Home » » EUTHANASIA DILEMATIK ANTARA “YES OR NO?”

EUTHANASIA DILEMATIK ANTARA “YES OR NO?”



Nama      : Didik Susilo
NIM        : 12.1.214
Semester : VI (enam)

EUTHANASIA
DILEMATIK ANTARA “YES OR NO?

LATAR BELAKANG
Masalah euthanasia kerab kali diperdebatkan oleh berbagai kalangan masyarakat, misalnya: para pakar kesehatan, para pakar hukum, maupun oleh para Rohaniwan. Ada kelompok yang setuju, dan ada juga yang tidak setuju. Masalah euthanasia menjadi sangat menarik bagi penulis untuk dikaji lebih dalam dengan pendekatan agama, khususnya pandangan agama Buddha. Penulisan artikel ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang boleh tidaknya dilakukan euthanasia menurut pandangan agama Buddha.
PENGERTIAN
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eu” yang artinya "baik", dan, “thanatos” yang berarti “kematian”. Secara etimologis euthanasia adalah suatu praktik mengakhiri kehidupan manusia atau hewan melalui cara-cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau meminimalkan timbulnya rasa sakit.
EUTHANASIA DITINJAU DARI SUDUT CARA PELAKSANAANYA
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu euthanasia agresif, euthanasia non agresif, dan euthanasia pasif.
a.      Euthanasia agresif / euthanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Euthanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
b.      Euthanasia non agresif / euthanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai euthanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas (dengan sadar) untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Euthanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik euthanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
c.       Euthanasia pasif dapat dikategorikan sebagai tindakan euthanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Euthanasia pasif dilakukan dengan menghentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan euthanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
EUTHANASIA DITINJAU DARI PEMBERIAN IZIN
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
a.       Euthanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan euthanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan euthanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
b.      Euthanasia secara tidak sukarela: Euthanasia semacam ini seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien
c.       Euthanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
EUTHANASIA DITINJAU DARI SUDUT TUJUAN
Beberapa tujuan pokok dilakukannya euthanasia antara lain, yaitu:
a.       Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
b.      Euthanasia hewan
c.       Euthanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada euthanasia agresif secara sukarela

KASUS EUTHANASIA DI INDONESIA
Kasus Euthanasia jarang terjadi di indonesia, karena euthanasia adalah suatu perbuatan yang melawan hukum di Indonesia. Penulis berusaha mencari informasi di media masa dan akhirnya menemukan pemberitaan pengajuan suntik mati oleh Ignatius Ryan Tumiwa (48) yang diberitakan oleh KOMPAS.com pada tanggal 5 Agustus 2014. Pria yang beralamatkan di Jalan Taman Sari X RT 8 RW 03, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat ini memberikan peryataan di KOMPAS.COM bahwa "Mau gimana lagi, saya sudah hidup sendirian. Ayah serta ibu saya sudah meninggal. Kakak saya sudah punya keluarga sendiri, sudah jarang ke mari. Makanya, lebih baik saya mati saja,". Pemberitaan ini membuat heboh khalayak umum karena Ignatius Ryan Tumiwa juga mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi Pasal 344 KUHP tentang euthanasia.
Euthanasia sampai saat ini tidak bisa diterima dan dilegalkan oleh pemerintah Indonesia, ini dapat dibuktikan dengan tetap dipertahankanya pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa "Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun".
EUTHANASIA MENURUT HUKUM DI INDONESIA
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun". Juga demikian halnya pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur dalam perbuatan euthanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia dilakukan oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Euthanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum yang tertera dalam KUHP.
EUTHANASIA DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
a.       Menurut Pancasila Buddhis
Euthanasia yang aktif, otomatis maupun pasif tidak dibenarkan dalam ajaran Buddha, karena melanggar sila pertama dalam Pancasila Buddhis. Dalam Pancasila Buddhis sila pertama menyatakan bahwa: “Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami.” Yang memiliki arti “aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.” Suatu pembunuhan telah terjadi apabila terdapat lima faktor sebagai berikut:
1.      Ada makhluk hidup (pano)
2.      Mengetahui bahwa makhluk itu masih hidup (panasannita)
3.      Berniat untuk membunuh (vadhakacittam)
4.      Melakukan usaha untuk membunuh (upakkamo)
5.      Makhluk itu mati melalui usaha itu (tena maranam)
Sila pertama dalam Pancasila Buddhis ini secara jelas menyatakan bahwa perbuatan euthanasia dengan alasan apapun tidak dibenarkan atau diperbolehkan. Pembunuhan merupakan khamma buruk yang dapat menimbulkan penderitaan dan pada dasarnya sakit merupakan buah khamma dari perbuatan buruk di masa lampau.
b.      Menurut Channovada Sutta Majjhima Nikaya
Channovada Sutta adalah sutta yang berisi tentang nasihat kepada Channa. Channovada Sutta dibabarkan pada saat Buddha sedang berdiam di Rajagaha di Hutan Bambu, Taman Tupai. Secara garis besar Channovada Sutta berisi tentang kisah Y.M. Channa yang tidak tahan menanggung rasa sakit yang teramat sangat dan ingin melakukan bunuh diri. Buktinya adalah peryataan Y.M Channa kepada Y.M Sariputta, Y.M Channa berkata: “Saya akan menggunakan pisau, sahabat Sariputta, saya tidak punya keinginan untuk hidup” (Channovada Sutta, Majjhima Nikaya, hal. 2350). Maksud dari menggunakan pisau adalah Y.M Channa bermaksud untuk bunuh diri dan  menggunakan pisau untuk memotong tenggorokannya.
Mendengar keinginan dari Y.M Channa yang ingin bunuh diri, Y.M Sariputta dan Y.M Maha Cunda memberikan nasihat kepadanya bahwa “seseorang bergantung karena nafsu keinginan dan pandangan-pandangan, dan menjadi tidak-bergantung karena meninggalkan pandangan-pandangan itu melalui pencapaian arahat. Bias datang karena nafsu keinginan, dan tidak adanya nafsu keinginan ini berarti tidak adanya kecenderungan atau keinginan terhadap kehidupan. Tidak ada datang dan pergi dengan berakhirnya kelahiran-kembali dan kematian, tidak ada disini atau pun di luar sana atau diantaranya dengan ditinggalkannya dunia ini, dunia di luar sana, dan jalan di antara yang satu dengan yang lain. Inilah akhir dari penderitaan karena kekotoran batin dan penderitaan lingkaran kelahiran”. (Channovada Sutta, Majjhima Nikaya, hal. 2354) pada saat nasihat ini diberikan kepada Y.M Channa, Channa belum sepenuhnya mengerti maksud dari nasihat ini dan akhirnya menggunakan pisau untuk memotong tenggorokannya, dan persis pada momen itu rasa takut terhadap kematian datang padanya dan tanda kelahiran kembali di masa-depan muncul. Mengenali bahwa pada waktu itu Y.M Channa teryata masih merupakan orang biasa, dia bangkit dan mengembangkan pandangan terang. Dengan memahami bentukan-bentukan, Y.M Channa mencapai tingkat Arahat sebelum dia meninggal. 
Kasus Y.M Channa (bunuh diri) ini dapat digolongkan kedalam euthanasia aktif secara sukarela. Apapun alasanya euthanasia tidak dibenarkan oleh Buddha dan bukan merupakan jalan yang tepat untuk mengakhiri kehidupan. Karena dengan melakukan euthanasia aktif secara sukarela (bunuh diri) akan membawa kita terlahir kembali dan terjebak di dalam roda kelahiran.
KESIMPULAN
Secara etika dan hukum di Indonesia euthanasia tidak diperbolehkan. Menurut ajaran Buddha euthanasia tidak dibenarkan karena bertentangan dengan sila pertama Pancasila Buddhis yaitu pembunuhan. Jadi sebagai umat Buddha hendaknya jangan sekali-kali melakukan euthanasia dengan alasan apapun.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi, Majjhima Nikaya, (Klaten: Wisma Sambodhi), 2008
2.      Pandita Dhammavisarada, Drs. Teja S.M. Rashid, Sila dan Vinaya, (Jakarta: Buddhis BODHI), 1997
3.      Prof. Moeljatno, S.H., KUHP, (Jakarta: PT Bumi Aksara), 2012
4.      http://pmvdbc.org/archives/72 diakses pada tanggal 21 januari 2015 pukul 14:40 WIB
5.      http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia diakses pada tanggal 21 Januari 2015 pada pukul 14:21 WIB





Share this on your favourite network

0 comments:

Post a Comment

Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS