Home » » Hukuman Mati Menurut Ajaran Buddha

Hukuman Mati Menurut Ajaran Buddha



Nama   : Didik Susilo                                                  Dosen              : Sukkhitta Dewi, S. Pd.B
NIM    : 12.1.214                                                        Mata Kuliah    : Agama Buddha & IP
HUKUMAN MATI MENURUT AJARAN BUDDHA
LATAR BELAKANG
Perdebatan tentang pro dan kontra pelaksanaan hukuman mati atau Capital Punishment dalam bahasa inggris sedang hangat-hangatnya di sorot oleh beberapa media, baik cetak ataupun elektronik di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari pelaksanaan hukuman mati terhadap beberapa narapidana tindak pelanggaran berat penyalahgunaan narkoba yang baru-baru ini di eksekusi mati di Lembaga Permasyarakatan Nusakambangan dan Ampel, Boyolali. Hukuman mati di Indonesia di legalkan dan direstui oleh Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Beberapa UU yang melegalkan hukuman mati, misalnya: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Terorisme, UU Anti Korupsi dan UU Pengadilan HAM. Tentu saja hal ini mengakibatkan berbagai perdebatan, baik yang pro dan kontra. Mereka, baik yang pro dan kontra memberikan berbagai argumentasi dengan berbagai sudut pandang, yaitu ilmu hukum, ilmu jiwa, bahkan agama. Penulis sangat tertarik dengan hal ini, dan akan mencoba menjabarkan hukuman mati menurut hukum pada umumnya dan menurut ajaran Buddha pada khususnya.
HUKUMAN MATI 
Hukuman mati atau Capital Punishment adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati, yakni: hukuman pancung (hukuman dengan cara kepala dipenggal), sengatan listrik (hukuman dengan cara duduk di kursi kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi), hukuman gantung (hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan), suntik mati (hukuman dengan cara disuntik dengan menggunakan obat yang dapat membunuh), hukuman tembak (hukuman dengan cara ditembak mati), dan rajam (hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati). Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia pada umumnya dengan cara hukuman tembak.


HUKUMAN MATI MENURUT UU DI INDONESIA
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.
Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.

HUKUMAN MATI MENURUT AJARAN BUDDHA
Penulis akan berusaha menjelaskan perspektif terhadap hukuman mati berdasarkan literatur-literatur ajaran Buddha.
A.    Pancasila-Buddhis
Pancasila buddhis merupakan suatu titik awal untuk mengetahui perspektif ajaran Buddha terhadap hukuman mati. Aturan ini merupakan acuan dasar moral yang baik bagi umat Buddha.
Sila pertama dan yang paling penting adalah “Päêätipätä veramaêï sikkhäpadaó samädiyämi” yang artinya adalah “Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup”. Dengan berlatih untuk menghindari pembunuhan atau kehancuran suatu makhluk akan mendorong pengembangan cinta kasih yang universal (mettä) terhadap semua mahluk pada umumnya dan kasih sayang (karuna) pada khususnya. Selain itu, Buddhisme juga mengajarkan bahwa pada dasarnya semua makhluk hidup (sattva) itu baik. Semua makhluk hidup memiliki sifat Buddha (Buddhatä). Memiliki sifat Buddha berarti bahwa semua makhluk pada akhirnya dapat mencapai pencerahan dengan mengembangkan Sila, Samadhi, dan Pañña.
Kehidupan adalah hal yang berharga, tidak peduli seberapa rendah dan tercela kehidupan seseorang, dia memiliki hak untuk hidup dan memperbaiki diri. Hukuman mati hanya akan menambah Kamma buruk.
B.     Dhammapada
Dalam Dhammapada ayat 129, berbunyi: “Sabbe tasanti daêdassa, sabbe bhäyanti maccuno, attänaó upamaó katvä, na haneyya na ghätaye.”
Artinya adalah “Semua orang takut akan hukuman, semua orang takut akan kematian. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri, hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.”
“Sabbe tasanti daêdassa, sabbesaó jïvitaó piyaó, attänaó upamaó katvä, na haneyya na ghätaye.” (Dhammapada ayat 130)
Artinya adalah: “Semua orang takut akan hukuman, semua orang mencintai kehidupan. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri, hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.”
Dalam Dhammapada ayat 405, berbunyi: “Nidhaya daêdaó bhütesu, tasesu thävaresu ca, yo na hanti na ghäteti, tamahaó brümi brähmanaó.” Artinya adalah: “Seseorang yang tidak lagi menganiaya makhluk-makhluk lain, baik yang kuat maupun yang lemah, yang tidak membunuh atau menganjurkan orang lain membunuh, maka ia kusebut Seorang Brahmana.”
Peryataan ayat 129, 130, dan 405 dalam Dhammapada ini secara jelas menunjukkan bahwa hukuman mati tidak patut untuk dilakukan dan harus dihindari.
C.    Janasandha-Jataka
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang perintah dari Raja Kosala.
Jataka ini mengisahkan tentang Pangeran Janasandha putra dari Raja Brahmadatta yang kala itu berkuasa di Benares. Sewaktu Janasandha beranjak dewasa dan telah kembali dari Takkasila, dimana ia dididik dalam semua ilmu pengetahuan, raja memberikan jabatan wakil raja kepadanya dan juga memberikan pengampunan kepada semua tahanan. Setelah ayahnya meninggal, Janasandha naik tahta menjadi raja dan kemudian ia menyuruh orang untuk membangun enam dänasälä di seluruh kerajaan. Di ke-enam dänasälä ini setiap harinya dibagikan enam ratus ribu keping uang kepada penduduk. Hal ini membuat gempar seluruh india karena kedermawanan Raja Janasandha. Raja Janasandha juga membiarkan pintu penjara selalu terbuka dan memusnahkan tempat hukuman. Ia melindungi seluruh dunia dengan berlandaskan pada empat poin penting, yakni: merangkul orang (Saòghavatthu), ia mematuhi Pancasila Buddhis, melaksanakan praktik Uposatha, dan memerintah sesuai Dhamma. Dengan dasar ke-empat hal ini rakyat makmur, sejahtera dan tentunya tindak kejahatan berkurang bahkan menghilang. (Janasandha-Jataka, Jataka Atthakatha Vol. IV, No. 468)
Dari Janasandha Jataka kita tahu bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak efektif digunakan, bahkan hukuman mati dihapuskan dan diganti dengan menerapkan empat poin penting, yakni merangkul orang, mematuhi Pancasila Buddhis, melaksanakan Uposatha dan memerintah kerajaan sesuai Dhamma. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa ajaran Buddha mendukung Penghapusan Hukuman Mati.
D.    Angulimala-Sutta
Angulimala Sutta di babarkan ketika Buddha berdiam di Vihara Jetavana milik Anathapindika dekat Kota Savatthi.
Secara garis besar, Sutta ini mengisahkan tentang seorang penjahat bernama Angulimala yang kejam, tangannya berlumuran darah, merampok dan membunuh manusia, dan tidak menaruh belas kasihan kepada makhluk hidup. Karena dia, desa-desa, kecamatan-kecamatan, dan kota-kota diporak-porandakan. Dia membunuh orang-orang dan membuat kalung dari jari orang-orang itu dan memakainya.

Ketika itu Buddha melewati jalan dimana Angulimala berada. Melihat Buddha, niat membunuh Angulimala muncul dan Angulimala pun mengejar Buddha, namun dengan kekutan adi-duniawi Beliau, Angulimala tidak bisa mengejar Nya. Akhirnya terjadilah percakapan antara Angulimala dan Buddha:
'Bhante, sementara Bhante masih berjalan, bhante mengatakan telah berhenti', Tetapi, kini setelah saya berhenti, Bhante mengatakan saya belum berhenti. Sekarang saya bertanya kepada Bhante, apakah artinya ini. Bagaimana bhante telah berhenti dan saya belum berhenti? 'Angulimala, aku telah berhenti selama-lamanya, dengan bersumpah menghentikan kekejaman kepada setiap makhluk hidup' Tetapi, engkau belum menahan diri dari penyiksaan terhadap makhluk hidup. Itulah artinya bahwa aku telah berhenti dan kamu belum berhenti. Wahai, setelah begitu lama, seorang petapa terpuji, bhikkhu ini muncul di hutan yang lebat ini: Saya sungguh-sungguh akan melepaskan semua kejahatan.Dengan mendengarkan bait-baitmu yang menunjukkan Dhamma.
Setelah kejadian ini Angulimala memohon pabbaja dan menjadi Bhikkhu. Angulimala menjadi Bhikkhu pembantu Buddha, dan berjalan menuju ke Savatthi. Hal ini tentu saja membuat mebuat gaduh kerajaan dan akhirnya Raja Pasenadi dari Kosala berangkat ditemani dengan pengawal lengkap dengan lima ratus kuda menuju Taman Anathapindika. Maksud dari Raja Pasenadi adalah untuk menangkap Angulimala, namun setelah melihat Angulimala menjadi Bhikkhu dan Raja Pasenadi mendapat wejangan dari Buddha niat itu urung dilaksanakan. Raja Pasenadi berkata: “Bhante, orang yang tidak dapat kami taklukkan dengan hukuman atau senjata telah Sang Buddha taklukkan tanpa huku­man atau senjata.” (Angulimala Sutta, Majjhima Nikaya)
Dalam perkembangannya Angulimala berlatih dengan tekun dalam Dhamma. Namun Karma Buruk yang telah matang membuat kematiannya sangat tragis. Sebelum kematiannya Angulimala menghadap Buddha dan akhirnya mencapai tingkat kesucian.
Hal yang dapat kita pelajari dari sutta ini adalah tidak selamanya hukuman dapat menyelesaikan masalah dan seburuk apapun perbuatan seseorang masih ada kesempatan buat orang tersebut untuk memperbaiki diri. Ajaran Buddha sangat menghargai kehidupan, bahkan seburuk apapun kehidupan itu, karena pada dasarnya seburuk apapun kehidupan seseorang itu masih dapat diperbaiki.

KESIMPULAN
Menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia, hukuman mati di legalkan. Menurut Ajaran Buddha, Hukuman mati seharusnya dihapus, karena setiap orang memiliki hak untuk hidup dan memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Pemerintahan yang ideal menurut Buddhisme seharusnya seperti kisah pada Janasandha Jataka, yakni berpegang pada empat poin penting (Merangkul orang, mematuhi Pancasila Buddhis, melaksanakan Uposatha, dan memerintah sesuai Dhamma) dan meniadakan hukuman.

DAFTAR REFERENSI
1.      Jataka Atthakatha Volume 4.pdf (http://DhammaCitta.org)
2.      ……….,DHAMMAPADA,(Jakarta: Satalindo Pratama), 1999
3.      STI, Paritta Suci, (Jakarta: Yayasan STI), 2005
4.      Angulimala Sutta, http://www.samaggi-phala.or.id diakses pada tanggal 30 Januari 2015 pada pukul 14:25 WIB
5.      http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/hukuman-mati-ditinjau-dari-agama-buddha/ diakses pada tanggal 30 januari 2015 pada pukul 14:45 WIB
6.      http://www.engaged-zen.org/articles/Damien_P_Horigan-Buddhism_Capital_Punishment.html diakses pada tanggal 30 januari 2015 pada pukul 14: 54 WIB
7.      http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati diakses pada tanggal 31 januari 2015 pada pukul 13:43 WIB








Share this on your favourite network

0 comments:

Post a Comment

Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS