceraian orangtua dapat memberikan pelajaran bagi anak tentang kehidupan yang tidak selamanya berjalan mulus. Anak akan mengetahui tentang konflik rumah tangga dan tahu bagaimana cara untuk mengatasinya. Anak akan belajar dari perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam kehidupan orang tuanya sekaligus mencari solusi bagi persoalan tersebut. Secara psikologis, anak dengan usia remaja yaitu usia 17-20 tahun memiliki tingkat trauma yang lebih besar dari pada usia di bawahnya. Karena anak yang berusia balita biasanya akan lebih mudah untuk melupakan beban akibat adanya perubahan drastis dalam hidupnya usai perceraian orangtua. Sementara itu, remaja memiliki memori yang lebih mendalam sehingga mereka akan merasakan tekanan psikologis lebih besar dan lebih panjang.

3.    Anak jadi lebih disayang
       Anak akan lebih disayang oleh kedua orang tuanya dibanding saat mereka bertengkar. Anak akan memperoleh rasa sayang yang lebih karena intensitas orang tua terhadap anak semakin berkurang baik dari pihak wanita maupun pria. Intensitas berkurang akan mengakibatkan orang tua mengerti tentang keberadaan anak. Hal ini akan menimbulkan rasa memiliki dan rasa sayang yang lebih terhadap sang anak.
     Ketidakkekalan (anicca) berarti segala sesuatu selalu berubah atau segala sesuatu tidak kekal Widya (2002: 15). Buddhisme mengajarkan bahwa segala perpaduan unsur-unsur di alam semesta ini adalah tidak kekal. Contohnya, saat kedua insan saling bertemu mereka jatuh cinta kemudian menjalin sebuah hubungan atau berpacaran. Cinta yang dulu dibina dengan baik  tiba-tiba menjadi sebuah hal yang mungkin tidak pernah diharapkan sebelumnya karena harus bercerai. Cinta yang dianggap kedua pasangan dapat berjalan lama ternyata berubah karena sesuatu hal. Kedua pasangan  suami isteri yang saling mencintai dapat berubah sehingga pernikahan tidak bisa dipertahankan. Perceraian yang terjadi merupakan salah satu bentuk ketidakkekalan sebuah cinta. Banyak orang tidak menyadari bahwa cinta itu selalu berubah. Orang-orang terlena karena keindahan indera tanpa menyadari dibalik itu juga ada penderitaan yang kadang tidak bisa menerimanya. Buddha mengingatkan para pengikut beliau bahwa kenikmatan-kenikmatan indera harus dihindari, seperti yang dikatakan dalam Sutta Nipāta, Khuddaka Nikāya (Norman, 2001: 103) :

If those sensual pleasures decrease for that person who is desiring (them) eager (ly), he is hurt as though pierced by barb. What (ever) man is greedy for field (s), property, or gold, cows and horses, servant and men, women, relatives, many sensual pleasures.
(Kesenangan nafsu inderawi hanya menimbulkan sedikit kebahagiaan, karena pengejaran secara terus-menerus terhadap kesenangan nafsu banyak menimbulkan penderitaan).

Mereka hanya memuja cinta saat mereka merasa bahagia dengan cinta yang dimiliki tetapi jika mereka dikecewakan oleh cinta mereka juga akan merasa menyesal dengan cinta. Setiap orang ingin mencinta dan dicinta dengan setulus hati akan tetapi jika semua itu berubah tidak sesuai dengan apa yang diinginkan akan meninggalkan kekecewaan yang sangat dalam apalagi jika cinta itu sudah mendalam pada seseorang tentu sulit untuk menerima perubahan cinta yang terjadi. Setelah, anak memahami bahwa cinta antara ayah dan ibu dapat berubah, ia memiliki pemahaman yang mendalam tentang sebuah hubungan. Kelak jika ia mempunyai hubungan maka ia tidak akan melekat pada cinta.
            Menurut Davids (1992: 685) meditasi dalam bahasa pali disebut sebagai samadhi (san+ā+dhā) atau concentration yang diartikan sebagai pemusatan atau konsentrasi. Praktik meditasi digunakan untuk melatih dan mengembangkan mental seseorang. Buddha mengatakan kepada para bhikkhu berkenaan dengan pikiran dalam  Angguttara Nikaya V (Woodward, 2003: 66), “monks, thought a monk be not skilled in the habit of other thought, at least he can resolve: I will be skilled in the habit of my own thought. Thus, monk, should you train yourselvers.” Seseorang dapat mengendalikan diri melalui pikiran. Meditasi dengan obyek cinta kasih disebut sebagai mettā bhāvanā. Mengembangkan mettā bhāvanā pertama dipancarkan pada diri sendiri, orang yang disayangi dan terhadap musuh. Dalam kitab Visudimagga (1991: 296) disebutkan bahwa setelah mengembangkan metta pada diri sendiri, maka selanjutnya dapat dikembangkan terhadap empat jenis manusia yaitu seseorang yang dihormati dan dihargai, seseorang yang sangat disayangi, seseorang yang netral, dan terhadap seorang musuh. Mengembangkan mettā dengan pikiran penuh cinta kasih, akan memberikan manfaat pada anak. Mettā bhāvanā mendorong anak memunculkan sifat-sifat baik dalam diri sebagai perwujudan cinta kasih untuk menyingkirkan kebencian, melenyapkan niat jahat dan menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri. Mettā bhāvanā dapat membantu anak yang terjerumus ke dalam hal-hal negatif akibat perceraian. Manfaat yang bisa diambil dari mettā bhāvanā  yaitu pikiran menjadi tenang, mudah dikendalikan sehingga ia dapat berpikir jernih untuk melakukan segala sesuatu. Dengan melaksanakan mettā bhāvanā anak akan dapat menumbuhkan kebiasaan baik dari pikiran, dan tingkah laku sehari-hari dapat berubah. Diharapkan dengan mettā bhāvanā anak tersebut tidak lagi melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kebencian, keserakahan, rasa hati serta dendam yang ada dalam hati dapat ditaklukan. Dinyatakan dalam Dhammapada (Norman, 2004: 1) bahwa “For not by hatred are hatreds ever quenched here, but they are quenched by non-hatred. This is the ancient rule”. Sifat benci dapat dihilangkan melalui praktik meditasi cinta kasih. Ia menjadi tenang, merasa puas dan berterima kasih, tidak lagi merasa gelisah, dan frustasi. Hasil-hasil mettā bhāvanā yang dilaksanankan dapat dinikmati dalam kehidupan ini antara lain pikiran menjadi lebih tenang, lebih berbelas kasih, mengurangi noda-noda batin seperti keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.

KESIMPULAN

   Perceraian dapat dilakukan apabila pasangan sudah tidak mempunyai persamaan dalam saddha, sla, cāga, dan pañña. Perceraian tidak hanya terjadi karena satu faktor saja tetapi ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Faktor yang sering muncul hingga berakhir dengan perceraian seperti keadaan ekonomi yang kekurangan (miskin), perselingkuhan, komunikasi yang tidak lancar, dan kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut menjadi suatu masalah dalam rumah tangga menimbulkan pertengkaran yang berujung pada perceraian. Perceraian biasanya menyakitkan baik bagi pasangan itu sendiri maupun bagi anak. Pasangan bisa menerima perceraian tersebut tapi belum tentu dengan anak karena anak kondisi mentalnya masih labil.
Perceraian yang terjadi tidak hanya membawa dampak bagi pasangan suami istri namun berdampak juga pada kondisi mental seorang anak. Walaupun perceraian memang tidak selamanya menyakitkan, Hal itu tetap saja meninggalkan luka bagi pasangan dan anak. Kondisi mental yang berbeda antara anak dengan pasangan suami istri mempengaruhi batin mereka dalam menghadapi perceraian yang terjadi. Perceraian menimbulkan dua dampak yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang dapat diambil oleh anak dari sebuah perceraian adalah anak terhindar dari konflik orang tua, anak mendapat pelajaran dari konflik serta pemecahanya masalah yang terjadi, dan anak menjadi lebih disayang. Dampak negatif yang terjadi pada anak adalah ia melakukan hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain seperti tawuran, mengompas, menggunakan narkoba, pergaulan seks bebas, dan ikut dalam sebuah komunitas geng motor. Sekalipun perceraian dipersiapkan, namun perceraian tetap saja menjadi momok yang menakutkan bagi anak karena anak akan menerima keputusan yang dibuat orang tua tanpa adanya persiapan dan bayangan adanya pola hidup yang berbeda.
Dampak negatif yang dialami seorang anak membutuhkan sebuah solusi agar kondisi anak dapat kembali seperti semula. Solusi yang diberikan secara umum misalnya membuat kondisi aman dan nyaman, memupuk hubungan yang baik antara orang tua dan anak, orang tua meluangkan waktu untuk anak, memperhatikan perilaku anak dan memberikan ruang untuk anak agar ia dapat mengekspresikan kemarahannya.

DAFTAR PUSTAKA
Davids, Rhys dan William Stede. 1992. The Pali Text Society’s Pali English Dictionary. Oxford: The Pali Text Society.
Davids, T. W. Rhys. 2002. Dialogues Of The Buddha (Dgha Nikāya) Vol. IV. Oxford: The Pali Text Society.
Hare, E. M. 2001. The Book Of Gradual Sayings Vol. III (Anguttara Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Reza_Artamevia). (Diakses Tanggal 18 Maret 2012).
Keown, Damien. 2004. Oxford Dictionary Of Buddhism. Oxford: Univercity Press.
Meiala. 2008. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan. Bandung: Nuansa Aulia.
Norman, K.R. 2001. The Group Of Discourses (Sutta-Nipāta). Oxford: The Pali Text Society.
Norman, K.R.2004. The Word of the Doctrine (Dhammapada). Oxsford: The Pali Text Society.
Nyanatiloka. 1988. Buddhist Dictionary (Manual Of Buddhist Term And Doctrins). Sri Lanka: Buddhist Publication Society.
Rashid. M. S. Teja. 1997. Sla Dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Boddhi.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Tim Penyusun. 2012. Mantra. PT. Ubede Media Ardhiwarta: Surabaya.
Tanpa Nama. 2005. Dhammapada. Jakarta: Dewi Kayana Abadi.
Virya, Jhana. 2007. Membina Keluarga Hita Sikhaya. Jakarta: CV. Yanwreko Wahana Karya.
Walshe, Maurice (Diterjemahkan Oleh Team Giri Mangala Publication). 2009. Digha Nikāya. England: Dhammacitta Press.
Widya, Surya. 2002. Tuntunan Perkawinan Dan Hidup Berkeluarga Dalam Agama Buddha. Jakarta: Yayasan Buddha Sasana.
Woodward F.L. 2003. The Book Of Gradual Sayings Vol. V (Anguttara Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
Woodward F.L. 2001. The Book Of Gradual Sayings II (Anguttara Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.


[1] Mahasiswa Prodi Dharma Acarya Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra
[2] Pembimbing I, 2Pembimbing II
Share this on your favourite network

0 comments:

Post a Comment

Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS