SIGNIFIKANSI KETELADANAN DHAMMADŪTA
DENGAN MEMPRAKTIKKAN PAÑCASĪLA BUDDHIS
ABSTRACT
The purposes of this research “The Significance of Dhammadūta Examplary by Practicing The Buddhist Five precepts” are
to describe the role of Dhammadūta in
conveying Dhamma, Dhammadūta examplary
by practicing the Buddhist five precepts, and the benefit of Dhammadūta examplary by practicing the
Buddhist five precepts. It is hoped that Dhammadūta
can be used as the examplary through practicing the Buddhist five precepts
in the daily life.
The method used in this research is a descriptive analytical method.
The descriptive method helps to describe an incidence systematically, and the
analytical method aids to reveal the concepts related to the research object.
The primary data source is from the Buddhist scripture, and the secondary data
source are from general literature including books, magazines, newspaper, and
the internet.
Dhammadūta is a persson who disseminates the teaching of the Buddha, has a very
important role and responsibility on the existance of Buddhist Religion and
perpetuation of Dhamma. In coveying Dhamma, Dhammadūta
is hoped to be a good examplary for him
self, so that Buddhist people can practice the Dhamma truthfully. In this way,
Buddhist people can increase theirfaith conviction. Buddhist people will be
hesitant if the conveyance of the Dhamma from Dhammadūta is without a good example. This is why Dhammadūta examplary
is badly important to practicing Dhamma. The results of the research: Dhammadūta concepts; the role from Dhammadūta in conveying Dhamma; Dhammadūta examplary concepts; the
significance of Dhammadūta examplary
by practicing the Buddhist five precepts; the benefit of Dhammadūta examplary by practicing the Buddhist five precepts. Dhammadūta examplary is very important
to practicing Dhamma. It can be concluded that Buddhist people in practicing
Dhamma are hoped to be Dhammadūta models,
so they can live his/her lives well and meaningfully.
Keywords: Dhammadūta, Examplary,
Practicing the Buddhist Five Precepts.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Zaman sekarang ini merupakan zaman yang
sudah sangat maju. Itu terbukti dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Tekhnologi (IPTEK) yang mengakibatkan manusia memiliki sumber daya manusia yang
tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. (http://emperordeva.wordpress.com/about/sdm-indonesia-dalam-persaingan-global/).
Perbedaan sumber daya manusia dapat dilihat dari tinggi dan rendahnya sumber
daya manusia. Rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki membuat manusia
memiliki keterbatasan dalam berbagai bidang. Salah satu contohya adalah
keterampilan dan spiritual. Rendahnya sumber daya yang dimiliki oleh manusia
dapat mengakibatkan manusia tersisihkan dengan mudah dari persaingan dunia
kerja.
Abdullah (2010: 5) mengatakan bahwa
masalah sumber daya manusia merupakan persoalan yang paling penting dalam
menentukan sukses tidaknya bangsa Indonesia menjalankan proses pembangunan.
Seseorang selalu dituntut untuk memiliki sumber daya manusia yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan dapat memberikan kemajuan. Manusia tidaklah cukup mengandalkan
sumber daya yang lama, tuntutan teknologi modern adalah meningkatkan sumber
daya untuk menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun
orang lain.
Persoalan peningkatan kualitas sumber
daya manusia tidak hanya pada tataran wawasan atau ilmu pengetahuan dan
keterampilan saja. Ada hal yang lebih fundamental yang menyangkut persoalan
moral dan budi pekerti maupun etika (Abdullah, 2010: 6). Demikian halnya dengan
sumber daya manusia Buddhis, tidaklah
cukup dengan sumber daya yang monoton (begitu-begitu saja). Buddha bersabda
dalam Mahā Mańgala Sutta,
Khuddakapatha (Ñāņamoli,
2005: 3), “Memiliki
pengetahuan luas, berketerampilan, terlatih dalam tata susila, dan bertutur
kata dengan baik, itulah berkah utama.”
Sumber daya manusia dalam bidang spiritual adalah yang sangat penting.
Seorang Dhammadūta dituntut untuk dapat mempraktikkan apa
yang disampaikan kepada umat Buddha dengan baik. Tingkah laku dan sikap seorang
Dhammadūta akan ditiru atau dicontoh oleh
masyarakat Buddhis. Seorang Dhammadūta diharapkan dapat menyampaikan Dhamma dengan penuh semangat, dengan baik dan indah, seindah Dhamma
yang diajarkan oleh Buddha.
Dalam era globalisasi kesempatan bagi
ajaran Buddha untuk berkembang semakin terbuka. Cara-cara penyebaran Dhamma diperlukan aspek internal yang
baik dari para Dhammadūta agar Dhamma dapat dikembangkan. Komunikasi yang baik termasuk
berbicara dan menulis haruslah dilatih oleh setiap Dhammadūta agar melengkapi sikap teladan yang
harus dicontohkan. Pelatihan berbicara atau biasa dikenal dengan public
speaking diperlukan untuk menghasilkan Dhammadūta-Dhammadūta yang cakap (Wijaya, 2009: viii).
Dhammadūta tidak hanya cukup pintar berbicara dan
pandai dalam pengetahuan, tetapi Dhammadūta mampu memberikan pengertian yang dapat
dipadukan dengan komunikasi yang akan disampaikan. Secara etika, materi Dhamma
yang disampaikan Dhammadūta dapat sesuai atau selaras antara
ucapannya di depan umum dengan perbuatan keseharian di masyarakat. Dhammadūta yang seperti itu adalah Dhammadūta yang memiliki sumber daya manusia yang
baik (http://tamandharma.com/forum/index.php?topic=10569.0).
Dorongan untuk menjadi seorang Dhammadūta biasanya timbul dari keinginan untuk
memupuk kamma baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Seorang Dhammadūta biasanya memperlihatkan perbuatan baik
yang sesuai dengan ucapannya. Tetapi, kenyataannya saat ini, khususnya di
perdesaan (Desa Peneliti), apa yang Dhammadūta ucapkan di depan umum (masyarakat
Buddhis) tidak sesuai dengan perbuatan kesehariannya di masyarakat. Faktanya
yaitu seorang Dhammadūta menyampaikan mengenai manfaat
menjalankan dan dampak melanggar Pañcasīla
Buddhis kepada umat
Buddha. Namun, Dhammadūta membunuh binatang dan kadang terlihat
minum–minuman keras. Dhammadūta yang seperti itu adalah Dhammadūta yang tidak dapat dijadikan contoh buat
umat Buddha. Dhammadūta yang tidak konsisten dengan ucapannya
merupakan Dhammadūta yang memiliki sumber daya manusia yang
rendah. Tetapi, yang perlu diketahui bahwa tidak semua Dhammadūta tidak konsisten, karena masih banyak Dhammadūta yang benar-benar konsisten dengan
ucapannya.
Fakta yang
ada menunjukkan bahwa tidak semua Dhammadūta dapat menjalankan apa yang Dhammadūta sampaikan di depan umum. Sikap yang
tidak baik mengakibatkan Dhammadūta tidak dapat dijadikan teladan bagi
umat Buddha. Permasalahannya sekarang, kita harus mengetahui peran dan tujuan
dari seorang Dhammadūta dalam menyampaikan Dhamma, memahami
pentingnya keteladanan dan manfaat Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasīla Buddhis agar umat Buddha juga dapat
mempraktikkannya dan bersikap lebih baik. Sepanjang pengetahuan penulis, masih
sedikit naskah–naskah yang menjelaskan hubungan antara keteladanan Dhammadūta dengan Pañcasīla Buddhis.
Berdasarkan
permasalahan–permasalahan tersebut, maka penulis menganalisa bagaimana cara
yang efektif agar dapat memberikan keteladanan Dhammadūta dengan Pañcasīla Buddhis. Selain permasalahan tersebut kajian
skripsi ini penulis pilih, karena penulis merasa Dhammadūta sangat penting bagi umat Buddha. Maka
penulis mengkaji tentang Dhammadūta dalam skripsi yang berjudul
“Signifikansi Keteladanan Dhammadūta dengan Mempraktikkan Pañcasīla Buddhis”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah penelitian
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimanakah peranan Dhammadūta dalam
menyampaikan Dhamma?. Bagaimanakah keteladanan Dhammadūta
dengan mempraktikkan Pañcasīla Buddhis?.
Bagaimanakah manfaat keteladanan Dhammadūta dengan
mempraktikkan Pañcasīla Buddhis?
Tujuan Penelitian
Tujuan
yang diharapkan dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan pengetahuan dan
membuka wawasan yang baru mengenai peranan Dhammadūta
dalam menyampaikan Dhamma, Keteladanan Dhammadūta
dengan Mempraktikkan Pañcasīla Buddhis,
dan manfaat keteladanan Dhammadūta dengan
mempraktikkan Pañcasīla Buddhis.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini secara
teoritis dapat digunakan
sebagai
wawasan kepada umat Buddha mengenai pentingnya peranan Dhammadūta dalam
menyampaikan Dhamma, pengetahuan kepada umat Buddha mengenai Keteladanan Dhammadūta
dengan Mempraktikkan Pañcasīla,
dan pemahaman kepada umat Buddha
mengenai manfaat keteladanan Dhammadūta dengan
mempraktikkan Pañcasīla Buddhis.
Sedangkan secara praktis dapat digunakan sebagai acuan dalam mempraktikkan Dhamma dengan
baik seperti yang disampaikan oleh Dhammadūta
khususnya Pañcasīla Buddhis.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif
adalah metode yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas
mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti (Kuontur, 2005: 105).
Jenis
Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif berpusat pada studi kepustakaan dan lebih menekankan pada pencarian
data yang bersumber dari buku yang sesuai objek penelitian. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data
dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur,
catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang
dipecahkan (Nazir, 1988: 111).
PEMBAHASAN
Dhammadūta merupakan istilah yang tidak asing
lagi dalam agama Buddha Theravāda. Konsep Dhammadūta muncul pertama kali dalam Kitab Maha
Vagga, Vinaya Pitaka. Menurut Phra Anil Sakya (2010: 1), istilah Dhammadūta terdiri dari dua kata, yaitu “Dhamma” yang berarti “ajaran Sang Buddha” dan “Dūta” yang berarti “utusan, duta”. Jadi Dhammadūta adalah seorang utusan yang menyebarkan
ajaran Buddha. Dhammadūta ditujukan untuk misionari Buddhis.
Buddha adalah misionari pertama dan terbesar dalam sejarah Agama Buddha.
Setelah mendapatkan penerangan sempurna, Buddha pertama kali berdiam di Sarnath
selama musim hujan. Buddha menghabiskan waktunya dalam khotbah Dhamma hingga
jumlah murid (Bhikkhu) mencapai 60, yang kemudian dikirim kearah yang berlainan
untuk menyebarkan Dhamma Ajaran Buddha. Pendapat yang sama mengenai Buddha
merupakan yang pertama menjadi misionari
Buddhis atau Dhammadūta dikemukakan oleh Sakya. Phra Anil Sakya (2010: 1) mengatakan:
Buddha himself is the first and the greatest
missionary in Buddhist history. After getting enlightenment the Buddha passed
his first stay during the rainy season at Sarnath. He spent his time on Dhamma
preaching until the number of his disciples (bhikkhu) reached to 60, who were
sent in different directions to disseminate the Buddha’s Dhamma.
Tujuan Dhammadūta yang paling
utama lebih ditekankan pada penyebaran ajaran Buddha. Akan tetapi pada saat
ini, banyak orang mulai mendeskripsikan tujuan Dhammadūta menjadi lebih
luas dari sebelumnya. Wijaya (2009: xiv) menyebutkan tujuan menjadi seorang Dhammadūta
yang terbagi dalam 4 bagian, yaitu: a.
Menyebarkan ajaran Buddha. b. Mengikuti atau menjalankan ajaran Buddha dengan
benar. c. Melindung ajaran Buddha dari kehancuran. d. Memberikan kebahagiaan
kepada semua orang. Dhammadūta yang menyebarkan ajaran Buddha
diharapkan selalu mampu melindungi ajaran Buddha dari kehancuran, serta
diharapkan juga mampu mengembangkan ajaran Buddha menjadi lebih baik. Dhammadūta
selain menyebarkan dan mengembangkan
ajaran Buddha, dituntut untuk
selalu berada di jalan yang baik, yang sesuai dengan Dhamma. Sehingga Dhammadūta mampu menuntun
semua makhluk mengenal Dhamma dan berbahagia dalam Dhamma (ajaran Buddha).
Tujuan sebenarnya Dhammadūta adalah untuk menunjukkan bagaimana
orang dapat memperoleh kebahagiaan dan lebih banyak kedamaian melalui praktik
Dhamma. Meskipun tujuan Dhammadūta bersifat komunikatif dan sosial, yang
bertujuan untuk mempengaruhi, mengubah, dan membentuk sikap serta tingkah laku
seseorang atau orang banyak untuk menjadi lebih baik, namun Dhammadūta
tidak akan berlomba dengan umat
beragama lain dalam mengubah orang di luar agama sendiri untuk sesuai dengan
Dhamma. Dhammadūta hanya mengubah orang yang sudah
mengenal Dhamma, tetapi belum sepenuhnya dekat dijalan kebenaran. Dengan kata
lain, Dhammadūta membuat atau mengarahkan orang untuk
mempraktikkan ajaran Buddha. Walaupun memiliki semangat misioner yang tinggi,
Agama Buddha sangat menghargai kebebasan setiap manusia untuk memilih dan
menentukan sikapnya sendiri. Buddha menjelaskan bahwa ia menyampaikan ajaran
hanya untuk menunjukkan bagaimana membersihkan noda, meninggalkan hal-hal
buruk, yang menimbulkan kesedihan dikemudian hari, dan tidak dengan keinginan
untuk mendapatkan pengikut, atau membuat seseorang meninggalkan gurunya,
melepaskan kebiasaan dan cara hidupnya, dan menyalahkan keyakinan atau doktrin
yang telah dianut.
Sesuai tujuan dari seorang Dhammadūta
yang ditekankan untuk menyebarkan
ajaran Buddha, maka Dhammadūta
memiliki peran penting yang terkait
dengan menyampaikan Dhamma. Adapun peran Dhammadūta dalam menyampaikan Dhamma adalah
sebagai berikut:
a.
Menyampaikan
Dhamma itu sendiri
Seorang Dhammadūta
dalam menyampaikan Dhamma hendaknya
terlebih dahulu memahami tema atau materi dari Dhamma yang akan disampaikan.
Dengan memahami materi diharapkan Dhammadūta
mampu menyampaikan inti dari materi
Dhammanya.
b.
Menyampaikan
nilai-nilai moral yang terkandung dalam Dhamma
Seorang
Dhammadūta
diharapkan mampu memahami materi Dhamma
karena bertujuan untuk mempermudahkan Dhammadūta itu sendiri dalam menyampaikan
nilai-nilai moral yang terkandung dalam Dhamma yang disampaikan. Nilai-nilai
moral yang terdapat dalam Dhamma adalah nilai moral yang berupa baik dan buruk
dari apa yang diperbuat.
c.
Memberikan
keteladanan dari Dhamma
Dhammadūta selain menyampaikan Dhamma yang
diajarkan oleh Buddha, Dhammadūta juga mampu memberikan contoh yang baik
kepada umat mengenai apa saja yang berhubungan dengan Dhamma itu sendiri. Dhammadūta
yang dapat menyampaikan Dhamma dan
nilai-nilai yang terkandung didalamnya, seharusnya merupakan seorang utusan
yang sudah siap dijadikan sebagai contoh oleh umatnya mengenai apa yang
disampaikan. Keteladanan yang dapat digunakan dari diri Dhammadūta yaitu tingkah laku atau sifat baik
yang ada pada diri Dhammadūta itu sendiri. Pada
prinsipnya, cara terbaik untuk membabarkan Dhamma adalah dengan menjadikan diri
sendiri sebagai panutan bagi orang lain, melalui pikiran, perkataan, dan
perbuatan sehari-hari. Itulah cara mengajar atau menyampaikan Dhamma yang
terbaik. keteladanan perilaku, bukan sekadar indah dalam ucapan dan penampilan,
bukan cuma pintar dalam berbicara, tetapi dapat menyelaraskan antara ucapan dan
perbuatannya.
Seorang
Dhammadūta
selain memperhatikan tugas atau peranan
dalam menyampaikan Dhamma, Dhammadūta
juga harus memperhatikan
kewajiban-kewajiban yang harus Dhammadūta berikan untuk para pendengarnya atau
umatnya. Adapun kewajiban yang dilakukan oleh Dhammadūta untuk umatnya antara lain sebagai
berikut:
a.
Dhammadūta wajib melatih umat sedemikian rupa
sehingga umatnya terlatih dengan baik
b.
Dhammadūta wajib membuat umat menguasai apa yang
telah diajarkannya
c.
Dhammadūta wajib mengajar umatnya secara menyeluruh dalam berbagai ilmu dan seni
khususnya mengenai Dhamma
d.
Dhammadūta berbicara tentang dirinya di antara
sahabat-sahabatnya (Dhammadūta yang dijadikan contoh dalam setiap
perkataan)
e.
Dhammadūta menjaga keselamatan semua umatnya.
Kewajiban yang diberikan oleh seorang Dhammadūta
untuk umatnya sama dengan kewajiban
yang diberikan guru kepada muridnya, karena Dhammadūta dan guru merupakan orang yang
sama-sama dijadikan contoh atau teladan untuk berperilaku.
Tidak
ada satu orang pun yang menyatakan bahwa Dhammadūta itu tidak penting, Dhammadūta
sangatlah penting bagi kemajuan dan
perkembangan Agama Buddha di dunia. Hal itu dikarenakan antara Dhammadūta, Agama Buddha dan Ajaran Buddha (Dhamma) saling ketergantungan. Ajaran
Buddha dan Agama Buddha itu sendiri tidak akan dapat berkembang dengan baik
tanpa adanya seorang Dhammadūta.
Sosok Dhammadūta
yang penting itulah yang kemudian
dijadikan oleh umat Buddha sebagai teladan atau panutan dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan Dhamma.
Seorang
Dhammadūta
yang menyebarkan ajaran Buddha tidak
semata-mata memiliki tingkah laku yang baik, dia juga harus memiliki moral baik
dan keteladanan yang pantas untuk ditiru oleh umat Buddha. Keteladanan Dhammadūta
yang paling menonjol dapat digunakan
sebagai contoh oleh umat Buddha yaitu keteladanan melalui tingkah laku atau
perilaku yang dimiliki Dhammadūta itu sendiri. Tentunya perilaku atau
tindakan Dhammadūta dalam kehidupan sehari-hari yang
berkaitan dengan moral atau etika Dhammadūta merupakan hal yang paling mudah untuk
dijadikan contohnya. Sehingga pada pembahasan kali ini akan membahas mengenai
perilaku dan moral Dhammadūta yang dapat dijadikan sebagai contoh
umat Buddha dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis.
Secara definitif Pañcasīla Buddhis mempunyai arti yaitu lima macam
peraturan atau tata susila (Kamus Umum Buddha Dharma, 2004: 192). Dalam Sangīti Sutta, Dīgha Nikāya, Pañcasīla Buddhis dirumuskan
sebagai berikut:
Five impossible, to wit, for an Arahat
intentionally to take life, or to take what is not given, so as to amount to
theft, or to commit sexual offences, or to lie deliberately, or to spend stored
up treasures in worldly enjoyments, as in the days before he left the world (Davids, 2002: 225).
Berdasarkan rumusan dalam sutta tersebut Pañcasīla Buddhis meliputi: tekad untuk menghindari
pembunuhan, tekad untuk menghindari mengambil barang yang tidak diberikan,
tekad untuk menghindari perbuatan asusila (berzinah), tekad untuk tidak
mengucapkan ucapan yang tidak benar, dan tekad untuk menghindari minum-minuman
yang disuling atau diragikan yang dapat menyebabkan menurunnya kesadaran.
Pengertian dari rumusan Pañcasīla Buddhis tersebut
menjelaskan bahwa kelima tekad tersebut adalah sebagai peraturan atau tata
susila yang sekaligus merupakan pegangan umat Buddha dalam menjalankan
kehidupannya sehari-hari. Masing-masing
tekad atau latihan yang ada merujuk kepada cerminan perilaku baik yang
selanjutnya disebut sebagai sikkhapada atau
latihan. Pañcasīla Buddhis apabila
dilaksanakan dengan baik akan membawa kedamaian, kebahagiaan bagi orang yang
mempraktikkannya maupun bagi orang lain, kemajuan, kemakmuran besar, kehidupan
surga, baik sebagai manusia atau sebagai dewa. Pelaksanaan Pañcasῑla
Buddhis khususnya bagi
Dhammadūta merupakan suatu perbuatan baik yang
mengarah pada moral seseorang atau kebajikan moral, etika, atau tata tertib
dalam menjalankan kehidupan sebagai seorang manusia (Dhammadūta) sehingga dapat bertingkah laku dengan
baik dan benar bagi diri sendiri maupun orang lain.
Keteladanan
Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis dapat diketahui dari tingkah laku dan
moral yang dimiliki oleh Dhammadūta
dalam kehidupan sehari-hari. Dhammadūta
diharapkan mampu menjalankan Pañcasῑla
Buddhis dengan baik dan benar, karena dengan
demikian keteladanan dari seorang Dhammadūta
dengan
mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis mudah untuk diketahui dan ditiru.
Keteladanan Dhammaduta dengan
mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Perbuatan
untuk tidak membunuh makhluk hidup
Memiliki tekad yang kuat untuk melatih diri menghindari pembunuhan
makhluk hidup merupakan awal yang baik untuk mendapatkan perilaku yang baik
pula. Dhammadūta
yang
memiliki tekad untuk melatih diri tidak membunuh semua makhluk dan melakukan
hal tersebut dengan sungguh-sungguh dalam bermasyarakat merupakan Dhammadūta yang
memiliki cinta kasih yang sangat besar kepada
semua makhluk. Dhammadūta
seperti
itulah yang dapat dijadikan sebagai teladan masyarakatnya dalam menjalankan
kehidupan beragama yang sebenarnya. Dhammadūta
dengan mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis yang pertama dan memiliki cinta kasih
yang besar dapat dijadikan sebagai contoh umat Buddha untuk memiliki moral yang
baik.
Keteladanan Dhammadūta
yang didapat melalui perbuatan untuk tidak membunuh makhluk hidup
(mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sila pertama), karena cinta kasih yang
dimilikinya dapat memunculkan
perilaku keteladanan yang lainnya seperti: baik hati dan lemah lembut,
membebaskan pikiran dari segala bentuk kebencian, serta melatih diri
menghindari kekerasan.
2.
Perbuatan
untuk tidak mencuri
Tekad yang kuat untuk melatih
diri menghindari pencurian barang orang lain yang tidak diberikan kepada
dirinya adalah tekad yang baik untuk seorang Dhammadūta. Dhammadūta
yang
bertekad menjalankan latihan kemoralan pada sῑla
kedua merupakan
seorang Dhammadūta
yang mudah memiliki rasa puas, puas terhadap apa yang dimiliki tanpa mempunyai
keinginan untuk memiliki kepunyaan orang lain dan sifat kedermawanan. Sikap
puas terhadap apa yang dimiliki ditunjukkan dengan cara seorang Dhammadūta selalu
berpenampilan sederhana di depan umat, tanpa menonjolkan barang yang dianggap
mewah. Sikap kesederhanaan dalam hidup akan membuat Dhammadūta
selalu disenangi oleh umat. Sedangkan sifat kedermawanannya ditunjukkan dengan
membagi penghasilan dengan semua makhluk agar mereka ikut bahagia. Dari rasa
kesenangan terhadap Dhammadūta maka dalam benak umat akan muncul rasa untuk
mencontoh. Keteladanan Dhammadūta
dengan
mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis seperti itulah yang dapat dijadikan
sebagai contoh dalam masyarakatnya untuk menjalankan suatu kehidupan tanpa
harus merusak milik orang lain.
Keteladanan Dhammadūta
yang didapat melalui perbuatan untuk tidak mencuri atau mengambil barang yang
tidak diberikan kepada dirinya (mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sila kedua), karena kejujuran yang
dimilikinya dapat memunculkan
perilaku keteladanan yang lainnya seperti: jujur dan menjaga persatuan, menjaga
kesenangan pribadi demi kesejahteraan umum, dan memberikan contoh hidup
sederhana kepada umat.
3.
Perbuatan
untuk tidak berbuat asusila
Dhammadūta diharapkan dapat memiliki tekad yang
kuat untuk melatih diri menghindari perbuatan yang tidak suci atau berbuat
asusila dengan orang yang bukan istri atau suaminya sendiri yang sah adalah tekad yang baik untuk seorang Dhammadūta menjalankan
kehidupan berumah tangga.
Dhammadūta yang
bertekad menjalankan latihan kemoralan pada sῑla
ketiga merupakan
seorang Dhammadūta
yang memiliki rasa puas, puas terhadap satu pasangan hidup dan menghargai
perasaan yang dimiliki orang lain, serta merupakan Dhammadūta
yang bersifat setia. Dengan mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis yang ketiga dan memiliki rasa puas,
setia terhadap pasangan hidupnya Dhammadūta
diharapkan
dapat dijadikan sebagai contoh yang baik bagi umat Buddha untuk menjalankan
kehidupan mereka agar menjadi bermanfaat dan bermoral.
Keteladanan Dhammadūta
yang didapat melalui perbuatan untuk tidak berbuat asusila kepada seseorang
yang bukan suami atau istrinya sendiri yang sah (mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis sila
ketiga), karena kesetiaan dan rasa puas terhadap satu pasangan saja yang
dimilikinya dapat memunculkan
perilaku keteladanan yang lainnya seperti: jujur dan menjaga persatuan, baik
hati dan lemah lembut, siap mengorbankan kesenangan pribadi demi kesejahteraan
umat, menghargai saran dan pendapat orang lain demi menciptakan suasana damai
dan harmonis dan memberikan contoh hidup sederhana dan bahagia kepada umat
karena memiliki istri atau suami (pasangan hidup) satu.
4.
Perbuatan
untuk tidak berbohong atau ucapan salah
Tekad yang kuat untuk melatih
diri menghindari ucapan salah atau berbohong adalah tekad baik untuk menjalani hidup
sebagai seorang Dhammadūta
yang
selalu berhadapan dengan masyarakat.
Dhammadūta yang
bertekad menjalankan latihan kemoralan pada sῑla
keempat merupakan
seorang Dhammadūta
yang menghargai kebenaran, mengingat kebenaran pada saat sekarang ini sulit
sekali untuk didapatkan dari manapun. Dhammadūta
yang melaksanakan hal ini merupakan orang yang suka tepat janji atau tidak
ingin ingkar janji karena menganggap segala sesuatu yang sudah dijanjikan
adalah hal penting. Tekad latihan penghindaran yang dilakukan oleh Dhammadūta pada
sῑla
keempat tidak hanya latihan menghindari ucapan salah saja, melainkan meliputi:
memfitnah, berkata kasar, dan bergunjing atau pembicaraan yang tidak berguna.
Keteladanan Dhammadūta
dengan
mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sῑla
keempat diharapkan dapat dijadikan sebagai contoh masyarakat atau umat Buddha
pada khususnya untuk mengerti betapa pentingnya suatu kebenaran dalam berbagai
hal serta dapat menghargai betapa besarnya pengaruh dari ucapan yang sudah
dikeluarkannya.
Keteladanan
Dhammadūta
yang didapat melalui perbuatan untuk tidak berbohong atau berucap salah
(mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sila keempat), karena tepat janji yang
dimilikinya dapat memunculkan
perilaku keteladanan yang lainnya seperti: jujur dan menjaga persatuan, dan
melaksanakan kesabaran.
5.
Perbuatan
untuk tidak minum minuman keras yang dapat melemahkan kesadaran
Memiliki tekad yang kuat untuk
melatih diri menghindari mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat
melemahkan kewaspadaan atau kesadaran merupakan tekad yang harus dan
bener-bener dilakukan untuk seorang Dhammadūta. Dhammadūta
yang
bertekad menjalankan latihan kemoralan pada sῑla
kelima merupakan
seorang Dhammadūta
yang mampu menunjukkan kepada umat Buddha atau masyarakat luas betapa
pentingnya memiliki kesadaran kuat atau kewaspadaan yang utuh. Dengan
kewaspadaan yang utuh Dhammadūta
dapat
menjalankan semua kegiatannya tanpa ada yang menghambat, tanpa harus mengulur
waktu, sehingga pekerjaan Dhammadūta
dapat
selesai tepat waktu. Seseorang yang sudah kehilangan kewaspadaan meskipun
sedikit akan mengakibatkan ketertundaan terhadap semua kegiatannya. Kurangnya
kewaspadaan akan megakibatkan manusia memiliki kemalasan untuk melakukan
berbagai hal. Perilaku yang ditimbulkan dari
pelatihan Pañcasῑla
Buddhis pada sῑla
kelima membuat masyarakat menginginkan sosok
Dhammadūta
yang
dapat memberikan contoh dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis yang
baik dan sungguh-sungguh. Ketaladan dalam mempraktikkan Sῑla kelima
akan menimbulkan pengendalian terhadap pikiran.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan
tersebut dapat dilihat bahwa pelatihan-pelatihan kemoralan yang dilakukan oleh
seorang Dhammadūta
diharapkan
memunculkan perilaku yang positif dan moral yang baik sehingga dapat digunakan
sebagai patokan atau contoh oleh umat Buddha pada khususnya dan masyarakat luas
pada umumnya untuk menjalankan hidup yang lebih baik. Dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis yang
baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari diharapkan Dhammadūta dapat
dijadikan sebagai teladan umat Buddha dalam kehidupan berumah tangga maupun
bermasyarakat.
Dhammadūta yang mempraktikkan Pañcasīla
Buddhis dengan baik
akan selalu diingat dan dijadikan pedoman atau teladan oleh umat Buddha dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari. Dhammadūta yang dijadikan teladan oleh umat
Buddha akan mendapatkan manfaat dalam diri pribadinya. Adapun manfaat keteladanan Dhammadūta
dengan mempraktikkan Pañcasīla
Buddhis adalah
sebagai berikut:
(1)
Tidak
akan pernah menyakiti semua makhluk
Dhammadūta
dalam mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sῑla
pertama
mendapatkan manfaat bahwa mereka akan memiliki rasa cinta kasih kepada semua makhluk
yang selalu muncul pada diri mereka karena perbuatan baik mereka yang tidak
akan pernah menyakiti atau membunuh makhluk hidup lainnya. Dhammadūta
yang selalu mempraktikkan sῑla pertama
akan terbebas dari rasa kebencian dan setidaknya sifat kebencian (dosa) yang ada pada diri mereka menjadi berkurang. Rasa cinta kasih yang dimiliki, mengakibatkan Dhammadūta
dijadikan teladan oleh umat Buddha. Dhammadūta
yang dijadikan teladan tersebut akan
selalu dihormati dan disayangi oleh umat Buddha. Rasa cinta kasih, kasih
sayang, dan rasa hormat yang ditunjukkan oleh umat Buddha untuk Dhammadūta
merupakan manfaat dari keteladanan Dhammadūta
dengan mempraktikkan Pañcasīla
Buddhis.
(2)
Tidak
akan pernah mengambil barang yang bukan kepunyaan sendiri
Dhammadūta
dalam mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sῑla
kedua
mendapatkan manfaat bahwa mereka mudah merasa puas dengan yang dimiliki (santuṭṭhῑ).
Seorang Dhammadūta yang selalu merasa puas dengan apa yang
mereka miliki tanpa menginginkan milik orang lain, merupakan Dhammadūta
yang memiliki rasa menghargai barang
milik orang lain. Dhammadūta yang mudah merasa puas dengan apa yang
dimiliki akan mendapatkan berkah utama. Pernyataan senada mengenai rasa puas
yang merupakan berkah utama disabdakan Buddha dalam Mahā Mangala Sutta, Kitab Khuddakapāţha,
Khuddaka Nikāya, yaitu: “content (Santuṭṭhῑ)
is contentment with the [four] requisite condition whatever they are like. This
is a supreme good omen” (Ñāņamoli, 2005: 157). Rasa
mudah puas yang selalu muncul pada diri dikarenakan perbuatan baik mereka yang
tidak akan pernah mengambil barang milik makhluk lain atau dengan kata lain
tidak pernah mencuri. Dhammadūta yang selalu mempraktikkan sῑla kedua
akan terbebas dari keserakahan dan sifat keserakahan (loba) yang ada pada diri menjadi berkurang. Manfaat keteladanan Dhammadūta
dengan mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sῑla
kedua
bagi diri Dhammadūta yaitu dapat menunjukkan kepada umat
Buddha senangnya hidup dalam kesederhanaan karena rasa mudah puas yang dimiliki
dan bahagia hidup dapat menghargai kepunyaan orang lain.
(3)
Tidak
akan pernah melakukan perbuatan asusila
Dhammadūta
yang mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sῑla
ketiga
akan mendapatkan manfaat dalam diri mereka sebagai orang yang mudah memiliki
rasa puas (santuṭṭhῑ)
yaitu
puas terhadap satu pasangan hidup, selain itu mereka akan memiliki rasa
menghargai kepada orang lain yang sangat besar. Seorang Dhammadūta
yang mudah merasa puas dengan satu
pasangan hidup dan dapat menghargai perasaan orang lain akan dihargai dan dihormati
orang lain pula.
Rasa
mudah puas yang selalu muncul pada diri Dhammadūta dikarenakan
perbuatan baik mereka yang tidak akan pernah berbuat asusila dengan orang yang
bukan pasangannya. Dhammadūta yang selalu mempraktikkan sῑla ketiga
akan terbebas dari keserakahan dan setidaknya sifat keserakahan (loba) yang ada pada diri mereka menjadi
berkurang. Manfaat keteladanan Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sῑla
ketiga
bagi diri Dhammadūta yaitu dapat meningkatkan kesetiaan
diri kepada pasangan hidup karena dijadikan panutan umat Buddha dalam
menjalankan hidup berumah tangga. Selain itu, Dhammadūta akan selalu memiliki rasa mudah puas
terhadap apa saja yang dilakukan dan diberikan oleh pasangan hidup kepada
dirinya.
(4)
Tidak
akan pernah berbohong
Seorang Dhammadūta dalam mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sῑla
keempat
akan mendapatkan manfaat bahwa mereka akan mudah dipercaya oleh masyarakat atau
orang lain, karena mereka berkata benar. Dhammadūta dan umat Buddha
yang selalu dipercaya oleh masyarakat dikarenakan perbuatan baik mereka yang
tidak akan pernah berbohong, berbicara kasar, memfitnah, dan berdusta kepada
siapa saja. Dhammadūta dan umat Buddha yang selalu
mempraktikkan sῑla
keempat
akan terbebas dari kebodohan dan setidaknya sifat kebodohan (moha) yang ada pada diri mereka menjadi
berkurang. Manfaat keteladanan Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sῑla
keempat
bagi diri pribadi Dhammadūta yaitu Dhammadūta akan selalu tepat janji terhadap apa
yang diucapkannya karena ucapan dan perbuatannya akan berpengaruh besar bagi
umat Buddha yang menjadikannya teladan.
(5)
Tidak
akan pernah minum-minuman keras
Dalam mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sῑla
kelima,
Dhammadūta
akan mendapatkan
manfaat yaitu dapat memiliki kewaspadaan atau kesadaran yang penuh. Seorang Dhammadūta
yang selalu memiliki kewaspadaan dan
kesadaran penuh karena tercegah dari minum-minuan keras yang dapat
menghilangkan kewaspadaan akan mendapatkan berkah utama. Pernyataan senada
mengenai rasa puas yang merupakan berkah utama disabdakan Buddha dalam Mahā Mangala Sutta, Kitab Khuddakapāţha,
Khuddaka Nikāya, sebagai berikut: “From
besotting drink refraining (majjapānā ca saṁyamo): this designates abstention from
any opportunity for negligence (intoxication) due to wine, liquor and besotting
drink, which has already been described. This refraining from besotting drink
is called a good omen...” (Ñāņamoli, 2005: 155). Kewaspadaan
dan kesadaran penuh yang selalu muncul pada diri Dhammadūta dikarenakan
perbuatan baik mereka yang tidak akan pernah mengkonsumsi minuman atau makanan
yang dapat melemahkan kesadaran mereka. Dhammadūta yang selalu mempraktikkan sῑla kelima
akan terbebas dari kebodohan dan setidaknya sifat kebodohan (moha) yang ada pada diri mereka menjadi
berkurang. Manfaat keteladanan Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis sῑla
kelima
bagi diri pribadi Dhammadūta yaitu Dhammadūta dapat meningkatkan kesadaran dan
kewaspadaannya karena selalu mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis
sῑla
kelima.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan
tersebut dapat dilihat bahwa keteladanan Dhammadūta
dengan
mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis dapat memberikan manfaat bagi Dhammadūta
maupun orang yang menggunakan Dhammadūta
sebagai contoh dalam kehidupannya. Manfaat yang didapatkan Dhammadūta
merupakan munculnya perilaku positif dan moral baik yang selalu dapat digunakan
sebagai patokan untuk menjalankan hidup yang lebih baik. Selain muncul
perbuatan baik dalam diri, pada kehidupan sekarang Dhammadūta
akan mendapatkan manfaat berupa kemasyuran, tidak memiliki rasa takut dan
ragu, dicintai, dihormati,
dan dipercaya oleh semua orang. Hal senada juga disabdakan
Buddha dalam Akaṅkheyya Sutta, Majjhima Nikāya sebagai berikut:
Monks, if a monk should
wish: ‘May I be agreeable to my fellow Brahma-farers, liked by them, revered
and respected,’ he should be one who fulfils the moral habits, who is intent on
mental tran-quillity within, whose meditation is uninterrupted, who is endowed
with vision, a cultivator of empty places (Horner, 2000: 41).
Selain
memberikan manfaat bagi pribadi Dhammadūta, manfaat
keteladanan Dhammadūta
dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis juga dapat dirasakan oleh umat Buddha yang mempunyai keteladanan
tersebut. Adapun manfaat yang didapat
oleh umat Buddha sebagai berikut:
1.
Umat Buddha akan memiliki rasa
cinta kasih kepada semua makhluk karena mencontoh perilaku dan sifat Dhammadūta yang mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis sῑla pertama.
2.
Umat Buddha dapat memiliki rasa
puas terhadap apa yang dimiliki dan dapat menghargai barang yang dimiliki orang
lain karena mencontoh perilaku Dhammadūta
yang mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis sῑla kedua.
3.
Umat Buddha akan memiliki rasa
puas terhadap satu pasangan hidup karena mencontoh sifat Dhammadūta yang mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis sῑla ketiga.
4.
Umat Buddha akan memiliki sifat
jujur, tidak suka ingkar janji, selalu tepat janji karena mencontoh atau
meneladani Dhammadūta yang
mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis sῑla keempat.
5.
Umat Buddha dapat memiliki
kesadaran dan kewaspadaan penuh karena mencontoh Dhammadūta yang mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis sῑla kelima.
Umat Buddha selain mendapatkan manfaat dari
keteladanan tersebut, juga akan memperoleh manfaat yang didapatkan pada saat
yang akan datang. Manfaat yang mereka dapatkan pada saat yang akan datang
karena mempraktikkan
Pañcasῑla
Buddhis, yaitu setelah meninggal dunia mereka akan
terlahir di alam surga atau alam kehidupan yang lebih baik karena kekuatan dari
moralitas yang dimiliki. Dhammadūta maupun umat Buddha
yang selalu mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis dengan baik dan benar
sudah dapat dipastikan selain memiliki perbuatan atau perilaku baik, mereka
juga akan memiliki moralitas yang baik pula. Moralitas baik tersebut yang akan
menentukan kelahiran di alam kehidupan selanjutnya.
Daya
pengaruh yang diberikan oleh Dhammadūta untuk
mengembangkan Agama Buddha sangat berhasil. Terbukti dengan adanya pengikut Dhammadūta yang mencontoh
perilaku dan sifat Dhammadūta banyak
yang memeluk Agama Buddha. Tanpa adanya keteladanan Dhammadūta kemungkinan besar perkembangan Agama Buddha tidak sampai
seperti saat ini. Dhammadūta, keteladanan
Dhammadūta, dan selalu mempraktikkan
Dhamma dalam kehidupan sehari-hari merupakan faktor yang mengakibatkan Agama
Buddha dapat berkembang dengan baik sampai saat ini. Selain itu, keteladanan Dhammadūta, dan tindakan nyata (mempraktikkan) Dhamma dalam kehidupan
sehari-hari memberikan manfaat yang sangat besar bagi perkembangan Agama
Buddha, tanpa adanya Dhammadūta ajaran
Buddha tidak akan dikenal oleh banyak orang, ajaran Buddha dan pemeluk Agama
Buddha tidak akan bertambah.
Keteladanan Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis merupakan
salah satu faktor pula dalam perkembangan Agama Buddha. Keteladanan Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis
memberikan banyak sekali kontribusi dalam perkembangan Agama Buddha sehingga
dapat berkembang dan dikenal oleh banyak orang. Kontribusi yang diberikan dari
keteladanan Dhammadūta dengan
mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis bagi perkembangan Agama Buddha adalah memberikan rasa cinta kasih,
rasa puas terhadap apa yang dimiliki dan terhadap satu pasangan hidup, tidak
ingkar janji atau tepat janji, dan memiliki kesadaran penuh yang muncul dari Dhammadūta dan umat Buddha karena
mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis sehingga menimbulkan ketertarikan dari banyak orang karena perilaku dan
sifat baik tersebut. Rasa ketertarikan seseorang tersebut yang mengakibatkan
Agama Buddha dikenal dan berkembang sampai saat ini.
Umat Buddha yang menjadikan Dhammadūta sebagai teladan dengan mempraktikkan
Pañcasῑla Buddhis akan
mendapatkan manfaat. Manfaat keteladanan Dhammadūta
dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis dapat dirasakan oleh tiga pihak, yaitu yang pertama manfaat bagi
pribadi Dhammadūta adalah Dhammadūta dapat selalu mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis dengan
baik karena merasa dirinya selalu dijadikan contoh oleh umat Buddha dan dapat
mempertahankan perilaku atau sifat baik yang dimilikinya seperti cinta kasih,
tepat janji, rasa mudah puas, serta kesadaran penuh. Kedua manfaat bagi umat
Buddha atau masyarakat adalah akan memiliki rasa cinta kasih, rasa mudah puas
terhadap apa yang dimiliki, suka tepat janji, dan memiliki kesadaran penuh akibat
dari mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis dan memiliki keteladanan. Ketiga manfaat bagi Agama Budha itu sendiri
yaitu dengan adanya keteladanan Dhammadūta
dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis, Agama Buddha akan selalu berkembang dan persentase untuk mengalami
kemerosotan sedikit berkurang karena banyaknya umat Buddha yang menjadikan Dhammadūta sebagai teladan dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan Dhamma khususnya mempraktikkan
Pañcasῑla Buddhis
secara baik.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan mengenai “Signifikansi
Keteladanan Dhammadūta dengan Mempraktikkan
Pañcasῑla Buddhis” dapat disimpulkan bahwa peran Dhammadūta yang
berkaitan dengan cara menyampaikan Dhamma kepada umat Buddha terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu: peranan Dhammadūta
untuk menyampaikan Dhamma, peranan Dhammadūta
untuk menyampaikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Dhamma, dan
peranan Dhammadūta untuk memberikan
keteladan kepada umat Buddha. Ketiga peranan Dhammadūta tersebut merupakan tugas yang harus dilakukan oleh
seorang Dhammadūta dalam menyebarkan
ajaran Buddha. Umat Buddha dalam menjalankan Dhamma memerlukan seorang yang
dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan.
Keteladanan merupakan suatu hal yang dapat
dicontoh. Keteladanan Dhammadūta adalah
utusan Dhamma yang dapat dijadikan contoh oleh umat Buddha baik dalam segi perbuatan maupun sifatnya. Keteladanan Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis dapat
terjadi apabila Dhammadūta mampu memiliki perilaku baik dalam dirinya. Adapun lima
sifat keteladanan Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis, adalah sebagai berikut: a. Perbuatan tidak membunuh
memunculkan keteladanan untuk memiliki sifat cinta kasih kepada semua makhluk;
b. Perbuatan tidak mencuri memunculkan keteladanan untuk memiliki rasa puas
terhadap apa yang dimiliki; c. Perbuatan tidak berbuat asusila memunculkan
keteladanan untuk memiliki rasa puas terhadap satu pasangan hidup; d. Perbuatan
tidak berbohong memunculkan keteladanan untuk memiliki sifat jujur atau tidak
ingkar janji; e. Perbuatan tidak minum-minuman keras memunculkan keteladanan
untuk memiliki kesadaran yang kuat. Dengan demikian, Dhammadūta dapat dijadikan sebagai panutan untuk
menjalankan hidup yang baik dengan mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis, sehingga pentingnya keteladanan
Dhammadūta yang dilakukan oleh umat
Buddha dapat memberikan manfaat yang besar dan
akan diterima oleh semua belah pihak.
Manfaat keteladanan Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis dapat dirasakan atau diterima oleh
tiga pihak, yaitu yang pertama, manfaat bagi diri pribadi Dhammadūta adalah Dhammadūta
dapat selalu mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis dengan baik karena merasa dirinya selalu dijadikan contoh oleh umat
Buddha dan dapat mempertahankan perilaku ataupun sifat baik. Kedua, manfaat
bagi umat Buddha atau masyarakat adalah akan memiliki rasa cinta kasih, rasa
mudah puas terhadap apa yang dimiliki dan satu pasangan hidup, suka tepat
janji, dan memiliki kewaspadaan atau kesadaran penuh. Ketiga, manfaat bagi Agama
Buddha itu sendiri yaitu dengan adanya keteladanan Dhammadūta dengan mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis, Agama Buddha akan selalu berkembang dan persentase untuk mengalami kemerosotan sedikit
berkurang karena banyaknya umat Buddha yang menjadikan Dhammadūta sebagai contoh atau teladan dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari yang sesuai dengan Dhamma khususnya mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis
secara baik. Dengan demikian, manfaat keteladanan Dhammadūta dengan
mempraktikkan Pañcasῑla Buddhis dapat selalu dirasakan selama Dhammadūta dan umat Buddha mampu mempraktikkan Pañcasῑla
Buddhis dan
memelihara moralitas mereka dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Irwan. 2010. Berpihak Pada Manusia: Paradigma Nasional Pembangunan Indonesia
Baru. Yogyakarta: TICI Publications.
Davids, Rhys. (Transl). 2002. The Dialogues Of The Buddha II (Dῑgha Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
Hariyono. 2011. http://tamandharma.com/forum/index.php?topic=10569.0,
(diakses pada tanggal 26 Februari 2012).
http://emperordeva.wordpress.com/about/sdm-indonesia-dalam-persaingan-global/,
(diakses pada tanggal 5 Februari 2012).
Horner, I.B. (Transl). 2000. The Middle Length Sayings Vol. I (Majjhima
Nikāya). Oxford: The Pali Text Society.
Kountur,
Ronny. 2005. Metode Penelitian untuk
Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: CV Taruna grafica.
Ñānamoli. 2005. The Minor Readings (Khuddakapāţha). Oxford: The Pali Text Society.
Nazir, Moh.
1988. Metode Penelitian. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Panjika. 2004. Kamus Umum Buddha Dharma Pali-Sanskerta-Indonesia. Jakarta: Tri
Sattva Buddhis Centre
Sakya, Ven. Phra Anil. 2010. Thai Dhammaduta In The World.
Thailand: Mahamakut Buddhist University.
Wijaya, Willy Yandi. 2009. Dhamma Dana Para Dhammadūta. Yogyakarta:
Vidyasena Production.
[1] Mahasiswa Program Studi Dharma Acarya Sekolah Tinggi Agama Buddha
Syailendra.
[2] Pembimbing satu dan pembimbing dua.
Share this on your favourite network
0 comments:
Post a Comment