Home » » AGAMA BUDDHA DAN KONSEP EKONOMI

AGAMA BUDDHA DAN KONSEP EKONOMI



Nama   : Didik Susilo                                                  Dosen              : Sukkhitta Dewi, S. Pd.B
NIM    : 12.1.214                                                        Mata Kuliah    : Agama Buddha & IP
Agama Buddha dan Konsep Ekonomi
Ilmu ekonomi memegang peranan penting dalam kehidupana manusia. Keseluruhan aktifitas manusia tidak lepas dari aspek ekonomi, bahkan dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan hidup, manusia tidak lepas dari aspek ekonomi. Aspek ekonomi berperan penting dalam menjaga eksistensi manusia dalam menjalankan kehidupannya. Contohnya adalah seseorang bekerja demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terdapat banyak pekerjaan yang dapat dilakukan untuk mendapatkan uang, misalnya: guru, polisi, sopir, pedagang, dosen, artis, dan masih banyak lagi. Semua pekerjaan ini dapat dikerjakan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh individu masing-masing. Masalahnya, karena keserakahan, kadang kala seseorang melakukan berbagai cara yang dianggap benar demi memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya. Cara yang dipakai kadang kala tidak beretika dan terkesan hanya untuk mencari keuntungan semata.
Di dalam Agama Buddha tidak menentang seseorang untuk mengumpulkan kekayaan / materi, karena materi penting untuk menunjang semua aktifitas kehidupan manusia. Akan tetapi materi / kekayaan hendaknya dikumpulkan secara benar dan beretika agar tidak merugikan orang lain. Buddha mengajarkan tentang beberapa ajaran mengenai ekonomi yang sekiranya masih relevan kita gunakan pada zaman sekarang.  
Pattakamma Sutta, Samyutta Nikaya menyebutkan bahwa terdapat empat hal di dunia ini yang dicita-citakan, diagung-agungkan, dan diharapkan oleh setiap orang, tetapi sangat susah untuk mendapatkannya. “Empat hal tersebut adalah harapan untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan Dhamma, cita-cita agar menjadi orang terpandang dalam masyarakat, harapan agar mempunyai umur panjang dan selalu sehat, serta setelah meninggal bisa terlahir di alam-alam bahagia, yaitu terlahir di alam surga”.[1]
Pattakamma Sutta dan Vyagghapajja Sutta menerangkan empat syarat yang diperlukan agar seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan di alam-alam berikutnya, yaitu: “Saddha (keyakinan terhadap Buddha), Sila (memiliki moralitas yang baik), Caga (praktik kemurahan hati), Pabba (pengembangan kebijaksanaan).”[2] Dari ke-empat hal ini kita harus belajar bahwa materi hendaknya digunakan sebagai salah satu sarana untuk melenyapkan penderitaan.
Konsep Dasar Pengembangan Ekonomi Dalam Agama Buddha
            Menurut Kamus Besar Indonesia, ekonomi memiliki beberapa pengertian, yaitu: “1) ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan”. 2) Pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dsb yang berharga. 3) Tata kehidupan perekonomian (suatu negara). 4) Urusan keuangan rumah tangga (organisasi, negara).”[3]
Konsep ekonomi dalam agama Buddha terdapat didalam Sigalovada Sutta disitu Buddha menganjurkan bahwa “orang-orang hendaknya bekerja keras memanfaatkan waktu berharga mereka secara efektif dan efisien untuk mendapatkan uang, menabung untuk masa depan, memenuhi tugas dan kewajiban untuk menopang keluarga, hati-hati dalam mengeluarkan uang dan menghindari sifat boros)” [4]
Sang Buddha menganjurkan untuk “tidak menunda-nunda suatu pekerjaan, karena ciri dari keberhasilan adalah tidak menunda-nunda suatu pekerjaan, ini merupakan suatu konsep dasar dalam pencaharian kekayaan.”[5]. Peryataan ini menunjukkan bahwa seseorang harus selalu aktif agar perekonomian stabil. Perlu diingat bahwa banyak masalah sosial yang diakibatkan karena perekonomian yang labil.
Penghidupan Benar (Samma Ajiva)
Penghidupan benar merupakan kelompok latihan moralitas (Sila) bagian dari Jalan Tengah Berunsur Delapan yang diajarkan oleh Buddha. Penghidupan benar berarti bahwa mata pencaharian seseorang dilakukan dengan cara yang tidak membahayakan dan merugikan orang lain. Terdapat lima jenis mata pencaharian yang hendaknya dihindari oleh umat Buddha. Ke-lima mata pencaharian tersebut adalah: “Sattha-Vanijja (berdagang senjata), Satta-Vanijja (berdagang makhluk hidup), Manisa-Vanijja (berdagang daging), Majja-Vanijja (berdagang minuman yang memabukkan), Visa-Vanijja (berdagang racun)”.[6] Sebagai umat Buddha yang baik, hendaknya tidak melegalkan ke-lima Miccha-Vanijja dengan alasan apapun dan mencari pekerjaan di luar ke-lima Miccha-Vanijja ini. Contohnya adalah: guru, wirausaha garmen, wirausaha sembako, sopir, arsitek, dosen, desainer, dan masih banyak lagi.
Menurut Mahatma Gandhi, “para ekonomis yang melukai kesejahteraan moral dari individu atau satu bangsa adalah tidak bermoral dan karenanya mereka berdosa”.[7] Peryataan ini menunjukkan bahwa penghidupan benar merupakan jalan yang hendaknya kita laksanakan, karena penghidupan benar  merupakan cara yang dilegalkan dalam agama Buddha untuk mencari materi dalam rangka pemenuhan kebutuhan.

Empat Hal Yang Dapat Dilakukan Agar Usaha Berkembang
            Selain mengajarkan tentang lima pekerjaan yang hendaknya dihindari, Sang Buddha dalam Vyagghapajja Sutta juga menjelaskan tentang empat hal yang dapat dilakukan agar suatu usaha itu dapat berkembang. Ke-empat hal tersebut adalah: “Utthana-Sampada (rajin dan bersemangat dalam mencari nafkah), Arakkha-Sampada (menjaga dengan hati-hati harta yang telah didapat), Kalyanamitta (memiliki teman-teman yang baik), dan Samajivita (menjalankan cara hidup yang sesuai dengan penghasilan)”[8].
            Dengan kekayaan yang diperoleh secara benar, umat Buddha hendaknya melaksanakan kehidupan seimbang. Berkenaan dengan ekonomi, sang Buddha menjelaskan tentang empat macam kebahagiaan, yaitu: “Atthi-Sukha ( kebahagiaan karena memiliki harta kekayaan), Boga-Sukha (kebahagiaan karena dapat mempergunakan kekayaan), Anana-Sukha (kebahagiaan karena terbebas dari hutang), Anavajja-Sukha (kebahagiaan karena telah berbuat sesuai Dhamma)”.[9]

Penggunaan Kekayaan
            Pattakamma Sutta menjelaskan adanya empat hal yang harus di perhatikan bagi seorang perumah tangga dalam hal kekayaan yang telah dikumpulkanya (cattari kammani katta). Keempat hal tersebut adalah sebagai berikut:
“a) Dia sebaiknya mempergunakan kekayaannya untuk kepentingan diri sendiri dan untuk pemenuhan kewajiban keluarga. Secara singkat dia harus menggunakan kekayaanya untuk dinikmati sebagai hasil jerih payahnya (attanam sukheti pineti sammasukham pariharati), sebagian kekayaan digunakan untuk merawat orang tua (matapitaro sukheti pineti sammasukham pariharati), dia juga harus merawat putra-putrinya, pembantu-pembantunya dan para pekerja yang telah membantu dalam usaha (puttadaradasakammakaraporise sukheti pineti sammasukham pariharati), serta dia mempunyai kewajiban untuk menjamu teman dan para pendatang dengan cara yang benar (mittamacce sukheti pineti sammasukham pariharati). Perlu diperhatikan bahwa istilah “sammasukham pariharati” atau “penggunaan secara benar” adalah sangat penting. Jadi sudah jelas bahwa kekayaan menurut Pattakamma Sutta sebaiknya digunakan untuk kepentingan diri sendiri dan juga untuk kebahagiaan orang lain. b) Dia mempunyai kewajiban untuk menjaga kekayaan yang telah dikumpulkanya dari bahaya-bahaya yang mungkin terjadi, seperti kebakaran (aggito), kebanjiran (udakato), pencurian (corato), dan dari pewaris yang tidak diinginkan (dayadato), serta orang-orang lain yang tidak diinginkan (tatharupasu apadasu bhogehi pariyodhaya vattanti). c) Dia mempunyai lima kewajiban yang lain (pabcabalim), yaitu: kewajiban kepada raja, misalnya membayar pajak (rajabali), kewajiban untuk menjamu tamu-tamu yang datang (atithibali), kewajiban kepada para deva (devatabali), dan kewajiban kepada para leluhur yang telah meninggal (pubbapetabali). d) Seorang perumah tangga juga mempunyai kewajiban kepada para samana dan brahmana yang telah melenyapkan kekotoran batin, penuh perhatian, dan kesabaran (samanabrahmana madappamada pativirata khanti soracce vivattha attanam damenti). Dana, jika diberikan kepada para samana dan brahmana yang berpraktik sila dan penuh perhatian serta kesabaran akan membuahkan hasil yang baik, akan membuahkan kebahagian dan menghantarkan seseorang terlahir ke alam-alam yang bahagia (sukhavipakam saggasamvattanikam). Dana yang demikian, menurut agama Buddha, dikatakan sebagai kekayaan yang tidak dapat dicuri oleh siapapun. Kekayaan yang digunakan dengan cara tersebut di atas dikatakan sebagai kekayaan yang telah menuju ke tempat yang tepat (thanam gatam hoti pattagatam ayatanaso paribhuttam).”[10]
            Pengaturan tentang kekayaan yang telah kita dapat, dapat dilihat di dalam Sigalovada Sutta yang terdapat dalam kitab Digha Nikaya sebagai berikut: “ekena bhoge bhubjeyya (seperempat bagian untuk dinikmati) dvihi kammam payojaye (dua perempat bagian untuk ditanamkan kembali ke dalam modalnya) catutabca nidhapeyya (seperempat bagian disimpan) apadasu bhavissanti (untuk menghadapi masa depan yang sulit)”.[11]
            Lebih lanjut, Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta juga menjelaskan tentang enam cara yang tidak boleh diikuti dalam menggunakan kekayaan.

“Dan apakah enam cara penggunaan harta seseorang yang tidak boleh diikuti? Ketagihan pada minuman keras dan obat-obatan yang menyebabkan kelambanan adalah cara pertama menghabiskan harta, berkeliaran di jalanan pada waktu yang tidak tepat adalah cara ke-dua, mengunjungi tempat-tempat hiburan merupakan cara ke-tiga, ketagihan berjudi adalah cara ke-empat, bergaul dengan teman-teman yang jahat adalah cara ke-lima, kemalasan yang menjadi kebiasaan adalah cara ke-enam.”[12]

Ke-enam cara penggunaan kekayaan yang tidak patut untuk ditiru ini hendaknya dihindari, karena akan menimbulkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain. Manajemen keungan yang tepat, Jalan Tengah Berunsur Delapan, pelaksanana sila, dan dana merupakan pondasi yang tepat dalam mencari, mengatur, dan menggunakan kekayaan dengan cara yang benar.
Kesimpulan
Keseluruhan aktifitas manusia tidak lepas dari aspek ekonomi. Dalam rangka pemenuhan kebutuhannya, seseorang bekerja dan berusaha untuk memperoleh kekayaan. Buddhisme menawarkan Penghidupan Benar (Samma Ajiva) sebagai pondasi seseorang dalam mengumpulkan harta kekayaan. Selain itu Sang Buddha juga memberikan petunjuk tentang cara mengembangkan usaha, manajemen keuangan, dan cara mempergunakan kekayaan dengan benar yang terdapat dalam Digha Nikaya. Oleh karena itu, hendaknya kita dalam mengumpulkan, menggunakan, dan mengembangkan kekayaan selalu berpedoman pada Dhamma yang sesuai. Manajemen keungan yang tepat, Jalan Tengah Berunsur Delapan, pelaksanana sila, dan dana merupakan pondasi yang tepat dalam mencari, mengatur, dan menggunakan kekayaan dengan cara yang benar. Pengendalian diri terhadap nafsu keinginan dan penjagaan indriya-indriya akan menekan keserakahan (Lobha), karena pada dasarnya masalah ekonomi timbul karena keserakahan manusia yang membabi buta.

Sumber Referensi:
1.      Maurice Walshe, Digha Nikaya, DhammaCitta Press, 2009
2.      Drs. A. Joko Wuryanto, S.Sos, M.Si, Wirausaha Buddhis, CV. YANWREKO WAHANA KARYA, 2007
3.      Lloyd Field, Ph.D, BUSINESS AND THE BUDDHA, KARANIYA, 2009
4.      Sugono Dendy dkk,  Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008
5.      Y.M. Bhikkhu Suguno, Pandangan Agama Buddha Tentang Ekonomi, (http://artikelbuddhist.com/2011/05/pandangan-agama-buddha-tentang-ekonomi.html diakses pada tanggal 20 Maret 2015 pada pukul 10:24 WIB)























[1] Y.M. Bhikkhu Suguno, Pandangan Agama Buddha Tentang Ekonomi, (http://artikelbuddhist.com/2011/05/pandangan-agama-buddha-tentang-ekonomi.html)

[2] Y.M. Bhikkhu Suguno, Pandangan Agama Buddha Tentang Ekonomi, (http://artikelbuddhist.com/2011/05/pandangan-agama-buddha-tentang-ekonomi.html)
[3] Sugono Dendy, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, Hal. 377
[4] Maurice Walshe, Digha Nikaya, DhammaCitta Press, 2009, Hal. 483
[5] Maurice Walshe, Digha Nikaya, DhammaCitta Press, 2009, Hal. 487
[6] Drs. A. Joko Wuryanto, S.Sos, M.Si, Wirausaha Buddhis, CV. YANWREKO WAHANA KARYA, 2007, Hal. 40
[7] Lloyd Field, Ph.D, BUSINESS AND THE BUDDHA, KARANIYA, 2009, Hal. 55
[8] Drs. A. Joko Wuryanto, S.Sos, M.Si, Wirausaha Buddhis, CV. YANWREKO WAHANA KARYA, 2007, Hal. 43-44
[9] Drs. A. Joko Wuryanto, S.Sos, M.Si, Wirausaha Buddhis, CV. YANWREKO WAHANA KARYA, 2007, Hal. 44
[10] Y.M. Bhikkhu Suguno, Pandangan Agama Buddha Tentang Ekonomi, (http://artikelbuddhist.com/2011/05/pandangan-agama-buddha-tentang-ekonomi.html)
[11] Y.M. Bhikkhu Suguno, Pandangan Agama Buddha Tentang Ekonomi, (http://artikelbuddhist.com/2011/05/pandangan-agama-buddha-tentang-ekonomi.html)
[12] Maurice Walshe, Digha Nikaya, DhammaCitta Press, 2009, Hal. 485
Share this on your favourite network

0 comments:

Post a Comment

Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS