WANITA DAN PERSAMAAN GENDER
(Sri Mauludiyati)
Latar Belakang
Kedudukan
wanita dalam kehidupan dulu sampai sekarang masih menjadi pertanyaan banyak
kalangan. Kedudukan wanita jaman sebelum Buddha bahkan sampai sekarang belum
ada pemecahannya. Meski banyak dibicarakan menganai kesetaraan kedudukan antara
pria dan wanita akan tetapi sampai saat ini masih banyakmyang belum bisa
merasakan hal tersebut. Tidak diakuinya
kesetaraan kedudukan wanita dalam berbagi lapisan masyarakat,
yang terjadi wanita masih saja berada dibawah kekuasaan pria.
Pergerakan wanita dalam memperjuangkan keseteraan
gender. Untuk memperoleh pengakuan bahwa wanita merupakan
individu yang memiliki kualitas yang tidak kalah dengan pria membutuhkan
perjuangan yang sangat berat. Wanita sebenarnya punya kualitas kemampuan yang
lebih maju dan memiliki cara berpikir yang lebih positif dibanding dengan kaum
pria. Dalam menghadapi masalah wanita lebih banyak mepertimbangkan baik buruk
dari dampak yang akan ditimbulkan. Banyak cara yang bisa muncul dalam pikirkan,
sehingga kadang masalah tersebut menjadi suatu inspirasi untuk maju.
Banyak wanita Buddhis yang juga menuntut adanya
persamaan gender, dengan tuntutan mendirikan kembali Sangha Bhikkhuni.
Kehidupan selibat bukan hanya diperuntukkan bagi kaum pria saja, karena kita
ketahui pada waktu jaman Buddha dulu beliau telah menijinkan adanya sangha
bhukkhuni. Sekarang sangha Mahayana yang masih eksis mendirirkan sangha
bhikkhuni. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa kaum wanita juga bisa dan punya
keinginan kuat untuk menjalani kehidupan suci sebagai bhikkhuni. Sangha
Mahayana hingga saat ini yang mempunyai biksuni tetap bertahan dan bahkan salah
satu biksuninya amat dihormati (biksuni Cheng-Yen, pendiri Tzu Chi).
Pengertian Gender
Gender adalah pembagian peran
dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun
budaya. Peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki meliputi berbagai
aspek kehidupan, seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pembagian peran
dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang dalam berbagai
sendi kehidupan, menimbulkan perdebatan diantara para pemikir, terutama para
feminis.
Diskriminasi gender adalah
pembedaan, penyingkiran atau pembatasan yang dilakukan berdasarkan alasan
gender, sehingga mengakibatkan penolakan pengakuan hak asasi, dan kesetaraan
antara perempuan dan laki-laki serta hak dasarnya dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya (Priastana (ed), 2004: 7). Sedangkan Lin Chew (dalam
Tsomo, 2004:42) mengatakan bahawa perempuan sering diberi ruang dan aturan
khusus; perempuan dikeluarkan dari esensi atau posisi sentral dan otoritas.
Kedua pendapat memiliki esensi yang sama yaitu adanya suatu sikap yang sengaja
dilakukan oleh masyarakat maupun budaya untuk menyisihkan gender yang lain.
Sejarah Munculnya Wanita
§ Pertanyaan-pertanyaan dalam agama-agama: kemunculan
manusia.
Kemunculan
manusia mempunyai fersi yang berbedea-beda dari tiap-tiap agama. Agama Islam
dan Kristen hampir meiliki kesamaan pandangan asal mula manusia. Berdasarkan
kitab suci mereka bahwa manusia muncul karena diciptakan oleh Tuhan dan menusia
pria pertama yang diciptakan adalah Adam, karena perlu adanya pasangan maka
diciptakan Hawa.
Dalam
Buddhis Buddha menguraikan manusia yang muncul pertamakali adalah makhluk-makhluk
sebagian besar terlahir di alam Brahmà âbhassara. Dan di sana mereka berdiam,
dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang
di angkasa, agung – dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama. Kemudian
beberapa makhluk yang bersifat serakah berkata: “Aku mengatakan, apakah ini?”
dan mengecap tanah lezat itu dengan jarinya. Karena melakukan hal itu, ia
menjadi menyukai rasa itu, dan keserakahan muncul dalam dirinya. Kemudian
makhluk-makhluk lain, mengambil contoh dari makhluk pertama itu, juga mengecap
benda itu dengan jari mereka. Mereka juga menyukai rasa itu, dan keserakahan
muncul dalam diri mereka. Maka mereka mulai dengan tangan mereka, memecahkan
potongan-potongan benda itu untuk dapat memakannya. Dan akibat dari perbuatan
ini adalah cahaya tubuh mereka lenyap. Dan sebagai akibat dari lenyapnya cahaya
tubuh mereka, bulan dan matahari muncul, malam dan siang dapat dibedakan, bulan
dan minggu muncul, dan tahun dan musim.
§ Agañña
Sutta: proses evolusi
v Tidak ada perbedaan seks ketika makhluk-makhluk
pertama kali muncul di dunia
v Dibutuhkan waktu yang cukup lama dan kondisi yang
cukup demi terbentuknya organ seksual manusia
v Yang jatuh cinta pertama kali bukan wanita ataupun
pria, tetapi karena keduanya saling memperhatikan perbedaan
v Proses penderitaan tidak dimulai oleh wanita ataupun
pria, tetapi karena manusia masih diliputi lobha, dosa, moha.
v Secara historis, tidak ada diskriminasi tentang
kemunculan wanita dan pria dalam early Buddhism.
Kondisi Wanita Pra-Agama Buddha
Ø Sebelum bangsa Arya datang, tidak ada perbedaan atau
diskriminasi gender.
Contoh:
Frase dampati yang menempatkan wanita setara dengan pria, bahkan lebih
dulu disebutkan.
Ø Kedatangan dan kuatnya posisi bangsa Arya (tradisi
Brahmanisme) membuat wanita terdiskriminasi
sebab: wanita dianggap tidak banyak memiliki peran
dalam kehidupan mereka, misalnya ketidakmampuan dalam berburu.
Pandangan Negatif Terhadap Perempuan
Meskipun
Buddha mengakui egalitarianism, tetapi pada kotbah tertentu Buddhisme
menganggap bahwa kelahiran sebagai perempuan adalah buah kamma buruk.
Derajat kelahiran perempuan lebih rendah daripada kelahiran laki-laki.
Perempuan dianggap memiliki kecenderungan serakah dan malas seperti anak-anak mara.
Dalam
Sagatha vagga, perempuan
dipersonifikasikan sebagai mara penggoda yang menghalangi pembebasan agung.
Personifikasi sebagai mara juga ditemukan dalam Soma sutta. Perempuan
dianggap tidak punya pendirian, penuh nafsu birahi, suka bertengkar, dan jahat.
Dalam Agañña sutta, perempuan dipandang sebagai makhluk yang harus
bertanggung jawab atas jatuhnya moral yang disebabkan oleh nafsu. Dalam Bahudhatuka sutta, Majjhima
Nikaya, perempuan dikatakan memiliki lima hambatan yaitu tidak akan mampu
menjadi Raja Brahma, Raja Sakka, Raja Mara, Raja Cakkavatti dan Buddha.
Dalam sutta ini, dinyatakan dengan jelas bahwa perempuan tidak mungkin dapat
menjadi Buddha. Dalam Cakkavattisihanada
sutta, perempuan dianggap sebagai salah satu harta bagi Raja Cakkavatti.
Dalam sutta yang sama, salah satu tanda manusia agung juga merujuk pada
laki-laki (purusa) bukan perempuan.
Contoh Bentuk Diskriminasi
v Kitab Manusmrti: syair tentang wanita yang ditakdirkan tidak memiliki
kebebasan. Disini seorang wanita adalah sebuah
obyek yang harus patuh pada aturan-aturan tersebut. Wanita memiliki peran hanya
dalam ruang lingkup keluarga. Diskriminasi terhadap
perempuan dalam tradisi Brahmanisme telah dikultuskan dalam kitab Manusmrti.
Oleh karena kitab suci memiliki otoritas penuh, maka perempuan selama
berabad-abad dibiarkan dalam kondisi tertekan dan menjadi masyarakat lapisan
kedua setelah laki-laki.
v Bertanggung jawab penuh dalam merawat dan membesarkan
anak yang dilahirkan. Didalam adat Jawa wanita berperan
penting dalam mengurus segala keperluan rumah tangga, mengurus dan
memperhatikan perkembangan anak-anak. Baik buruk perkembangan anak merupakan
tanggung jawab seorang wanita.
v Tidak berhak untuk mendapatkan pengetahuan.
Setelah dewasa, pada umunya anak perempuan akan menikah, melahirkan anak
dan hidup tergantung pada suami, sehingga banyak orang tua yang merasa tidak
perlu memberikan pendidikan tinggi pada anak perempuan. Sedangkan anak
laki-laki dianggap memikul tanggung jawab yang besar dalam keluarga sehingga
anak laki-laki lebih diprioritaskan dalampendidikan. Wanita
dipandang sebagai seorang yang hanya memiliki peran didalam lingkup rumah.
Seorang wanita memiliki tugas pokok melahirkan anak, mengurus badan dengan
bersolek agar menarik didepan suami dan menyadiakan makan bagi semua keluarga.
Tiga hal ini tidak perlu belajar, maka wanita tidak perlu mencari pengetahuan
yang tinggi karena pada akhirnya dia akan terdampar dalam kehidupan rumah
tangga dengan tanggungjawabnya sebagai seorang istri dan ibu.
v Tidak mendapat tempat dalam hukum.
v Wanita tidak mungkin mencapai kebebasan moksa, karena
bersifat tidak suci. Perempuan
juga tidak mendapat tempat dalam kegiatan religious karena permpuan dianggap
tidak suci. Anggapan ketidaksucian perempuan adalah secara biologis perempuan
harus mengalami menstruasi, mengandung dan melahirkan anak.
v Harus berbakti penuh dan menjadi budak suami jika ingin terlahir kembali dengan keadaan baik.
Revolusi
Gender
Terdapat dua jenis kelompok agama di India, yaitu
Brahmanisme dan Samanaisme.
q Brahmanisme:
v kasta ditentukan oleh kelahiran
v Kaum brahmana hanya menjalani kehidupan selibat ketika
mempelajari Veda
v Memandang rendah kaum wanita.
q Samanaisme
Menghormati
kaum wanita dengan mengijinkan terlibat dalam keagamaan
Sangha Bhikkhuni zaman Buddha
q Kisah Maha Pajapati Gotami: Buddha tidak menolak atau
menerima secara langsung, tetapi cenderung untuk mengingatkan.
q Bantuan Y. A Ananda membuat
Buddha menerima wanita menjadi anggota Sangha.
Syarat: delapan peraturan keras (atthagarudhamma)
- Seorang bhikkhuni meskipun telah menjalani kehidupan sebagai bhikkhuni selama 100 tahun, ia harus menghormat, bangkit dari tempat duduknya, ber-anjali kepada bhikkhu yang meskipun baru menjalani kebhikkhuan selama satu hari.
- Bhikkhuni tidak boleh menjalani vassa di tempat yang tidak ada bhikkhunya.
- Setiap uposatha, bhikkhuni harus melakukan dua hal kepada bhikkhu sangha yaitu: menanyakan tanggal hari uposatha dan datang untuk mendapatkan nasehat.
- Setelah menjalani masa vassa, bhikkhuni harus mengundang untuk memberikan kesempatan (pavarana) kepada kedua Sangha untuk memberikan saran dan kritikan terhadap apa yang mereka lihat, dengar, dan duga terhadap dirinya.
- Bhikkhuni yang melanggar peraturan penting (garudhamma) harus menjalani manatta selama setengah bulan di hadapan kedua Sangha.
- Seorang wanita bisa mendapatkan upasampada setelah ia menjalani masa latihan selama dua tahun.
- Bhikkhuni tidak boleh mencela, merendahkan, atau menghina bhikkhu dengan alasan appaun.
- Seorang bhikkhuni tidak boleh menasihati bhikkhu, tetapi bhikkhu boleh menasehati bhikkhuni.
Secara sepintas seperti sebagai sebuah wujud
diskriminasi.
Alasan Buddha tidak langsung menerima wanita dalam
Sangha: kondisi sosial, keamanan, dan adanya ajaran agama lain.
v Kondisi sosial: kritik sosial yang mungkin muncul
setelah Buddha menerima wanita menjadi bhikkkhuni.
v Keamanan: wanita yang kebanyakan menjadi korban
pelecehan seksual
v Ajaran agama lain: adanya ajaran agama lain yang
memperbolehkan penganutnya melakukan tindakan tidak bermoral.
Alasan Buddha menetapkan atthagarudhamma:
v Peraturan no 1, 7, dan 8: kebanyakan wanita yang
meminta upasampada berasal dari kasta ksatria (untuk menghormati bhikkhu dari
kasta rendah)
v Peraturan no 2: faktor keamanan dan sosial yaitu
posisi wanita yang kebanyakan menjadi korban pelecehan seksual
v Contoh kasus: bhikkhuni Subha dan bhikkhuni
Uppalavanna.
v Peraturan no 3, 4, dan 5: kesenioritasan Sangha (yang
diupasampada terlebih dahulu adalah bhikkhu)
v Peraturan no 6: untuk antisipatif dan menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan yang mempunyai kemungkinan dapat menjatuhkan
Sangha.
v Atthagarudhamma
yang ditetapkan Buddha merupakan wujud kehati-hatian Buddha.
Kondisi Sangha
Pasca
Terbentuknya
Sangha
Bhikkhuni
Terdapat beberapa pelanggaran berkaitan dengan
hubungan bhikkhu dan bhikkhuni. Contoh:
v bhikkhu yang bertemu kembali dengan mantan istrinya
yang menjadi bhikkhuni, sehingga timbul hubungan.
v Bhikkhu yang kembali ke kehidupan duniawi.
Masalah yang muncul sebenarnya bukan dikarenakan
keberadaan bhikkhuni, tetapi karena sifat alamiah manusia yang belum mampu
mengikis kekotoran batinnya.
Pandangan Buddha terhadap Wanita
q Buddha menggunakan frase matapitu (mata: ibu
disebutkan lebih dahulu) dengan alasan: Jasa ibu yang sangat besar.
q Nasehat Buddha kepada Raja Pasenadi bahwa anak
perempuan juga mampu untuk menjadi pemimpin.
q Buddha memandang bahwa status (derajat) manusia bukan
ditentukan oleh kelahiran sebagai pria atau wanita, tetapi karena moralitasnya.
q Buddha menganalisa bahwa tidak ada perbedaan emosi
antara pria dan wanita.
q Mahaparinibbana Sutta: perlindungan terhadap wanita
merupakan salah satu syarat berlangsungnya kesejahteraan suatu bangsa.
q Sigalovada Sutta: hak dan kewajiban pasangan
suami-istri.
q Kuatnya pengaruh ajaran Buddha tentang pentingnya
spiritualitas bukan pada gender, telah mengangkat posisi budak wanita.
Kontribusi Wanita
dalam
Pembabaran Dhamma
Ø Visakha: wanita yang terkenal dalam kedermawanannya
dalam menyokong Sangha.
Ø Ambapali: pelacur yang dermawan kemudian memutuskan
untuk menjadi bhikkhuni dan mencapai Arahat.
Ø Dhammadina: pengkotbah yang handal.
Ø Khujjutara: dayang-dayang ratu Samavati yang mampu
menyampaikan kembali kotbah Buddha kepada ratu. Menurut sejarah, kotbah yang
diulang olehnya, dikumpulkan menjadi satu dan menjadi kitab itivuttaka.
Ø Sanghamitta: misionaris Buddhis dari Sri Lanka.
Ø Hemamala: wanita Sri Lanaka yang berhasil membawa
kembali relik gigi Sang Buddha.
Kondisi Wanita Pasca Buddha Parinibbana
q Tidak diikutsertakannya bhikkhuni dalam:
v Konsili I: alasan tempat yang tidak memungkinkan.
v Konsili II, III, dan IV: tidak ditemukan catatan sejarah mengani hal tesebut.
v Konsili V dan VI: bhikkhuni dari tradisi Theravada
sudah tidak
ada lagi.
q Setelah Buddha Parinibbana, berbagai sekte
berpandangan berbeda terhadap posisi wanita. Contoh:
v sekte Mahisasaka yang menganggap wanita tidak mampu
mencapai pencerahan.
v Sekte Sarvastivada: menolak anggapan dari sekte
Mahisasaka.
v Dipavamsa sebenarnya ditulis oleh bhikkhuni, tetapi
tidak dituliskan namanya, sehingga terkesan wanita tidak banyak berperan.
v Berkembangnya berbagai sekte berpengruh terhadap
diskriminasi wanita, karena tentu berbeda dengan kondisi pada jaman Buddha.
Kondisi Wanita Buddhis di Era Modern
q Pada abad ke-16, di
negara-negara Barat, terdapat diskriminasi terhadap posisi wanita.
Contoh: lukisan Adam dan Hawa, syair dari sastrawan Inggris (Alferd Lord
Tennyison) yang merendahkan posisi wanita.
q Pada abad pertengahan: wanita sulit mendapatkan posisi
di bidang politik.
q Pada abad ke-20: wanita mulai mendapatkan kesempatan
di bidang politik.
q Sri Lanka:
v Sirimavo Bandaranaike: perdana menteri wanita I
v Chandrika Bandaranaike Kumatungga: presiden wanita
q Burma : Aung San Suu Kyi.
q Taiwan: Yayasan Tzu Chi di bawah bhikkhuni (master
Chen Yen)
Wanita Buddhis di Indonesia
q Tokoh-tokoh wanita yang berperan (berdasarkan
sejarah): Ratu Sima, Ratu Smaratungga, Tribuana Tunggadewi,
q Kondisi saat ini: adanya organisasi WANDANI
q Tidak adanya Sangha Bhikkhuni karena terputus oleh
sejarah.
Kesimpulan
q Buddha tidak membedakan status wanita dan pria.
q Early Buddhisme: wanita dan pria sama secara dhamma,
tetapi berbeda secara Vinaya, karena alasan sosial.
q Terjadi diskriminasi wanita setelah Buddha Parinibbana
karena perbedaan pandangan berbagai sekte.
q Wanita juga punya kesempatan yang sama dengan pria
untuk mengembangkan diri.
Referensi
n Dhammasiri,
S.2004. Wanita dan Persamaan Gender. Jakarta: Graha Metta Sejahtera.
n Walshe
Maurice. 2009. Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha Digha Nikaya. Dhamma Citta
Press.
n Tim
Penyusun. 2003. Materi Kuliah Agama Buddha untuk PTAB (kitab suci vinaya
pitaka). Jakarta:Cv Dewi Kayana Abadi.
Share this on your favourite network
0 comments:
Post a Comment